mid-April

90 16 0
                                    

Jakarta, 2011, seminggu kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jakarta, 2011, seminggu kemudian.

Mami udah boleh pulang hari ini. Gue nggak bisa menjelaskan gimana leganya gue ketika waktu itu dokter bilang kalau mami pingsan karena terlalu lelah. Asam lambungnya naik, dan tensinya pun sempat tinggi karena katanya mami kurang tidur. Bukan kabar baik juga sebenarnya, tapi setidaknya bukan penyakit yang parah. Gue jadi merasa bersalah karena selama ini kurang merhatiin keadaan mami, sih. Gue nggak tahu kalau mami kurang tidur. Gue cuma tahu mami itu selalu bekerja. Semenjak ayah pergi, semua yang mami lakukan cuma buat gue. Untungnya dari dulu, sejak ayah masih ada juga mami sudah bekerja. Jadi tidak merasa kaget. Cuma ya, tanggungannya jadi lebih berat karena mami memikulnya sendirian. Gue... kadang merasa nggak berguna.

Setelah gue mengurus administrasi rumah sakit, gue kembali ke kamar dan melihat Rifa sudah membantu mami untuk duduk di kursi roda. Iya, hari ini hanya Rifa yang nemenin gue. Tadi malam Gema pulang karena pagi ini dia diminta mamanya untuk mengantarnya ke bandara karena kebetulan supir pribadi mamanya sedang izin tidak bekerja. Tentu gue nggak melarangnya, lah. Karena Gema sejak hari itu yang selalu nemenin gue di rumah sakit. Bahkan setiap gue sekolah pun, dia yang nemenin mama sendirian. Gue benar-benar bersyukur.

“Makasih ya, Fa, udah mau repot-repot nganterin Tante.”

Begitu kata Mami ketika kami berhasil sampai di dalam rumah. Rifa terkekeh geli. “Ya ampun Tante, kayak sama siapa aja. Sama-sama, Tan.” jawab dia. Bisa manis juga ya ini orang. Setelah mengantar mami ke kamarnya untuk segera istirahat, gue langsung menghampiri Rifa yang lagi memainkan ponselnya.

“Abis ini ke Diandra lo, Fa?”

“Nggak, dia lagi ke Bandung.”

“Keluarga dia kayaknya seneng banget ngumpul, ya.”

Beneran deh. Dari kami bertiga emang Diandra itu paling sering kumpul keluarga. Gue lihat kayaknya keluarga besar dia hangat banget, maksudnya dekat satu sama lain. Kompak jadinya. Kalo gue sih boro-boro. Saudara-saudara pada jauh tinggalnya. Bahkan yang tinggal di Jakarta cuma keluarga Om Adit, adiknya Ayah. Sisanya di Solo sama Palembang semua.

Rifa yang kini sedang mengganti-ganti salurah tv menoleh sekilas ke arah gue. “Gimana hubungan lo sama Gema, Ta? Sehat?” tanya dia. Wkwkwk, udah nyangka sih Rifa bakalan nanyain itu.

“Ya begitu, deh.”

“Begitu gimane?”

Gue berdecak. Enggan untuk menjawab dengan jelas. “Ya begitu lah, Fa. Lo bisa liat sendiri lah kemarin-kemarin gue gimana sama dia.”

“Ye, sombong lo! Nggak nyadar apa akhir-akhir ini lo jadi nggak pernah curhat lagi ke gue?”

“Bukannya gitu sih, Fa, ya elah.” ujar gue. “Cuma nih ya, semenjak gue berhubungan sama Gema, gue jadi belajar gitu kalo apa-apa nggak harus diceritain ke orang. Maksudnya bukan gue nggak percaya sama lo, tapi gue jadi kebawa dewasa gitu tau nggak sih gara-gara dia? Selagi masih bisa diurus berdua, ya gue keep itu sendiri. Paham nggak, lo?”

Rifa mencebik. “Gue agak nggak percaya sih kata-kata barusan ke luar dari mulut lo, Ta.” kata dia. Rese juga.

“Jangan gitu! Jujur kalo inget-inget dulu gue hobi banget curhat ke orang-orang jadi nyesel sendiri. Gue yakin pasti di antara orang-orang yang gue curhatin itu malah ada yang jadi ngomongin gue di belakang. Makanya, sekarang gue jadi belajar nahan supaya nggak dikit-dikit curhat.”

“Setuju sih gue.” Rifa sekarang menaikkan kakinya ke atas. “Apalagi yang gue tahu, Gema juga tipe orang yang jarang banget bahkan nggak pernah buat cerita-cerita soal ceweknya dia atau masalah dia. Nggak tahu kalo ke temen-temennya yang lain, sih.”

Yes, he is.” Gue menyetujui. “Bahkan cenderung tertutup itu orang.”

“Dia juga masih begitu ke elo?”

Gue menggeleng. “Udah nggak sih. Sekarang dia udah mau sedikit demi sedikit narik gue ke dalam cerita-cerita hidupnya dia. Walaupun gue tahu dia masih hati-hati banget.”

Ngomong-ngomong soal itu, gue jadi ingat waktu pertama kali Gema mulai mau menceritakan soal Ayahnya. Malam itu, di pertengahan bulan April, sesudah kami berdua makan di angkringan makanan sunda yang ada di pinggiran jalan kota Bogor, Gema mulai bercerita. Tentang alasan kenapa dia melakukan itu setelah pulang dari acara nikahan Ayahnya. Gue jadi paham, sebenarnya Gema saat itu benar-benar sedang kecewa. Tentang pernikahan sang ayah. Tapi mungkin gue juga yang terlalu buta karena nggak sadar, saking hebatnya Gema menutupi itu semua saat di pelaminan. Sebenarnya gue sempat mikir tentang bagaimana perasaan Gema datang ke pernikahan ayahnya dengan wanita lain, tapi ketika gue melihat senyumnya dia di sana, gue langsung berasumsi... oh, Gema baik-baik aja. Tapi ternyata nggak.

Dia bilang rasa kecewa terhadap ayahnya masih ada dan mungkin nggak akan pernah hilang sampai kapanpun. Kenangan buruk ketika orang tuanya berpisah. Ketika baru sebulan dia masuk kuliah semester pertama, orang tuanya bilang kalau mereka akan bercerai. Di meja makan, yang seharusnya dia menikmati hidangan makan malamnya, malah harus mendengar kabar itu. Awalnya Gema bilang dia nggak paham, apa sih alasannya sampai harus cerai? Dua puluh tiga tahun bareng-bareng, kenapa harus bercerai? Dia nggak ngerti. Saat itu orang tuanya bilang udah nggak ada kecocokan lagi. Waktu gue dengan seksama mendengarkan ceritanya gue setuju sama Gema, dan gue ngerti pasti setiap anak akan selalu bertanya-tanya ketika orang tua mereka memutuskan bercerai padahal udah sampai puluhan tahun bareng-bareng. Apalagi jika alasannya karena udah nggak ada kecocokan lagi. Terlalu apa, ya? Mungkin.... terlalu aneh. Udah selama itu menikah, masa karena hanya beda visi dan misi atau udah ngerasa nggak ada perasaan lagi misal, langsung memutuskan untuk cerai? Ya gue juga nggak ngerti, karena gue belum mengalami. Gema pun sama.

Tapi dia bilang saat itu dia udah terlalu dewasa untuk protes dan menentang tentang perceraian orang tuanya. Maka dari itu pada akhirnya dia mengikhlaskan. Karena dia tahu kalau terus dipaksakan mungkin memang semuanya malah hanya akan memperburuk keadaan. Dia nggak mau kayak gitu. Namun ternyata setelah dua tahun kemudian dia cukup mengalami perubahan tentang keluarganya, satu kabar datang lagi. Kali ini cukup membuat hatinya berantakan. Ketika ayahnya memperkenalkan seorang wanita sebagai calon isteri barunya. Waktu itu gue langsung bisa dengar kalau suara Gema sedikit bergetar. Gue bilang supaya dia nggak perlu ngelanjutin ceritanya, karena gue nggak mau Gema jadi ingat yang dulu-dulu lagi.

“Gue nggak apa-apa, Ta. Serius. Gue waktu itu kecewa banget sama ayah karena gue masih sering mergokin mama mandangin foto-foto album keluarga. Foto-foto dia sama Ayah.”

Begitu katanya saat itu. Gue nggak berkomentar apa-apa. Cukup mendengarkan dengan baik sambil terus mengenggam tangan dia. Seolah mengatakan kalau gue bakalan terus di samping dia.

“Makanya waktu di mobil habis dari nikahan, gue bener-bener kehilangan akal. Perasaan gue campur aduk, Ta. Tentang rasa kecewa gue ke bokap, tentang gimana perasaan nyokap yang sebenarnya masih mencintai dia. Dan... tentang perasaan gue ke elo. Makanya gue ancur banget waktu denger kata-kata lo saat itu. Sori ya, Ta.”

Sejak malam itu, setelah Gema menceritakan tentang keadaan orang tuanya, gue jadi tahu satu hal; Gema takut untuk berkomitmen.

Sedikit Cerita Tentang Gema | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang