2. Dekapan Hangat Sang Mentari

1.5K 156 4
                                    

°°°

Hujan mengguyur siang itu, seakan alam pun turut merasakan kesedihannya. Anak itu termenung di sudut trotoar, payung di tangan terasa berat, seolah memikul beban yang lebih dari sekadar air hujan yang membasahi. Beberapa kali, tawarannya sebagai pengojek payung ditolak. Rasa kecewa menyelimuti hatinya, namun tak ada ruang untuk mengeluh. Matanya melirik lengannya yang dipenuhi ruam, kemerahan menyebar seiring dingin yang menusuk kulitnya. Sama seperti malam dia bulan lalu, hujan turun deras dan alergi dinginnya kambuh.

"Lilyara!"

Bocah mungil itu tersentak mendengar suara yang amat familiar menyerukan namanya—tegas, namun penuh kecemasan yang sulit disembunyikan. Pria itu, Kafa Hardana, berlari ke arahnya di bawah rintik hujan. Sepatu mahalnya tak lagi dihiraukannya, terendam air yang menggenang di sepanjang jalan, sementara tangan kokohnya menggenggam payung besar yang ia bawa untuk melindungi sang adik kecil. Lilyara sungguh tak paham mengapa pria dewasa itu terus berlari ke arahnya—seperti malam itu—membawa serta dekapan hangatnya untuk bocah menyedihkan seperti dirinya.

Tatapan mereka bertemu sejenak, sekilas namun cukup untuk menyampaikan rasa cemas yang terpendam dalam sorot mata pria itu. Ia sampirkan jasnya ke tubuh mungil Lilyara, memberi perlindungan hangat di tengah dinginnya hujan. Ia mengangkat bocah itu dalam dekapannya—membawanya jauh dari derasnya hujan, juga dari beban yang mungkin tak sanggup anak itu tanggung seorang diri.

Rey tersenyum tipis di bangku kemudi, menyaksikan interaksi atasannya dan gadis kecil yang selalu tampak murung itu. Setiap kali Kafa berhadapan dengan Lilyara, meski kemarahan menyelimutinya, tatapan dan suaranya akan melunak. Pria perfeksionis itu telaten mengeringkan wajah hingga kaki anak itu dengan tisu, menampakkan kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain.

"Saya udah tepatin janji untuk nggak kasih tau siapa pun perihal alergi kamu. Tapi kamu yang malah ingkar janji sama saya."

Usaha Kafa untuk menjaga agar intonasinya tidak meninggi dan membuat Lilyara terintimidasi tampaknya gagal. Dengan mata yang tertunduk, gadis itu memegang ujung bajunya yang basah, menunggu reaksi pria itu dengan perasaan resah. Ia merasa seolah-olah setiap langkahnya bisa mengkhianati harapan Kafa. Sang ibu telah berulang kali mengingatkan untuk selalu menyenangkan pria itu, tetapi Lilyara tidak ingin menjadi beban, tidak ingin menambah keresahan sang ibunda.

"Maaf," cicitnya, suaranya yang lirih tersapu oleh irama hujan.

Kafa dengan penuh perhatian membantunya meminum obat alergi sebelum kembali berucap, "Coba kasih tahu saya kenapa kamu kerja lagi, padahal kamu udah janji nggak hujan-hujanan lagi."

Sekarang, bocah itu tampak bingung, terjebak dalam labirin pikirannya. Siapa pun yang mengalami pasti tahu, utang budi jauh lebih menjerat—itulah yang Bunga dan putrinya rasakan atas segala bantuan dari pria itu. Namun, bagi Lilyara, akan sangat tidak tahu diri jika ia mengeluhkan hal tersebut. Rasa syukur saja terasa belum cukup menggambarkan betapa beruntungnya keluarga kecil itu setelah dipertemukan dengan Kafa.

Namun, yang dilakukan Lilyara hanyalah usaha kecil yang ia kerahkan dengan tubuh mungilnya, untuk meringankan beban pikiran ibundanya yang tengah berjuang melawan penyakit. Karena yang bocah itu tahu, di dunia ini tak ada yang gratis; bahkan untuk sepiring nasi bungkus dengan sayur tanpa lauk, ia harus mencuci setumpuk piring. Pria itu mungkin akan lebih kecewa jika tahu bahwa anak itu tak hanya menjadi ojek payung, tetapi juga mengumpulkan sampah daur ulang dan mengamen kembali seperti sebelum bertemu dengannya. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan dengan tangan kecilnya demi membalas kebaikan Kafa, meski ia tahu, sampai kapanpun uang yang ia hasilkan tak akan cukup untuk menggantinya.

"Udah lah, Pak. Kasihan anaknya takut," celetuk sekretaris Kafa setelah melihat Lilyara semakin menundukkan wajahnya.

