ALARISE

13 1 1
                                    

Alarise Josephine

Namaku Alarise Josephine. Aku tidak perlu memperkenalkan diri secara rinci karena orang-orang sudah mengenalku, sekali pun aku tidak menginginkannya. Hidupku adalah sesuatu yang diinginkan setiap orang normal di muka bumi. Rumah luas dan megah, kaya raya—bahkan ada yang mengumbar cerita bahwa aku memiliki air terjun emas—yang sangat tidak masuk akal hingga aku bertanya-tanya dongeng murahan macam apa yang dibacanya sewaktu kecil.

Aku tidak pernah menunggu orangtuaku mendapat upah bulanan ketika aku membutuhkan uang. Mereka tidak mendapat gaji, melainkan seseorang yang memberi uang sisa untuk pekerja yang layak menerimanya. Hampir semua orang yang mengenalku mempertanyakan betapa menyenangkannya menjadi seorang gadis dengan nama belakang Josephine yang merupakan awal dari segalanya. Tapi, aku selalu mangkir untuk menjawabnya karena menjadi diriku tidaklah menyenangkan.

Orangtuaku amat sangat tidak sudi meluangkan waktunya untukku. Aku tinggal sendirian di kota sialain ini, sementara mereka hidup di belahan benua lain secara terpisah, menjelajahi samudera, dan berganti pasangan kapan pun mereka mau. Meskipun begitu, mereka tidak mau bercerai karena urusan bisnis. Mereka memperebutkan uang—yang diam-diam pernah kucuri untuk membeli plastik berklip berisi serbuk putih bak gula halus—bukan hak asuh atas diriku.

Sesekali mereka akan mengajakku datang ke pesta super mewah. Ayahku, Theodor-si-pria-besar-kepala, akan memperkenalkanku sebagai seorang putri yang membanggakan, sementara ibuku akan menceritakan betapa cantik dan berharganya aku di depan semua orang. Wanita paruh baya bernama Erica itu tampak senang sekali memiliki putri yang berparas serupa dengannya. Pahadal kenyataannya, tidak satu pun dari kami bertegur sapa, sekali pun di hari natal. Kami merupakan bentuk paling tidak normal dari sebuah keluarga.

Hingga akhirnya, setelah sekian lama, Tuhan berbaik hati memperbolehkanku mencicipi setitik kebahagiaan yang Dia ciptakan. Sekitar empat bulan lalu, seseorang bernama Daniel datang di hidupku, dan hanya dengan berada di dekatnya saja aku bisa merasa bahagia. Kami memiliki banyak kesamaan. Dia hanya seorang laki-laki biasa dengan segudang permasalahan hidup yang memakai kedok serta berpura-pura menjadi pahlawan kesiangan—datang untuk menyeka semua kesedihanku dan lupa kalau dia sendiri butuh pertolongan.

Namun, aku telah sampai pada titik yang membuatku yakin bahwa kebahagiaan memang tidak pernah ditakdirkan untukku karena pada akhirnya, Daniel meninggalkanku, sehingga yang tersisa hanyalah Alarise dan mimpinya akan kehidupan layak yang terbengkalai.

Itulah alasan kenapa saat ini aku berdiri di depan bilik kamar mandi menggelikan dengan seorang psikopat bersemayam di dalamnya. Aku tidak akan membuang waktuku untuk menghampiri orang mengerikan sepertinya jika tidak dalam situasi mendesak. Aku hanya tidak yakin ingin melanjutkan hidup dengan segala jenis penderitaan yang telah aku rasakan tujuh belas tahun lamanya. Sementara itu, meskipun terdengar sangat putus asa, aku tidak ingin mengakhiri hidup seperti apa yang dilakukan Daniel karena aku tidak bisa melakukannya.

Satu-satunya cara adalah membiarkan si psikopat Jevon Belvien untuk membunuhku. Setelah mendengar kabar yang sangat melegenda bahwa dia pernah membunuh sahabatnya ketika berumur 14 tahun membuatku yakin dia mahir dalam hal itu.

Kuketuk pintu bilik kamar mandi yang rapuh itu. Lalu, sepersekian detik berikutnya, aku melihatnya berdiam diri di atas toilet duduk dengan bagian atas yang tertutup. Dia terlihat seperti manusia normal dengan rambut coklat gelap. Hanya saja, aku tidak menganggapnya senormal itu karena seorang kriminal pandai berkamuflase.

"Kudengar kau seorang psikopat," ujarku dalam satu helaan napas. Tidak lama, aku melanjutkan, "bisakah kau membunuhku?"

Sialnya, tanpa kusadariaku baru saja menambah satu masalah di hidupku setelah berurusan dengan JevonBelvien.

***

Broken PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang