"Hei, aku adikmu. Salam kenal, ya," kata Sakura kecil beberapa tahun lalu. Usianya masih sebatas anak kelas satu SMP. Memori tersebut adalah satu dari sekian banyak memori yang bercokol kuat di dalam kepala. Sedikit mengabur. Namun tak benar-benar lindap. Sebab tiap kali kepingan fragmen-fragmen tersebut melesat datang berputar kembali, Sakura selalu teringat pada hal-hal kecil lainnya. Pada Mama, pada rumah, pada percikan kebahagiaan yang pernah menenggelamkannya pada lautan afeksi.
Sedari kecil, Mama tidak pernah membatasi waktunya untuk bermain, tidak pernah bertanya ada berapa banyak jumlah teman lelakinya di sekolah, tidak pernah memarahi jika kerap ketahuan mendapat nilai merah saat naik kelas, tidak pernah membanding-bandingkan sikapnya dengan anak tetangga—seperti kebanyakan orang tua di luar sana yang kerap melakukan hal kolot tersebut. Tapi bagi Mama, tidak. Beliau mungkin nyaris bisa dibilang tak pernah marah. Apa pun itu yang terpenting, asal tidak kelewat batas, selama yang dilakukan sang putri tidak merugikan, Mama tidak akan menggertak. Begitu, katanya. Baik sekali, bukan?
Ah, tentu. Tentu saja. Mama yang terbaik.
Sakura sendiri juga sudah berusaha agar tidak menjadi gadis yang neko-neko. Berbeda dengan remaja pubertas seperti teman-temannya di sekolah. Yang gemar melakukan hal-hal konyol karena kelewat penasaran; seperti merokok, iseng masuk ke dalam club, mencoba-coba berciuman di gudang kosong, atau bahkan yang lebih parahnya lagi sampai menghisap kokaina dan dipanggil bagian konseling keesokan harinya karena ketahuan teler di ruang kelas. Sebab meski Mama tidak pernah marah, setidaknya Sakura benar-benar tidak mau menjebak wanita kesayangannya tersebut sampai terjerumus ke dalam suatu masalah pelik.
Itu akan benar-benar merepotkan.
Mama akan kerepotan kalau Sakura sampai berniat jadi gadis nakal. Harus menurut. Sesuai predikat. Bahan pujian semua orang. Lagi pula, Mama tidak akan senang jika tahu gadis manis satu-satunya gemar keluyuran. Wanita itu selalu bilang tiap kali tatkala pagi datang menjelang, seraya mengangkat dua roti hangat dari toaster, lalu tersenyum memandangi sang putri yang menunggu di meja makan, Mama kerap berkata, "Jangan main terlalu jauh kalau Mama belum pulang, oke?"—selalu begitu. Tapi beliau selalu pulang malam. Kenapa? Tidak tahu. Bekerja, barangkali. Kemudian tanpa bisa dicegah, Sakura akan mengingat bagaimana rasa penasarannya mulai mengepul dalam benak, lalu pertanyaan klise tercipta.
Kenapa ia hidup sendiri di rumah? Kenapa ia tidak punya Ayah? Kenapa? Kenapa?
Rasa-rasanya tatkala tangga umur kian bertambah, kesendirian yang Sakura lalui malah membuat pertanyaan-pertanyaan tersebut kian bergumul layaknya api yang selalu diguyur gasolin setiap hari. Semakin membara. Semakin menggelegak.
Namun gadis berumur empat belas tahun tersebut tetap berusaha menyegel mulut sendiri dengan rapat. Bungkam. Karena jika bertanya tentang; ada di mana presensi sang ayah. Mama barangkali akan kecewa. Sakura sangat mengerti itu. Hingga pada satu titik, ia ingat pada akhirnya kalau ia hanya berani berkata, "Ma, aku bosan sendiri."
Sementara Mama malah balas berujar, "Ajak menginap teman-temanmu saja kemari, Sayang."
Bukan. Bukan itu maksudnya. Bagaimana, ya, cara menjelaskannya. Sejenak terbungkam sambil diam-diam memilah kata, menatap ragu, si gadis membalas lagi, "Ma, apa kita punya Nenek Kakek atau sanak saudara? Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan siapa pun keluargaku selain Mama—"
Sakura kembali diam. Mama yang sedang memasukkan gula ke dalam mug di atas pantry sontak membeku. Pandangannya berdenyar dingin. Bukan. Itu bukan pandangan yang terluka. Kecewa. Kebencian. Atau apa pun di saat kau tengah menahan sakit yang menjilat hati.
Di sana, mengeluarkan napas barang sesekon, sang ibu hanya menatap lurus lalu tanpa diduga-duga malah berkata, "Kau mau bertemu dengan salah satu keluargamu? Tentu. Boleh. Mulai sekarang kau harus belajar menerima seperti apa kehidupan kita. Karena, Sakura. Sayang," Tersenyum manis sementara kedua netra memandang kosong, Mama melanjutkan, "putraku juga kerap selalu mengatakan hal sama seperti apa yang kaukatakan barusan. Bosan sendiri. Kupikir ini sudah saatnya kalian bertemu dan tinggal bersama. Apa kau senang?"
YOU ARE READING
Family Issues
Fanfiction[completed] Meskipun belum tentu benar, segelintir buah bibir yang melintas kadang dapat berubah menjadi salah satu alasan absolut penyebab runtuhnya pilar rumah tangga. Namun di sini, bagaimana jika dua kepala yang menghuni justru malah mempermaink...