Aku belajar mecintai meskipun itu menyakitkan karena berkat dirimu aku mengenal kata ikhlas.
4 tahun setelahnya.
Aira berusia 27 tahun.
Aira mengelolah Caffe kecil milik Ayah dan Bunda di Surabaya.
"Mba, sudah ditunggu Mas Fino dimobil. Caffe sedang ramai katanya" suara Bi Yem membuat aira harus kembali tersadar akan kehidupanku saat ini.
"Makasih ya Bi"
"Kok makasih Mba?"
Bi Yem suka sekali panggil Aira Mba, padahal umurnya saja sudah setua ini. Harusnya panggil nama saja kan.
Jawaban Bi Yem selalu saja "Biar Mba Aira awet muda jadi saya akan terus panggil Mba meskipun Mba Aira nanti sudah tidak muda"
"Gak papa kok Bi"
"Biar saya bantu ya Mba"
Perlahan pergi kearah pintu keluar taman.
***
Tawamu kembali ceria, meskipun fisikmu tak lagi seperti dulu.
Apa aku harus benar-benar melepasmu?
Apa aku harus mempercayai dia, orang yang membuatmu terluka namun bisa membuatmu kembali tertawa?
Jika luka yang pernah kamu peroleh andai saja bisa aku ambil dan menukarnya dengan ha-hal bahagia yang aku punya, pasti sudah aku tukar sehingga kamu tidak pernah merasakan hal yang namanya terluka.
Maaf aku menjadi orang pengecut kedua kali.
Apa masih bisa, aku berjalan seiring denganmu?
Apa aku masih bisa membuat sinopsis cerita bahagia bersama kamu lagi?
Aku hancur namun aku juga bahagia, saat tawamu kembali bisa aku dengar.
Apa semesta memang sedang menunjukan cara kerjanya dengan menarik kamu perlahan menjauh dariku?
Aku pikir saat aku pergi semesta sedang merencakan hadiah yang begitu baik untuk kita berdua.
Ternyata tidak!
"Ra, aku disini"
Sedang melihatmu denganya.
Di taman kesukaanmu.
Pagi ini, pagi dimana aku melangkahkan kaki perlahan mundur dengan amat sangat ragu.
Bagas yang sejak tadi melihaat Aira sedang berbincang dengan Fino ikut beranjak pergi setelah melihat mereka pergi.
"Hmm kaya... Gak mungkin" batin Aira.
"Kenapa Ra?" tanya Fino yang melihat Aira menenggok ke arah belakang
"Gak papa kok"
"Ouh ya Dito sama Sasa katanya mau buka butik di Surabaya?"
"Iya besok aku juga datang kebutik mereka"
"Boleh bareng Ra?"
"Iyaa boleh, ajak dia juga ajah"
Hp Bi Yem bergetar.
"Maaf Mba hp saja getar, boleh saya liat dulu takut penting SMS dari Ibu atau Bapak"
"Iyaa Bi"
"Biar saya ajah yang dorong Bi" Fino dengan sigap menggambil alih tugas Bi Yem.
"Nggih Mas, matur suwun"
"Makasih Fin" Aira menimpali
Bi yem memeriksa HP miliknya dan terdiam beberapa saat.
"Mba..mba" Bi yem berlari kecil mengejar Aira dan Fino
"Iya Bi?"
Bi yem menyerahkan HP miliknya pada Aira.
"Assalamualaikum Bi, kabar Bibi baik kan? Maaf ya baru berani memberikan kabar, Aira keadaanya gimana Bi? Sehat kan?" apa lukisan saya selalu Aira terima?"
Bagas
"Dari siapa Ra?" tanya Fino
"Fin bisa minggir bentar gak?"
"Kenapa Ra?" tanya Fino bingung
Aira lantas mendorong kursi rodanya berbalik arah, namun tidak ada siapapun disana.
"Ra kenapa Ra?" tanya Fino kembali.
"Mba"
Tubuh itu bergetar.
"Dia disini, tapi kenapa? Apa yang tadi sekilas kulihat itu dia?" Batin Aira
Mengapa harus ada hal buruk jika hal baik lebih menjanjikan.
Mengapa ada rasa terluka jika bahagia lebih menyenangkan.
Apa agar kamu belajar bahwa hidup itu butuh proses pembelajaran yang menentukan kamu menjadi orang penyabar atau sebaliknya.
Menjadi orang egois atau sebaliknya.Dan aku disini akan tetap menjadi orang yang sabar sekaligus egois untuk menunggu semesta mempertemukan kita Bagas.
Meskipun entah kapan.
"Ra kamu gak papa Ra" tanya Fino sembari
menempatkan badan dengan cara melipat kedua lutut, bertumpu pada telapak kaki mensejajarkan tubuhnya dengan Aira."Aku gak papa kok, Bi bisa bantu Aira" kata Aira berusaha bersikap biasa.
"Iya mba" Bi yem dengan sigap kembali mendorong kursi roda Aira menuju mobil tanpa bicara apapun, karena ia tau apa yang Aira rasakan.
Fino membuka pintu depan mobilnya.
"Aku boleh duduk di belakang ajah sama Bi Yem gak Fin?" ucap Aira sedikit memohon.
"Ahh, ia gak papa Ra"
Fino mengangkat tubuh Aira dari kursi roda ke arah tempat duduk belakang.
Bi yem duduk disebelah Aira.
Mereka melaju ke arah caffe.
Sepanjang perjalanan, Aira hanya terdiam mengalihkan pemikirannya dengan melihat pemandangan kota Surabaya pagi itu.
Bi Yem menggenggam tangan Aira mencoba mengertinya.
Fino yang sedang menyetir mengalihkan pandanganya sesaat ke arah spion tengah dalam mobil untuk melihat kondisi Aira.
"Kamu kenapa ra? Siapa yang kamu harapkan tadi ditaman? Siapa yang menghubungimu sampai membuatmu terkejut? Lantas kenapa lewat Bi Yem bukan lewat kamu sendiri?" Batin Fino
---
Sampaikapan akan begini?
Ketika yang satu berusaha menunggu yang satunya berlari, ketika yang satunya sudah berusaha berhenti namun satunya lagi berlari.Tidak akan pernah ada titik temu.
Apa aku harus benar-benar menyerah?
Memulai semuanya dari awal tanpa kamu?
Meskipun aku sudah berjanji untuk menunggu seseorang yang entah bisa aku tunggu atau tidak tapi apa memang harus begini akhirnya?
Atau aku harus mempersilahkan waktu untuk bermain-main dengan kata tunggu yang sebenarnya meskipun entah sampai kapan?
Kamu kemana?
Sampai kapan menghilang?
Tidak mau jelaskan ini padaku?
Atau aku harus salah paham lagi baru kamu datang?
Aku tidak akan menyerah namun jika seperti ini apa kata menyerah itu harus aku gunakan?
Bagas, kamu dimana?

KAMU SEDANG MEMBACA
"Opacarophile" (Bagian 2)
Teen Fiction"Aku akan terus maju meskipun semesta sudah bilang aku harus istirahat" "Aku akan menunggu meskipun semesta sudah bilang aku harus menghilang" - - - - Untuk yang sudah membaca OPACAROPHILE BAGIAN 1 terimakasih, mari lanjutkan kisahnya di BAGIAN 2. ...