Namanya Sabar. Preman paling tidak sabaran di jalan Sukaraja. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Tidak punya pekerjaan tetap apalagi rumah dan istri.
Setiap hari suka nongkrong di kedai kopi Pak Ucup. Terkadang beli pakai uang malak keliling, terkadang minta kasihani. Walau tampang brewok bak mafia kecap, Sabar masih lembut kepada orang tua. Seperti Pak Ucup misalnya. Namun, Sabar akan kehilangan kesabaran pada siapa pun yang tidak punya sopan santun.
Dua hari yang lalu misalnya, Sabar nyaris menghancurkan motor pemuda yang teriak – teriak gak jelas di jalan Sukaraja. Sabar langsung bangkit dari kedai kopi Pak Ucup sambil membawa kursi dan dilemparkannya ke arah motor si pemuda.
Apa mau dikata? Si pemuda memang sudah mabuk tak tahu diri lagi. Itu juga menjadi kekesalan sendiri bagi Sabar. Hanya dia yang boleh kurang ajar di jalan Sukaraja. Hanya dia, tidak boleh ada yang lain.
Pagi ini sama seperti biasanya, Sabar berkeliling memungut pungli dari orang – orang. Entah itu tukang parkir, ruko, ataupun mini market. Tentu banyak yang tidak suka dengan hal itu. Namun, apa mau dikata lagi? Sulitnya mencari pekerjaan memang sangat dirasakan oleh Sabar.
Saat matahari sudah setinggi ubun – ubun, Sabar pun nongkrong dan memesan kopi di kedai Pak Ucup.
"Dek Sabar," ujar Pak Ucup. "Apa kamu tidak mau cari pekerjaan yang halal dan baik?"
Pak Ucup berjalan dan menyuguhkan secangkir kopi kepada Sabar. Sabar menyeruput kopinya sekali sebelum menjawab pertanyaan pemilik kedai.
"Maulah, Pak Ucup. Tapi siapa yang mau mempekerjakan preman kayak aku ini, Pak? Sudah kutanya itu keliling minimarket dan ruko, takut mereka samaku."
Pak Ucup menggaruk – garuk kepalanya.
"Yah, coba kamu tidak teriak – teriak seperti tadi pagi. Pasti persepsi mereka bakal berubah nanti."
"Sekali preman bakal dicap preman, Pak Ucup. Seniorku yang preman juga demikian. Walau beda wilayah, tetap sama saja perlakuan orang – orang terhadap ras kami ini, Pak. Capek kalilah."
Sabar kembali menyeruput kopinya lagi. Tangannya kemudian mengeluarkan uang dari saku rompi jeans. Ia menghitungnya pelan – pelan. Uang pecahan seribu dan dua ribu disusun rapi di atas mejanya.
"Buat apa itu duit?" tanya Pak Ucup, penasaran.
"Ada rencana aku ini, Pak. Entah bisa entah enggak nanti."
"Rencana apaan?"
"Adalah itu. Yang penting mantap kali lah ini, kurasa."
Pak Ucup geleng – geleng kepala. Enggan untuk percaya pada angan – angan sang preman jalan Sukaraja.
Seorang berpakaian rapi datang dan duduk di meja yang ada di sebelah Sabar. Lelaki itu memakai masker dan kacamata segi empat yang tembus pandang.
"Kopinya satu ya, Pak," seru lelaki tersebut.
"Baik, Bang. Gak pakai camilan, Bang?" tawar Pak Ucup yang tengah berada di dapur kedainya.
"Nanti aja, Pak. Kalau udah lapar dikit."
"Eh, Bang," sela Sabar. "Kenapa kau pakai masker di siang bolong begini? Lagi sakit apa kau?"
"Oh, bukan. Saya pakai masker untuk mencegah penularan virus Corona, Bang," jawab sang lelaki.
Sabar nampak sedang berpikir. Ia merasa pernah mendengar kata itu sebelumnya. Saat ingatannya terkoneksi ke otaknya, telunjuknya langsung naik ke atas.
"Oh! Yang dari Wuhan itu, ya? Batuk dingin demam mati konyol, kan?" Sabar langsung tertawa.
"Enggak bisa dibilang mati konyol juga, Bang. Itu kan memang virus berbahaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen - Preman CORONAIS
القصة القصيرةSabar adalah preman yang paling tidak sabaran di jalan Sukaraja. Saat pandemi melanda, ia menyadari hal penting selain memalak uang. #preman #cerpen #corona