Bab 4

7 1 0
                                    

Selamat Membaca ^^

.

.

"Prim, bisa kah aku menjadi seorang tuan putri? Memakai gaun yang cantik, dengan mahkota bunga di kepala ku. Oh, juga memiliki kuda poni yang lucu." Gilly begitu riang menghayalkan impiannya. "Prim, mau kah kau berjanji." Tiba-tiba gadis kecil itu menunjukkan eskpresi serius. Prim hanya tersenyum, walau tersemat kebingungan. "Berjanjilah Prim, kau akan menjadi seorang ratu yang baik hati, menyayangi rakyat mu, dan jangan lupa memberikan ku mahkota bunga. Aku akan menerima nya dengan hormat."

Tiba-tiba Prim teringat perkataan Gilly beberapa hari lalu. Entah khayalan apa yang ada di kepala gadis kecil itu. Bagaimana mungkin ia menjadi seorang ratu? Bahkan ia mengatakan harus menjadi ratu yang baik hati, menyayangi rakyat, seolah-olah ia benar-benar akan menjadi seorang ratu. Terasa seperti sebuah lelucon, namun di bumbui misteri.

Prim segera mengabaikan pikiran tersebut.

"Prim!" sekelompok anak kecil yang tak lain adalah teman Gilly, menghampirinya dengan nafas yang terputus-putus setelah berlari. "Gil-Gilly, ia memasuki hutan! Kami sudah memanggilnya dan memperingatinya agar tidak masuk ke sana. Tapi ia seperti orang tuli, mengabaikan suara kami." Salah seorang dari mereka bersuara.

"Bisa kalian tunjukkan dimana kalian terakhir melihat Gilly memasuki hutan?" Pinta Prim yang langsung di respon oleh teman-teman Gilly. Mereka menuntun Prim ke lokasi terakhir kali mereka melihat Gilly memasuki hutan.

Saat itu, hari memang masih siang. Namun, bagaimana pun seorang anak kecil sendirian memasuki hutan tetap berbahaya. Bagaimana jika ia tersesat dan tak kunjung ditemukan hingga matahari terbenam?

Prim berlari memasuki hutan dengan membawa senjata seadanya. Ia hanya membawa panah dan belati yang selalu terselip dibetis kanannya.

Sesekali Prim memperlambat larinya dan memanggil nama adiknya.

"Gilly!" Ia edarkan pandangannya berusaha mencari adiknya.

Dan ia menemukannya. "Gilly!" Lagi ia panggil adiknya yang saat itu berjalan membelakanginya. Benar perkataan teman-teman Gilly. Adiknya tersebut mengabaikan panggilannya, seolah tuli. Padahal jarak mereka tidak terlalu jauh.

Prim berlari kecil mendekati adiknya. "Gilly!" Ia sentuh pundak kecil itu dari belakang. Namun, tetap tidak mendapat respon. Akhirnya, ia berdiri menghadap Gilly. Mengguncang pelan tubuh kecil itu, berusaha mendapat perhatiannya.

"Gilly!"

"Dia! Dia yang menolong ibu. Aku ingin bertemu dengannya." Gilly menunjuk satu titik di belakang Prim. Prim memandang ke belakang mengikuti arah telunjuk mungil itu. Namun, ia tidak mendapati apapun. "Ada apa Gilly? Tidak ada apapun."

Tiba-tiba terdengar suara geraman dari balik semak dan pepohonan. Suara itu berasal dari tempat yang di tunjuk oleh Gilly. Ia arahkan Gilly agar tetap dibelakangnya. Dengan kecepatan yang tidak dapat Prim tangkap, sosok itu sudah melukai lengan kiri Prim. Terukir luka bekas cakaran. Darah segar timbul mengikuti bentuk luka tersebut. Prim bersusaha mencari sosok yang mengukirkan luka di lengannya.

Posisi nya saat ini siaga dengan tangan kanan memegang belati yang ia simpan dikakinya. Ini merupakan kecorobahannya, meremehkan hutan ini dalam keadaan siang. Ia pikir tidak akan ada makhluk yang keluar saat matahari masih menampakkan diri. Karena selama bertahun-tahun ia menjelajahi hutan ini, tidak ada makhluk yang akan keluar jika matahari masih menemani.

Ia menghamburkan pandangannya ke setiap sudut hutan. Hingga sosok itu kembali menggeram dan menampakkan diri. Untuk pertama kalinya Prim melihat makhluk ini. Ia terlihat seperti jaguar berbulu hitam legam. Tubuhnya sangat besar dan kekar. Tingginya hampir menyamai tinggi orang dewasa. Ia memiliki mata emas yang tajam. Taringnya sangat kokoh membuat siapapun yang melihatnya akan bergedik ngeri. Kuku-kukunya berwarna hitam dan runcing, rasanya sekali tebasan mungkin saja akan memotong tubuh manusia.

Prim memperhatikan kuku tersebut. Harusnya lengannya akan terputus atau paling tidak lukanya sangat dalam mengoyak dagingnya. Namun, luka yang ia dapati hanya seperti luka cakaran seekor anjing.

Makhluk itu menggeram dan semakin menampakkan taringnya yang mencuat keluar sebelum akhirnya ia pergi begitu saja. Menimbulkan berbagai pertanyaan di kepala Prim.

"Prim, apa kau baik-baik saja?" Suara itu menyadarkan Prim dari gejolak pikirannya. Prim tidak menjawab apapun. Ia langsung menuntun Gilly dan pergi dari hutan.

Tidak butuh waktu lama Prim dan Gilly sudah di rumah. Tidak ada siapapun di rumah. Lio sedang menjaga toko obat. Sementara Easter masih di academy. Prim memutuskan untuk ke toko mendatangi Lio. Pikirannya masih saja mengenai kejadian di hutan tersebut.

Mereka berjalan melewati kerumunan orang-orang. Karena lokasi tokonya berada di tengah-tengah pasar. Prim tidak menghiraukan luka yang ada di lengannya, rasa penasarannya lebih besar dari pada rasa sakit dari luka tersebut. Setiba nya mereka di toko. "Lio!" Si pemilik nama langsung merespon. "Prim? Gilly? Ada apa?" Lio menatap mereka berdua. Sebelum ia menyadari ada luka di lengan Prim. "Astaga Prim, apa yang terjadi? Kenapa kau terluka. Itu seperti luka cakaran." Lio langsung mendekati Prim, memperhatikan lukanya. Ia segera mengambil obat-obatan dan kain untuk menutup luka Prim. Begitu telaten ia mengobati luka saudarinya tersebut.

Di sela-sela Lio mengibati Prim. Prim bercerita peristiwa yang ia alami saat dihutan tadi. Lio pun juga ikut bertanya-tanya. Kenapa makhluk itu menyerang Prim dan tiba-tiba pergi begitu saja? Jika ia marah karena Prim telah memasuki wilayah kekuasaanya, harusnya ia menghabisi Prim saat itu jua.

Gilly hanya duduk manis sambil mengayunkan kakinya. Tidak begitu mengerti apa yang kakak-kakaknya bicarakan.

Setelah kejadian itu, luka di tangan Prim sembuh dengan cepat sehingga ia melepaskan kain yang membalut luka tersebut. Anehnya, bekas luka itu tampak seperti tato berbentuk cakaran berwarna emas. Hal itu semakin memperbesar tanda tanya di kepala Prim. Ia berusaha mencari jawaban, buku-buku di perpustakaan desa sudah habis ia lahap berharap menemukan petunjuk. Namun, nihil. Ia sangat ingin bertanya pada tetua di sana. Namun, entah kenapa hatinya seolah melarangnya.

Hampir setiap hari Prim menatap cermin memperhatikan luka tersebut.

"Prim." Lio menghampiri Prim yang masih berdiri di depan cermin.

"Ada apa Lio?"

"Gilly! Ia masuk kelas wizard." Lio sangat antusias menyampaikan berita tersebut.

"Syukurlah. Akhirnya keluarga Adeline memiliki penerus." Prim sudah menduganya, bahwa Gilly akan masuk kelas wizard.

Di tengah suasana yang bahagia tersebut, seseorang memanggil mereka dari luar rumah.

"Lio, Prim." Arah pandang Lio dan Prim langsung menuju sumber suara. "Easter! Ia berkelahi di bar." Mereka berdua langsung menuju bar. Wajah Lio merah, ia sangat geram dengan adiknya. Bagaimana bisa Lio pergi ke bar? Tempat itu hanya untuk orang dewasa! Berbeda dengan Prim, ia memasang wajah cemas. Ia bertanya-tanya keadaan adiknya dan apa pemicu hingga terjadi perkelahian.

Sesampainya di lokasi, suasana cukup ricuh. Ada yang tetap mabuk-mabukkan, ada yang bersorak melihat perkelahian adiknya, ada pula yang masih asik dengan wanita-wanita penghibur disana.

Prim tiba-tiba diam membeku. Objek yang ia lihatberhasil membuat dirinya mematung. Vinson begitu mesra dengan seorang wanita.


Nah, mulai mucul niih konfliknya, pantengin terus ya Klandestin. Insya Allah bakalan seru!

Btw terima kasih yang sudah membaca ^^

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang