15 (My Endless Blue) Part I

123 15 0
                                    

(Play the video : Suho - O2)

------------------------------------------------------

Suho sedang dalam perjalanan. Di dalam mobilnya, ia memutar radio, menikmati jalanan yang dikelilingi hijau, tanpa suara kendaraan yang begitu bising.

Setelah melewati jalan yang panjang, cuaca yang cerah, angin musim semi yang hangat. Ia turun dari mobil, membawa kamera DSLR bersamanya.

Festival bunga azalea masih berlangsung di beberapa tempat. Kerumunan muda-mudi tak luput darinya.

Suho berjalan pelan. Matanya sibuk mencari-cari di antara kerumunan manusia yang sedang antusias menghibur diri di stand-stand permainan.

Ia tersenyum. Irene, sudah masuk dalam rekaman matanya.

Penampilan kasual, rambutnya yang terurai rapi dengan bandana terapit di belakang telinganya. Ia sedang melihat beberapa pernak-pernik di antara pengunjung festival.

Suho menarik sedikit bibirnya. Ia tak lekas menghampiri. Memilih berjalan dengan tenang di seberang jalan, mengikuti langkah Irene.

Ia menikmati perasaannya saat ini. Ada bait lagu yang menyertainya.

;;;

Irene berjalan di pinggir stand makanan. Matanya hanya menilik, menyaksikan pengunjung lain menikmati jajanan di jalan yang sebenarnya sudah sangat sering dinikmatinya.

Langkahnya terhenti. Suho, berdiri tepat di depannya.

;;;

"Kau menunggu lama?"

Tanya Suho setibanya mereka di jalanan yang lebih tinggi, dikelilingi pepohonan yang rindang, hingga dapat menemukan pemandangan yang lebih indah.

"Lumayan."

;;;

Suho membidik sebuah puncak gedung yang disinggahi burung-burung gereja. Lalu, membawanya pada objek lain.

Rumah-rumah yang nampak begitu kecil di antara jejeran gedung pencakar langit.

Bunga azalea yang tumbuh di antara rumput-rumput liar.

Irene turut menyaksikan hasil potret Suho pada layar kamera.

Suho, memberikan kameranya pada Irene. Memberinya isyarat untuk mencoba hal yang sama.

Meski tak lekas menerima tawaran Suho, Irene berakhir dengan mengambil alih kamera DSLR milik Suho.

Suho menjelaskan bagian-bagian kamera terlebih dahulu, fitur-fiturnya, dan cara mengatur untuk mendapatkan gambar yang sesuai keinginan.

Irene menelan penjelasan Suho dengan serius. Ia mantap ingin mencobanya.

Bidikan pertamanya, masih alam. Dedaunan pohon yang hijau, kupu-kupu yang tiba-tiba hinggap di antara tangkai bunga, pejalan kaki yang sedang bersuka-ria, jalanan panjang yang sepi.

Bersama Suho, Irene memeriksa gambarnya. Suho mengangguk, tersenyum bangga. Irene pun menarik sudut bibirnya.

Sepertinya, sudah sangat lama sejak Irene memiliki perasaan semenggebu-gebu ini. Bahkan senyum yang selama ini ia sembunyikan, begitu ramah mampir di wajahnya saat ini.

;;;

Langit mulai berpendar. Matahari, sudah berada di ufuk barat. Gurat jingga menyelubungi semesta.

Irene mengangkat kamera di tangannya, mengarahkannya pada jingga yang begitu apik menempati sumbunya.

Suho yang berdiri setelah mengikat tali sepatunya tiba-tiba muncul di layar kamera. Menjadi objek di antara matahari yang tak lama lagi beralih tempat.

Matanya menemukan Irene yang sudah siap membidik.

Dan.

Cekrek.

Tak sengaja. Namun indah.

Suasana jingga di belakangnya, lalu wajah rupawan Suho yang tak begitu ekspresif.

"Yeppeoda." Ucap Irene.

"Saya?"

Irene mengerlingkan matanya.

"Matahari." Jawabnya.

Suhopun berbalik. Turut mengalihkan perhatiannya pada warna semesta yang romantis saat ini. Jingga senja yang perlahan memudar.

"Ah. Ya. Itu, indah." Gumamnya.

Ia tersenyum hangat. Mengantar hari yang sudah disambut malam.

Di belakang, Irene pun menyaksikan pemandangan yang sama.

;;;

Dua manusia lainnya, dipenjara suara.

Kai, duduk di balik kemudi, sementara Krystal berada di jok penumpang, menyandarkan tubuhnya dengan lelah.

Mesin mobilnya tiba-tiba ngadat. Krystal yang nampak tak begitu bersemangat, memperbaiki posisi duduknya.

"Ada apa?"

Kai menghela napas.

"Sudah kubilang pakai mobilmu saja. Kau tau mobil ini sudah rongsok." Oceh Kai. Ia membuka seatbeltnya, dan keluar mobil. Krystal pun langsung menyusul.

Setelah mengecek mesin mobil, ia mencoba menelpon seseorang sambil menyandarkan tubuhnya di pintu bagian kemudi.

"Ne. Dia, mogok lagi."

"Aigoo. Baru keluar dua hari yang lalu, sakit lagi? Sudah kukatakan jual saja." Oceh seorang lelaki tua dibalik ponselnya. Kai hanya tersenyum kecut.

"Eih. Berhentilah mengoceh. Bisa kau jemput sekarang?"

"Mungkin empat jam lagi."

"Ne?"

"Saya sedang di luar Seoul. Kau, naik taksi saja dulu."

"Dimana mau temukan taksi disini." Gumam Kai.

"Arasseoyo."

Ia menutup panggilannya.

-------------------------------------------------------
Part 2

The Words I Want You To HearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang