4

20 3 2
                                    


Hembusan angin menerpa tubuh azhar dengan perlahan. Suara rumput yang diterpa angin menambah syahdunya senja yang ia saksikan. Inilah tempat Azhar menenangkan diri dari segala keresahan hati. Berada di belakang sekolahnya, hamparan ladang jagung terlihat begitu indah di kaki cakrawala, ditambah langit yang seakan tersipu malu menunjukan rona merahnya. Hanya tasya yang hadir dibenaknya. Sekuat apapun ia tahan, Tasya selalu kembali menjenguk hati yang dirundung sepi, dalam wujud ilusi. Banyak upaya yang dilakukan olehnya untuk setidaknya mencegah tasya berhenti merujuk kembali. Organisasi, Club, Ekstrakulikuler, dan hangout bersama Ara seakan hanya hiburan sesaat.

Langkah kaki Ara terhenti ketika melihat sahabatnya yang berada di pinggir jurang landai duduk termenung menghadap hamparan jagung yang mulai mengering. Ia seakan sibuk bernostalgia dengan senja yang pernah ia lalui bersama dengan Tasya. Sudah kesekian kali Azhar terlihat lesu dan tak seenerjik Azhar yang dulu. Dan bagi Ara, Azhar terlalu mempedulikan kenangan pahitnya. Seakan Azhar gemar untuk membebankan dirinya dengan berbagai penyesalan. Meski begitu, Azhar sangat lihai dalam menyembunyikan segala kepedihan saat bersama kawan-kawannya. Dan jelas, saat ia sendiri, pasti ‘hantu Tasya’ kembali menakutinya dalam benaknya.

“WOOOYYYYY!” Ara mengagetkan Azhar. Sayang, Azhar tidak bergeming. Seperti mengetahui keberadaannya dariawal.

“Gua suka senja,” Jawab Azhar dengan intonasi ingin memulai ‘ceramah’nya. Dengan sedikit senyum dan menundukkan kepalanya.

“Mulai deh nih. Udahlah, tasya mulu. Ga udah udah. Yang lu lakuin tuh bener. Gak salah ko”

Azhar membungkam. Memikirkan apa yang Ara sampaikan padanya ada benarnya juga. Ia meninggalkan Tasya bukan tanpa alasan. Ia ingin beristirahat dari hal yang berbau pacaran. Ara pun duduk di sebelah Azhar. Menawarkan diri sebagai kawan berbincang.

“ Yaelah apaan sih, Cuma ngomong gue suka doang!” 

“Zar,zar. Ampe kapan sih lu mau kaya begini? 3 bulan loh, 3 bulan!” mata Ara melotot, sedikit ngotot dengan menunjukan 3 jari tangan kanannya kehadapan Azhar.

Sampai, kapan sih mau seperti ini?. Pertanyaan itu menggema, berulang terus menerus dalam benaknya seperti suara gong yang ditabuh dalam ruang kosong. Ia sadar banyak orang terdekat yang mendapat imbasnya ketika dirinya seperti ini. Tak terkecuali sahabat kecilnya, Ara.

Rambutnya yang terselip di telinga dan sedikit bertebangan membuat Ara terlihat begitu menarik. Mata coklat itu menatap Azhar begitu dalam hingga memantulkan indahnya pemandangan sore saat itu. Keningnya sedikit mengerut. Disertai garis bibir yang sedikit melengkung kebawah. Tanda Ara punya harapan besar kepadanya. Harapan agar Azhar bisa melupakan tasya dalam waktu dekat. Azhar tidak menjawab pertanyaan itu. Terlalu menyangkut perasaan baginya hingga sulit dijawab.

“Zar gini loh, gue tuh kangen. Kangen sama lu yang dulu. Yang periang, bawel, lawakannya garing, dan.. pokonya gitu deh. Lu kaya bukan Azhar yang gue kenal.” Ara menegurnya, kembali menghadap hamparan ladang. Ia merasa begitu lega setelah mengeluarkan kalimat itu.

Lagi-lagi pertanyaannya berhasil membuat Azhar terdiam. Banyak yang hal berubah dari dirinya karena penyesalannya setelah meninggalkan Tasya. Pola makan, kesehatan semua itu terganggu karena ‘stress’ yang dialaminya. Sudah saatnya saya move on batinnya.

“Gila berasa ngomong sama sekam jagung nih gua! Eh jagung, apa kabar? Kapan nih bisa dipanen??” Seru ara sambil melihat ke salah satu jagung yang ada.

“Apa sih ra, gajelas.” Azhar sedikit terganggu dengan lawakan itu. Azhar menatap gadis itu sejenak dengan alis mengkerut dan kembali memandang hamparan ladang.

“Ya lagian situ Cuma diemin gue.” Ara membalas tatapan Azhar dengan gerutuan. Mukanya tak kalah garang dengan Azhar. Ditambah gerakan bola mata yang ia mainkan.

“Bingung mau jawab apa,” jawab Azhar lembut sambil menunduk.

”Maaf ya.” Terang Azhar. Kembali ditatapnya gadis yang menemani dirinya yang juga tertunduk.

“Gua cuma pengen lu ga kaya gini terus. Biar kita bisa kaya dulu lagi”
Ara kembali menatap Azhar. Sedikit terkejut rupanya Azhar juga menatapnya. Sejenak mereka bertukar pandangan, Mereka berdua langsung memalingkan kepalanya.

Kok kamu ganteng sih. Batin Ara. Ia menggelengkan kepalanya ,terganggu dengan kalimat yang terbesit di benaknya itu.

“Iya, maafin gue ya. Gara-gara beginian kita jadi jarang jajan bareng, ngobrol bareng, dan mungkin masih banyak hal lain yang udah ngga kita lakuin bareng-bareng gara-gara ini!”
Ara hanya tersenyum. Tidak menjawab.

“Dulu gua sama tasya..”

“PLIS LAH YA. UDAH BLENEK GUA DENGER NAMA ITU”
Azhar kaget, tak biasa Ara menjadi ngegas dan galak seperti ini. Mata Ara melotot seakan begitu kesal dengan Azhar ketika mengucapkan kalimat itu. Ada apa ya dengan Ara?—seperti ada yang berbeda.

“Eh iya maap maap. Uhh—mmm—anuu—pengen—“ Ucap Azhar canggung
“ ni orang malah ngeres lagi, mentang-mentang deket semak-semak bukan?”

“EH ENGGAK ENGGAK GW NYARI TOPIK!” jawab Azhar dengan panik sambil sedikit menjauhkan posisi duduknya dari Ara. Ya, walaupun Ara perlahan-lahan kembali mendekat pada Azhar.

Senja berlalu sedikit berbeda di dunia Azhar. Sedikit lebih indah karena bisa dinikmati dengan sahabat kecilnya. Sudah lama mereka tidak mengobrol selama ini. Tak hanya untuk Azhar, senja juga berbeda untuk Ara. Bercengkrama kembali dengan Azhar sudah lama dinanti olehnya. Tak biasa juga dirinya menghabiskan waktu dengan berbincang dan menunggu surya perlahan menghilang bersama Azhar. Canda dan tawa mengisi ‘reuni’ perdana mereka. Cakrawala tak sungkan tersenyum dengan rona merah meliputinya. Ia sadar, salah satu dari mereka tengah menyembunyikan sebuah rasa. Untuk kali pertama.
“Ah iya, janji lu.” Azhar bangkit dari duduknya.
Ara menatap Azhar yang kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Lah mau sekarang?”
“Gamau? Yaudah.”
“Ih mau dong!” Rumput yang ia cabuti dibuang ke jurang landai itu, menyusul Azhar dengan berlari.

α


Berbeda dengan ladang jagung, pemandangan ini sangat tidak menyenangkan Azhar. Bagaimana tidak? sepuluh stik es potong berceceran di meja nomor delapan di Kafe Babeh. Sampai-sampai ia hafal dengan rasa di setiap stik yang berceceran itu. Delapan kacang merah dan dua kacang ijo.  Wajah bahagia dibalut senyum sumringah ,melekat di wajah Babeh dan—siapa lagi kalau bukan dia yang tengah menikmati es potong ke sebelasnya. Dompet Azhar sekarang dilanda musim paceklik. Apakah Azhar rela? Tentu saja tidak. Setiap kali ia menolak untuk memberikan 5.000 Rupiah, Ara dengan wajah tengilnya memutar voice note Azhar mengucapkan janjinya kemarin sore. Ia sendiri tidak yakin apakah es yang ia emut sekarang adalah yang terakhir atau bukan.

“Aduh, gua kekenyangan,”Ara mengelus-ngelus perut dengan tangan kirinya

“Lu mau ga.” Tangan kanannya diulurkan. Menawarkan es potong yang tersisa setengah. Azhar mengambilnya tanpa bebicara. Perasaan lega dan kesal tengah berkecamuk.

“Gua anterin pulang ya,” Ucapnya sambil melempar stik es potong itu ke tong sampah di sebelahnya. Ara hanya mengangguk.

Azhar tertawa. ”Yaudah ayo,Ra!” Seru Azhar sambil menarik tangan kanannya. Ara yang mendadak bangkit merasa sangat pusing hingga badannya bertemu dengan separuh badan Azhar. Dengan spontan Azhar memeganginya.

“Lu gapapa?” Azhar menegakkan kembali badan Ara sambil memeganginya. Ia hanya terdiam saat Azhar bertanya. Wajah Ara terlihat sangat pucat. Azhar segera mengerti seolah tubuh Ara memberitahukan kondisinya tanpa perlu mengatakannya.

Tangannya memandu Ara untuk kembali duduk. “Yaudah duduk dulu ya,” Ucapnya lembut sambil membelai halus kepalanya.

Ara berusaha menahan senyumannya dan tetap memasang muka sakit sebisa mungkin. Ia sendiri bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Sulit menjabarkan mengapa jantung ini berdebar, mengapa denyut nadi melonjat, dan mengapa hati meledak-ledak ketika jemarinya menyentuh lembut ubun-ubunnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Analogi WartegTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang