CHAPTER THREE : SEBUAH PELUKAN.

45 11 6
                                    

LELAH itu ketika kamu ingin istirahat cukup namun sesuatu menghalangi. Kamu seakan seperti robot yang tak pernah ada tingkat lelahnya di mata majikanmu.

-Jeremy Jehan Brookman-

🍁 JEHAN 🍁

SETENGAH lima Jehan dan Owen, teman Jehan itu, baru boleh keluar dari ruang guru. Kedua lelaki itu mendapat hukuman berupa menulis 20 soal Bahasa Inggris sebanyak sepuluh kali lipat. Pak Omar benar-benar marah karena insiden ban motornya dikempesi oleh dua muridnya sendiri. Hukuman itu lumayan buat jemari tangan Jehan dan Owen kebas. Terasa cenat-cenut seperti orang yang baru jatuh cinta.

"Kurang ajar tuh cewek bocorin kita ke Pak Omar. Dia siapa sih berani-beraninya anjir!" Owen kesal sendiri. Kini kedua lelaki itu tengah berjalan bersama di sepanjang koridor lantai 1. "Eh Bule. Lo kenal dia gak?" tanya Owen pada Jehan.

"Gak kenal gue. Mungkin itu cewek korban sakit hati gue karena gue tolak rasa suka dia sama gue," ucap Jehan pede. "Lo tahu sendiri kan, fans gue tuh bejibun di Bicen?"

"Oiye gue lupa." Owen seketika tertawa begitu baru mengingat sesuatu. "Sampai-sampai ada nama fanbase-nya. Jehanteng Luvers. Idih geli banget gue anjing!"

"Geli an juga muka lo, Wen. Butek," celetuk Jehan sadis.

"Kurang ajar lo, Bulepotan!" Owen tertawa lagi dan Jehan pun sama. Kini suara tawa mereka menggelegar di lorong koridor.

"Eh serius ya, kita harus balas dendam ke cewek tadi. Enak aja dia ngelabui kita," kata Owen kembali serius.

"Itu harus. Gue gak bakal ngelepas tuh cewek buat tenang-tenang aja. Lihat aja nanti," balas Jehan. Dibalik suara tegasnya, Jehan sudah bertekad kuat.

Tiba-tiba saja ponsel Jehan berdering membuat cowok itu langsung merogoh benda itu di dalam kantung celana sekolahnya. Jehan mendengus membaca nama si penelepon.

"Siapa tuh Je yang nelepon?" tanya Owen.

"Supir gue," jawab Jehan.

"Oh kalau gitu gue duluan ya? Gue buru-buru ada urusan di rumah," ucap Owen yang langsung diangguki Jehan.

Begitu Owen pergi, barulah Jehan mengangkat panggilan asistennya, Damian.

"Ada apa nelepon gue?" tanya Jehan. Suaranya mendadak dingin. Nadanya berubah, tidak seperti saat ia berbicara dengan teman-temannya.

"Tuan kemana aja? Saya nelepon Tuan sedari tadi tapi tidak Tuan angkat. Saya chat pun Tuan tidak baca dan balas," tutur Damian berentet.

"Gue ada urusan tadi. Gue gak sempat cek hape dan baru sekarang bisa," balas Jehan.

"Tuan ada urusan? Bukannya tadi sudah jam pulang sekolah? Tuan tidak mengikuti ekstrakurikuler, tapi kenapa ada urusan?"

Sangat detail. Terkadang Jehan benci keadaan seperti ini. Setiap aktivitas yang ia lakukan di sekolah harus dilaporkan kepada asisten pribadinya.

"Gue ada urusan sama guru gue. Disuruh ngerjain soal Bahasa Inggris sepuluh kali lipat," jawab Jehan jujur. Ia tidak mau berbohong karena masalah itu akan ribet. Damian ini merupakan asistennya yang tidak gampang bisa dibodohi. Sulit untuk mencari alasan kebohongan kepadanya.

"Apakah Tuan dihukum?" tanya Damian.

"Ya," ucap Jehan sekenanya. "Tapi lo jangan bilang ke Daddy. Jangan sampai dia tahu."

"Tidak bisa Tuan. Dia harus tahu." Balasan Damian malah membuat Jehan kesal.

"Lo jangan berani-beraninya bilang ke dia," ancam Jehan.

JEHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang