"Papa. Papa."
"Iya, Taka?"
"Kata teman Taka ada kue cokelat baru di Hannah Bretzel. Ayo, kita pergi ke sana sore nanti."
"Apa Taka sangat suka kue cokelat?"
Taka melebarkan mata, menatap dengan berbinar. "Ung! Suka, pokoknya."
"Kalau begitu biar Mama yang akan membuatkannya untukmu nanti." Sasuke terdiam sejenak sebelum mengangguk sekali. "Tidak baik jika kau makan makanan dari luar. Lagi pula selagi kita tidak bisa lihat bagaimana cara membuatnya, mereka belum tentu higienis, bukan?"
Kali ini Sakura mengerutkan kening. "Hanya sesekali tidak apa-apa. Taka barangkali sedang ingin pergi denganmu, dia sudah lama menunggu momen jalan berdua dengan ayahnya."
Diam-diam menahan napas, membiarkan isi kepala sejenak berkelana seraya menatap lurus kepulan asap dari mug berisi jahe hangat yang disodorkan sang istri padanya, Sasuke serta-merta mengulum senyum paksa. "Baiklah. Tapi tidak untuk hari ini, oke. Lain kali saja."
Mendengar sahutan tersebut, Taka merengut tak setuju. "Kenapa?"
"Papa sepertinya akan pulang agak larut malam ini, Taka. Tidak apa-apa, ya. Nanti kita pergi akhir pekan—"
"Papa selalu bilang begitu. Tapi ujung-ujungnya tidak jadi."
Sasuke sontak tertawa kaku. "Kalau sekarang janji, tidak akan bohong. Mengerti?"
Pernyataan tersebut tetap mengudara begitu saja, tanpa jawaban. Minat putranya sudah lebih dulu lindap. Sasuke bahkan sudah tidak lagi menemukan seraut wajah anak itu berbinar menyenangkan. Hanya ekspresi kosong dengan kedua bahu yang dijatuhkan lemas.
Jelas mengerti dengan gelagat Taka yang sontak berubah bungkam—dia pasti merajuk, Sasuke menghela napas berat. Tetapi sayangnya, ia benar-benar bukanlah satu dari sekian banyak tipe manusia yang mudah luluh dan jatuh ke dalam kubangan berisi dengan banyak keinginan anak kecil. Jadi alih-alih menghindar, Sasuke memutuskan untuk menyeruput jahe hangatnya sebelum menyahut pelan pada Sakura, "Aku berangkat sekarang. Biar Juugo yang antar Taka ke sekolah. Tidak apa-apa?"
"Sekarang? Tidakkah ini terlalu pagi?"
Di depannya, Sakura dapat melihat air muka Sasuke berubah keruh. "Ada investor yang membuat janji mendadak pagi ini."
Sakura terdiam. Untuk sejenak menatap skeptis. "Ah, begitu?" Wanita tersebut menghela napas. "Tidak apa-apa. Biar aku saja yang antar Taka."
Mengalihkan pandang dari mug, Sasuke serta-merta menaikkan satu alis, lantas menatap lurus tubuh istrinya dengan pandangan menilai. "Kau sudah lancar berjalan?"
Sakura sontak tersenyum geli. "Kau tidak lihat siapa yang menyiapkan sarapan dari tadi."
Si pria mendadak bungkam. Ekspresinya berubah rumit, tawanya diloloskan lirih tatkala berkata perlahan, "Jahitannya belum benar kering. Kau masih dalam masa postpartum. Aku tahu itu sakit," Sasuke manatap istrinya lagi—mencoba meyakinkan. "jangan dipaksakan."
"Memang belum. Tapi ini dapat kutahan, tidak begitu sakit. Lagi pula aku ke sekolah menggunakan mobil, bukan berjalan," cebik si wanita. Mengedipkan kedua netra dengan lucu, Sakura lantas bangkit dari duduk, berjalan membawa mangkuk kosong bekas sang suami untuk dibawa ke dalam wastafel. Wanita itu sejenak beringsut pada Taka untuk menjawil hidung putranya tersebut dan berkata jenaka, "Cepat habiskan sarapanmu, Jagoan. Mama yang akan mengantarmu ke sekolah hari ini."
Tanpa diminta dua kali, anak laki-laki tersebut buru-buru mengangguk dan menyendok sereal madunya dengan antusias. Mengulum senyum lebih lebar tatkala sang ibu mengusak surainya gemas. Kemudian beberapa menit selanjutnya di sana, sementara Sakura yang baru saja melepas sarung tangan karet setelah mencuci piring tiba-tiba mengerutkan kening, sedikit terheran-heran tatkala matanya sudah tidak menemukan presensi Sasuke di meja makan.
YOU ARE READING
Family Issues
Fanfiction[completed] Meskipun belum tentu benar, segelintir buah bibir yang melintas kadang dapat berubah menjadi salah satu alasan absolut penyebab runtuhnya pilar rumah tangga. Namun di sini, bagaimana jika dua kepala yang menghuni justru malah mempermaink...