Sepertinya bukan takut seperti yang Rey maksud. Kafa tahu betul apa yang anak perempuan di sebelahnya ini pikirkan. Bibir mungil itu tak banyak bicara, namun mata bulatnya mengatakan segalanya. Entah orang lain bisa melihatnya juga atau tidak.

"Pak Kafa cuma terlalu khawatir aja kok, Ly. Saking khawatirnya sampai maksa saya nyupirin beliau muter-muter nyari Lily. Tadi juga jalan lagi rame, tiba-tiba buka pintu terus lari sampai saya dimaki-maki pengendara lain, hehe. Mana pake lupa nggak bawa payung, padahal jelas-jelas lagi hujan—ampun, Pak," pria supel itu lekas menutup mulutnya rapat-rapat dan mulai mengemudi dengan tenang setelah mendapat tatapan peringatan dari sang atasan.

Jelas-jelas sekretarisnya yang bersikeras mengantarkannya. Masalah payung juga, Kafa sudah bilang dengan intonasi yang sangat jelas saat meminta sekretarisnya membawa payung dan handuk. Yah, walaupun ia juga salah karena asal keluar dari mobil, tapi itu kan tindakan yang dilakukan karena panik begitu melihat orang yang ia cari basah kuyup di pinggir jalan. Lihat, karena bawahannya yang banyak mulut itu, ia jadi mendapat tatapan bersalah dari si bocah lugu.

"Cari orang yang bisa langsung bekerja untuk saya besok. Terserah laki-laki atau perempuan, asal bekerja dengan baik, bukan hanya banyak mulut."

Rey tampak bingung di bangku kemudi. "Kita lagi nggak butuh pegawai kok, Pak. Mau ditempatkan di mana?"

"Saya butuh sekretaris baru."

Kalau tidak ada anak kecil di mobil, Kafa pasti sudah melempar cermin yang memantulkan wajah sekretarisnya yang tengah cengengesan. Benar-benar bawahan menjengkelkan. Namun, kekesalan Kafa buyar kala bocah di sebelahnya membuka suara.

"Kenapa kasih kami rumah besar? Pasti mahal. Pemakaman adek, pengobatan bunda juga. Kami enggak punya apa-apa buat ganti."

Lilyara tampak ragu mengatakannya karena ia sudah hafal jawaban pria itu akan seperti apa.

Kafa ingat betul bagaimana sulitnya membujuk Bunga agar mau menempati rumah peninggalan orang tuanya. Saat itu, Bunga dalam masa pemulihan setelah operasi, mana mungkin ia membiarkan wanita paruh baya itu tinggal di gubuk yang hampir roboh bersama anak-anaknya yang masih harus diurus. Belum lagi ancaman penggusuran semakin menekan Bunga. Sampai akhirnya gubuk di dekat tumpukan sampah itu benar-benar digusur, barulah keluarga itu mau menerima tawaran Kafa meski tak enak hati. Bagaimana pun juga, Kafa adalah orang asing yang tiba-tiba datang dan memberi banyak hal. Mereka hanya takut di kemudian hari mereka ditekan untuk segera mengganti semuanya. Kafa memahami mereka, itu sebabnya ia selalu berusaha meyakinkan mereka bahwa ia tulus ingin membantu.

"Saya nggak kasih. Saya minta tolong sama kalian untuk rawat rumah saya."

Oh, kali ini jawabannya sedikit berbeda. Kira-kira itu yang Kafa tangkap dari tatapan bocah itu padanya. Mau bagaimana lagi? Karena kalimat seperti ini sepertinya lebih mudah diterima Lilyara.

"Saya ini hidup sendiri. Mau buat apa lagi uang saya? Keluarga kamu baik sama saya, jadi saya ikhlas mau bantu."

Pria itu menghela napas panjang setelah melihat tatapan Lilyara yang seolah mengatakan bahwa ia dan keluarganya 'kan bukan siapa-siapa, jadi untuk apa Kafa merasa harus membantu. Ia heran mengapa bocah sekecil itu bisa mempunyai pemikiran seperti orang dewasa. Bukankah anak kecil biasanya hanya akan menerima dengan senyuman lebar apapun hal baik yang ia terima?

"Sepertinya saya ini masih saja orang asing bagi kamu, ya?"

Bocah itu beralih menatap rintik hujan di balik jendela sembari meremas ujung bajunya. Pria itu begitu tinggi, sedangkan keluarganya bagaikan debu kecil di ujung sepatu mahal pria itu. Lilyara merasa tak pantas menganggap pria itu sebagai keluarganya. Namun, perkataan pria itu yang menyiratkan kekecewaan padanya membuatnya merasa berdosa.

-
-
-
-
Lady Sirèlis
2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mentari untuk Sang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang