Bab 1. Zahira Anastasya

25 0 0
                                    


-Part 2-

"Kenapa sih, Za? Jangan teriak-teriak ah, aku denger kok. Itu juga matanya kenapa? Abis minum obat adrenergik yang bekerja di reseptor alpha-1 ya?" ucap ku seraya terkekeh.

"Ih, ini gue serius ya. Kenapa sih pakai nge-iya-in segala? Besok kan kita juga ujian, udah gitu katanya hari ini mau belajar bareng Sisi", oceh Mirza.

"Iya, Za. Inget kok, tenang aja", ucapku menenangkan Mirza, "Yaudah cit, sampai jumpa nanti sore ya di perpus".

"Makasih banyak kak, permisi kak Rara dan kak Mirza aku duluan ya", pamit Citra.

Mirza menatap kepergian Citra dengan sebal dan kemudian mulai menatapku dengan raut wajah gemas, tak lupa mulai mengoceh lagi tentunya. Aku yang pusing dengan ocehan Mirza akhirnya memutuskan untuk melepas alat bantu dengarku, sekarang jadi sunyi hanya ada aku dan pikiranku. Hal tersebut tidak lama tentunya, Mirza yang menyadari aku sengaja tidak mendengarkannya mulai sebal. Dia berdiri didepanku dan mulai menyentil kecil keningku.

"Haduh", rintih ku pura-pura kesakitan.

Bukannya menengok ke arah ku, Mirza justru berjalan mendahului aku dan bergerak dengan cepat. Aku segera memasang alat bantu dengarku dan berlari kecil mengejar Mirza. Secepat apapun aku melangkah Mirza tetap tidak terkejar, sebegitu sebal kah dia dengan ku?

"Za, kenapa sih? Ih kok tegang banget gitu wajahnya, jelek tahu!", ledek ku.

Bukannya menyahut Mirza malah memainkan game PUBG di ponselnya, tapi aku tidak pantang menyerah. Sekarang giliran aku yang menempelkan coklat dingin ke keningnya, hitung-hitung sogokan biar bisa senyum lagi. Coklat dingin diambil tapi aku masih belum disahutin, dasar manusia nyebelin.

Kami berdua masih saling mendiamkan, sesekali dia melirik ke arahku dan sesekali aku melirik ke arahnya. Begitu saja terus kami hening tanpa suara, kalau begini caranya lebih baik aku lepas kembali alat bantu dengarku agar keheningan ini lebih menentramkan. Keheningan disekitar kami seketika terpecahkan ketika Sisi datang dan memeluk ku erat dari belakang.

"Tadi aku kelewatan 1 stage, jadi aku buru-buru banget ngerjainnya. Aduh kenapa sih bisa-bisanya aku lupa, padahal udah aku pelajarin banget tuh semaleman. Kalian stage 7 gimana tadi ngerjainnya?", tanya Sisi menggebu-gebu.

Hening, pertanyaan Sisi tiada jawaban. Bukannya aku tidak mau menjawab, tapi aku baru saja memasang alat bantu dengarku jadi aku melewatkan pertanyaan Sisi. Maafkan aku, Sisi hehe. Tapi Mirza, manusia super menyebalkan itu juga tidak menyahuti perkataan Sisi, entah apa yang ia pikirkan sekarang.

"Ih kalian kenapa sih? Ini tuh lagi musuhan nih ceritanya? Ada apa sih? Aku melewatkan hal seru apa nih?", tanya Sisi penasaran.

"Gak tahu, tiba-tiba aku di diemin. Eh, by the way aku pamit duluan ya ada janji sama Citra. Ketemu lagi nanti malem ya", ujarku sambil bergegas melangkah pergi.

"Yaudah, gue balik ke kosan dulu. Pening kepala gue", ucap Mirza dan kemudian pergi mendahului aku.

"Kenapa sih?", tanya Sisi sekali lagi.

"Nanti aku ceritain, duluan ya say", pamitku.

Aku segera berlari menuju ke mushola untuk shalat ashar, selepas itu aku berangkat ke perpustakaan untuk menepati janjiku dengan Citra. Sesampainya di perpustakaan aku tidak menemukan Citra, mungkin masih belum selesai kelas pikirku. Aku menunggu Citra sambil membaca rangkuman yang telah aku hias.

"Kak, maaf nunggu lama ya? Maaf tadi aku dipanggil bu Tantri dulu", jelas Citra.

"Iya gak apa, sini duduk. Apa yang gak bisa?", tanyaku.

"Kenapa ya kak aku susah banget ngehafalin algoritma pengobatan? Tips dong kak", ucap Citra,

"Farmakoterapi tuh bukan sekedar kamu menghafal algoritma. Kamu harus paham dulu anatominya, paham patologinya, paham mekanisme kerja obatnya, baru bisa menentukan farmakoterapi sebuah penyakit. Sampai sini bagian mana yang kurang dipahami?", ujarku.

"Semuanya kak hehe", ucapnya cengengesan.

Aku yang melihatnya jadi geleng-geleng kepala, bukan karena aku hebat. Tapi karena Farmakoterapi memang sesulit itu untuk dipahami sama seperti garis hidup kita. Perlahan aku mengajari Citra, sekaligus me-recall kembali pelajaran-pelajaran yang pernah hinggap di kepala ku. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat ketika kita fokus. Aku ingat janji ku untuk bertemu dengan Sisi dan Mirza, akhirnya aku memutuskan pamit kepada Citra. Aku berlarian mengejar waktu, untaian nafas terasa berat bahkan aku kehausan kini. Segigih apapun aku berlari takdir telah menetapkan, aku terlambat. Tentu tatapan tajam Mirza yang pertama kali menyambut kehadiranku.

"Kalau janjian sama kita bisa ya telat, kalau janji ke orang lain diburu-buru banget", ucap Mirza ketus.

"Maaf deh, tadi aku mampir beli ini dulu", ujarku sambil menyerahkan 1 bucket KFC snack.

"Asik dapet sogokan nih ceritanya", kekeh Sisi, "Ra, aku udah diceritain Mirza soal tadi siang, Mirza tuh khawatir kamu bakal keteteran ujian besok"

"Iya aku ngerti kok, tapi nih ya dengan aku ngajarin orang itu kan sama aja aku belajar juga. Jadi ilmunya juga bisa ditransfer disini kan?", jelas Rara.

"Maaf, Ra. Tadi gue egois, gue takut aja lo panik besok terus nangis lagi", ungkap Mirza.

"Gak di maafin, bisa-bisanya ngediemin aku berjam-jam. Apa coba maksudnya?", ucapku pura-pura ngambek.

"Yaudah nih catetan kita 4 soal yang udah gue sama Sisi bahas, gak usah ngambek lagi lah", bujuk Mirza, "Eh, tapi gue juga mau ngambek lagi lah, bisa-bisanya lo sengaja gak dengerin gue tadi siang. Maksudnya apa tuh?"

"Berisik sih", ejekku.

"Oh gitu ya, yaudah gak jadi deh pinjemin catetan", ucap Mirza merajuk.

"Yaudah ayamnya gak usah dimakanlah kalau ngambek. Heran, ngambek tapi kok coklat dingin sama ayam masih diterima", ujarku.

"Yaudah nih gue balikikn tulangnya tapi lo.."

"GUYS STOP, PLEASE! Kalau ribut mulu kapan belajarnya?", ujar Sisi kesal.

"Hehe maaf", ucapku dan Mirza bersamaan.

Kami bertiga melanjutkan pembelajaran kami, sesekali diiringi candaan agar kebosanan tidak menghampiri kami. Hari sudah larut, Mirza pulang ke kosannya sedangkan aku dan Sisi kembali ke kamar. Aku tidak sabar menunggu hari esok dan menjadi pribadi yang bersinar.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, aku dan kedua teman ku duduk di depan ruang ujian sambil berdoa untuk keberhasilan kami. Sesekali Mirza menawari ku minum agar tidak gugup dan kemudian tawaran untuk menghantar ke kamar mandi dari Sisi, katanya sih takut aku kebelet saat ujian. Tingkah kedua temanku itu benar-benar sangat menggemaskan, bahkan aku bersyukur memiliki mereka. Terima kasih ya Rabb kau kirim mereka sebagai penguatku.

Kami masuk ke ruang ujian, mengerjakan berbagai soal yang beberapa telah kami pelajari sebelumnya. Namun sisanya kami menemukan beberapa soal yang tidak kami sangka-sangka akan keluar, kami menyepelekannya. Ekspresi kami saat keluar ruang ujian pun beragam, aku penasaran apakah teman-temanku berhasil melewati ujian hari ini atau tidak.

"Gimana?", tanyaku ke Mirza yang telah keluar ruangan terlebih dahulu.

"Ya gitu, lo gimana?, tanyanya kembali.

"Ya sama hehe", ucapku.

"Tenang guys kalian gak pusing sendirian, aku bersama kalian", sanggah Sisi.

Kami keluar dari ruang ujian dengan melepas beban lama namun merangkul kecemasan baru. Keberadaan mereka membuat segala beban dan kecemasan perlahan memudar. Bagaimana tidak? Kami menertawakannya. Terkadang segala hal yang telah berlalu bisa dijadikan pembelajaran, tapi bisa juga untuk ditertawakan bersama.

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang