"Oke, anak-anak. Invasi ilegalnya sudah selesai."
Adalah kalimat yang dilontarkan Itachi sebagai penutup untuk pekan ini. Pestanya? Sempurna. Tentu saja. Suara jeritan Hana yang menangis saking kesalnya sebab sang adik, Haru telah sukses diam-diam menempelkan lumpur pada surai gadis itu bahkan masih tergiang-ngiang di dalam kepala Sakura. Ia kembali terkekeh tak habis pikir saat menemukan Hana masuk ke dalam mobil dengan wajah yang ditekuk masam serta kedua pipi dan mata memerah sehabis menangis. Sebab karena bingung harus melakukan apa, sudah pusing bukan kepalang, pada akhirnya Itachi yang merupakan ayah dari Hana juga tetap memilih opsi pintas dengan cara menggunting sebagian surai gadis tersebut yang tertempel lengketnya cairan lumpur.
"Potnya tidak apa-apa?"
Mengembuskan napas panjang selepas mobil kakak iparnya yang terakhir meninggalkan areal rumah, Sakura lantas menolehkan kepala melirik pot bunga salvia di samping pintu belakang yang sudah nampak retak, hancur dengan tanah yang terurai berserakan keluar. Walau begitu beruntung cuma wadahnya saja yang rusak, lain dengan bunganya yang masih utuh. Buru-buru ia mengambil salvia yang tergeletak malang di sana. Kemudian tersenyum tipis dan membalas, "Tidak apa-apa. Ini masih bisa disimpan di pot lain nanti."
Serta-merta mengeratkan kedua tangan pada tubuh sang putra yang sudah lama dibuai mimpi di pundak, Sasuke turut menghela napas, pandangannya meredup hangat. "Maaf."
Sakura merengut tak mengerti. Terkekeh. "Tidak apa-apa. Sekadar ketidaksangajaan Haru dan Taka. Mereka masih anak kecil."
Tetapi masih, si pria yang kemudian sudah berdiri tepat di depan Sakura mengusap lembut pipi istrinya tersebut dengan punggung tangan. Mengernyitkan alis, Sasuke bertanya cemas, "Kau baik-baik saja?"
Sakura menahan napas. "Aku baik-baik saja."
"Kau pucat."
"Ah, iya kah? Perutku sedikit mual," tukas Sakura jujur, terkekeh lagi melihat suaminya masih menatap tak yakin. "Tidak apa-apa, aku bisa mengatasinya. Jangan cemas."
Sasuke masih belum puas. "Kau yakin?"
"Mhm."
Tetapi sedetik kemudian, Sasuke mendadak membeliak lebar pun segera menggenggam erat satu lengan Sakura tatkala istrinya tersebut tiba-tiba berubah sedikit linglung nyaris membentur dinding. Si pria semakin cemas. "Hei, Sayang—"
"Sudah kubilang bukan apa-apa." Sebelum Sasuke mengatakan hal lain lagi, Sakura sudah lebih dulu kembali menukas. Sejenak menghela napas dalam kesadaran yang bergerak perlahan, menggeleng guna mengusir pening yang mendadak merayapi kepala, Sakura menatap getir. "Sudah larut, kau juga harus istirahat."
Sasuke diam sejenak. Ia memperhatikan istrinya yang tersenyum hangat sesaat mengelus punggung kecil putra mereka sebelum mengambil langkah meninggalkan dirinya sendirian. Si pria cuma memilih bungkam rapat, menatap bagaimana punggung ringkih berbalut wrapdress hitam tersebut memasuki kamar sementara dirinya melangkah lurus, menuju kamar lain untuk menidurkan Taka.
Si flash kecil itu agak merengek saat tubuhnya dibaringkan lembut oleh sang ayah ke atas kasur, namun sepertinya Taka mulai bisa kembali tenang saat Sasuke berinisiatif untuk menepuk pelan pundaknya seraya mendesis lirih.
Ah, sudah pukul dua dinihari. Sasuke membuang napas panjang begitu matanya melirik jam. Setelah memastikan difuser di atas nakas sudah menyala, ia lantas kembali melangkah keluar menuju kamar utama. Tidak menemukan presensi sang istri di sana, Sasuke terus memacu tungkainya masuk ke dalam walk in closet. Kemudian terkekeh hangat memandangi Sakura yang tengah menatap refleksi pada permukaan cermin.
YOU ARE READING
Family Issues
Fanfiction[completed] Meskipun belum tentu benar, segelintir buah bibir yang melintas kadang dapat berubah menjadi salah satu alasan absolut penyebab runtuhnya pilar rumah tangga. Namun di sini, bagaimana jika dua kepala yang menghuni justru malah mempermaink...