4

11 1 0
                                    

Matanya terbuka perlahan, samar-samar Nara melihat sekelompok orang berdiri di sekeliling tempat tidur tunggalnya. Semua tatapan itu menyakitkan, mereka memandangnya seolah dirinya adalah penyakit. Penuh cemooh dan menjijikan.

Satu tangan di sana terangkat menutup paksa mulutnya membiarkan ia dalam kebisuan. Kemudian menggunting rambut panjangnya, di bawah sana Nara merasakan kakinya dipegang kuat agar tidak bisa melawan. Pengap, karena kemudian seluruh wajahnya ditimpa bantal. Nara mencoba mendorong bantal tersebut kenyataannya ia tak mampu.

Air mata mengalir deras ketika ia merasa kakinya dililit sesuatu. Sejenis tali, mungkin. Dalam hati Nara berdoa selamatkan lah dirinya, mungkin ada dosa di masa lalu yang pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Meski, Nara tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.

"Tolong... sakit, to-tolong aku," racau Nara dengan mata terpejam.

"ANNARA! sadar nak." Pria berkumis tipis dan bertubuh tinggi itu mengguncang raganya.

Annara menegang lantas membuka matanya dan melihat orang-orang di sekelilingnya. Tidak ada tatapan kebencian, tidak ada sorot yang menjelaskan seolah dirinya ini menjijikan sehingga membuatnya takut. Tidak ada.

Annara melirik sekilas ruangan tempatnya berbaring, unit kesehatan sekolah, di sinilah ia berada. Netranya menangkap eksistensi guru BK-nya, Pak Cahyo dan Bu Dewi serta Lucy, Firza, dan si kusam. Nara tidak tahu nama lelaki yang tempo hari dilemparnya dengan kaleng. Seingatnya lelaki itu teman Firza, hitam, dan menyebalkan.

"Lo gak apa-pa?"

Nara mengangguk sebagai jawaban lelaki kusam tersebut. Pandangan mereka bertemu, sorot mata lelaki yang Annara sebut kusam itu menenangkan dan ia agak tidak yakin dengan pendapatnya kali ini tapi, ia melihat gurat khawatir. Apa lelaki kusam itu mengkhawatirkannya?

"Annara, kenapa kamu gak langsung lapor sama saya kalau kamu diganggu oleh Sarah dan teman-temannya?" Kali ini Bu Dewi yang angkat bicara. Annara bingung kenapa ada dua orang guru di sana. Jangan-jangan berita dirinya dengan Sarah yang main rusuh di toilet sudah menyebar?

"Saya gak papa kok Bu, tadi gak sengaja kepeleset juga," kilahnya. Sementara Reza, Firza, dan Lucy yang mendengarnya di belakang sana melotot dramatis.

"Ann-"

"Iya Firza, gak sepenuhnya salah Sarah kok."

"Lo tuh begok atau pura-pura baik sih. Gak usah menutupi sesuatu yang udah kita ketahui," sambar Reza ketus.

Firza sendiri sampai cengo, biasanya yang suka berucap kejam itu dirinya.

"Apa karena kelamaan gaul ama gue ya."

"Reza! Annara lagi sakit jangan gitu dong," geram Bu Dewi.

"Ya sudah, saya harap ini terakhir kalinya kejadian seperti ini terjadi. Dan untuk kamu Annara, saya bermaksud untuk menghubungi orang tua kali-"

"Pak, saya jatuh disaat Sarah dan teman-temannya datang jadi, gak sengaja buat Sarah nabrak tembok akhirnya kita jatuh sama-sama. Zaza niatnya mau nolongin kita tapi, kaki Nara gak sengaja juga ngeinjek roknya. Kalo orang liat kesannya emang kita kayak lagi bertengkar. Tapi kita gak gitu Pak, kenapa harus panggil orang tua?" Penjelasan palsu itu Annara koarkan.

"Terus kenapa baju lo bisa robek?" Ternyata Reza masih ngegas.

"Ya namanya Sarah gak sengaja narik baju aku biar gak jatuh, ternyata jatuh juga."

"Lo tuh sakit jiwa ya," balas Reza dengan mata melototnya.

"Nggak, aku sehat walafiat."

"Kenapa sih lo nutup-nutupin Ra, lo harus jujur elo dibully Sarah dan temen-temennya." Dalam hati Reza ingin nyinyir sampai bulan. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Annara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Annara [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang