1. Hujan Malam itu

3K 197 6
                                    

Hujan, Darah, dan Pria itu

°°°

Di sudut jalan yang gelap, seorang anak perempuan dengan payung di tangan kecilnya berusaha melindungi sang adik dari rintik air yang mengguyur. Hujan malam itu turun deras, seolah langit menangis bersama mereka. Setiap tetes hujan yang jatuh di kepalanya terasa seperti beban tambahan di pundaknya. Malam itu, ia tidak punya pilihan selain menjadi ojek payung, berusaha mencari rezeki demi keluarganya yang terpuruk. Sementara adiknya yang lebih besar, terpaksa tinggal di rumah menjaga ibu mereka yang semakin melemah, tergeletak setelah mimisan dan pingsan.

"Adek, tunggu di sini ya? enggak boleh jauh-jauh," anak perempuan itu berpesan, menyuruh adiknya untuk berteduh di depan toko yang sepi. Bocah lima tahun itu mengangguk, meski matanya menatap kucing yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu.

Setelah memastikan sang adik aman, anak itu melangkah menjauh, menawarkan payung berukuran kecil itu kepada seorang wanita paruh baya. Meski basah kuyup hingga membuat tubuh mungilnya menggigil, senyuman manis tak hilang dari bibirnya.

Di sisi lain jalan, dari balik jendela apotek, seorang pria dengan setelan jasnya memperhatikan kedua anak itu. Pikirannya tak bisa lepas dari pemandangan menyayat hati di depannya. Anak sekecil itu bekerja keras di tengah malam yang basah, tanpa peduli dinginnya hujan, sambil menjaga adik kecilnya. Sesuatu di dalam hatinya berdesir, memaksanya memperhatikan lebih lama. Ia merasa prihatin, ada rasa kasihan yang perlahan tumbuh, seperti luka lama yang kembali terasa.

Apoteker yang baru kembali setelah mengambilkan obat pesanan, mengikuti arah pandang pria itu. Kemudian, apoteker itu membeberkan informasi yang entah benar atau tidak tanpa diminta.

"Kasian ya, Mas. Denger-denger mereka cuma punya ibu, mana sakit-sakitan. Ada satu lagi anak cowok, biasanya ikut bantuin kerja. Kadang mereka ngamen, kadang mulung, kadang cuci piring di warteg sebelah terus dapet nasi bungkus tapi cuma satu. Saya pernah mau kasih uang cuma-cuma tapi ditolak, jadi kadang saya pura-pura mau nyebrang tapi nggak bawa payung biar bisa pake jasanya. Saya juga ngumpulin sampah plastik bekas saya buat mereka"

"Rumahnya di sekitar sini?"

"Kurang tau sih, Mas"

Setelah membayar obat yang dibelinya, pria itu memutuskan untuk menghampiri mereka. Tapi sebelum langkahnya bisa diayunkan, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.

Tiba-tiba, teriakan kecil memecah keheningan hujan. Anak itu tak kuasa menahan rasa ingin tahunya, berlari mengejar kucing tanpa mempedulikan peringatan sang kakak. Waktu seakan melambat, si anak perempuan serta pria itu melihat semuanya dengan mata terbuka lebar. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, terlalu cepat untuk berhenti.

"Adek!" teriak anak itu, tapi suaranya tersapu oleh derasnya hujan. Dalam sekejap, ketukan langkah kecil di aspal basah itu menghilang, digantikan oleh suara benturan keras.

Tubuh kecil itu terhempas di tengah jalan, diiringi suara rem yang terlambat menjerit. Darah mengalir, bercampur dengan air hujan yang menggenang di aspal. Jalanan yang gelap berubah merah dalam sekejap. Pria itu menyaksikan semuanya. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, tubuhnya menegang, tak percaya apa yang baru saja terjadi. Tatapannya segera berpaling ke sisi jalan, tempat anak perempuan yang tadi dilihatnya berdiri terpaku. Hujan semakin deras, memukul wajahnya yang basah. Namun, anak itu tak bergerak, bahkan tak bersuara. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Pandangannya terfokus pada adik kecilnya yang kini tergeletak tak berdaya. Pria itu melihatnya, anak itu bukan sekadar basah kuyup oleh hujan, tapi oleh ketakutan yang begitu dalam-terbaca jelas dari matanya yang penuh dengan kepanikan, kesedihan, dan ketidakberdayaan.

Sekejap kemudian, anak itu melesat lari, tanpa memedulikan pekikan orang-orang yang juga terkejut menyaksikan kejadian tersebut. Kakinya berderap panik, tapi jalannya terhuyung-huyung di antara genangan air dan jalanan licin. Nafasnya tersengal, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya ada teriakan yang tertahan di dalam dadanya. Air mata bercampur hujan membasahi wajahnya yang sudah pucat pasi.

Tangannya gemetar saat mencoba meraih tubuh saudaranya yang bersimbah darah. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tubuh kecil itu, pria tadi sudah tiba lebih dulu, menarik lengan anak perempuan itu dengan lembut namun tegas. "Jangan!" serunya. Suaranya terdengar tenang tapi penuh peringatan, membuat si bocah berhenti seketika, pandangannya beralih ke pria yang menahannya. Tubuhnya bergetar hebat, entah karena hujan dingin yang terus mengguyur atau rasa takut yang kini menghantam hatinya. Ia ingin berteriak, ingin memeluk adiknya, tapi seluruh tubuhnya terasa lumpuh.

Kerumunan kecil mulai terbentuk di sekitar mereka, beberapa orang menatap dengan cemas. Suara-suara mulai terdengar, beberapa di antaranya memecah kebingungan.

"Udah ada yang nelpon ambulance?"

"Udah, buk"

"Darahnya ngalir terus, mana ujan, apa nggak kelamaan kalau nunggu ambulance? takut nggak ketolong"

Pria itu menoleh sejenak, wajahnya penuh dilema. Hujan semakin deras, sementara darah terus bercampur dengan air di jalan, seakan waktu semakin menipis. Hatinya berdebar keras, mencoba memutuskan apa yang harus dilakukan. Pandangannya kembali ke gadis belia di sebelahnya, wajahnya tak lagi memancarkan apa pun selain ketakutan dan keputusasaan, hingga akhirnya tubuhnya runtuh, ambruk ke tanah sebelum pria itu dapat menangkapnya, seakan seluruh kekuatan dan semangatnya meluruh bersamaan dengan derasnya hujan yang tak kunjung reda.

-
-
-
-

Lady Sirèlis
2019

Mentari untuk Sang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang