Bagian 3 - DINOSAURUS TAMPAN

76 6 3
                                    

Hari pertama buka setelah tiga bulan tutup. Aku sama sekali tidak merubah apapun yang ada di kedai ini. Termasuk nama, aku masih memakai nama yang sama seperti saat Alan yang mengurus kedai ini. COFFEE GARDEN. Menu utama kami tetap berbagai jenis minuman dan makanan yang berbahan dasar dari kopi. Karena memang Alan adalah pecinta kopi. Kedai ini akan menjadi bukti bahwa aku tidak akan pernah melupakan Alan.

Aku tidak menyangka kalau pengunjung kami akan sangat ramai seperti ini. Mengingat kedai ini sudah tutup cukup lama. Ternyata pelanggan kedai kopi ini dulu tetap setia menunggu tempat ini buka. Aku sedikit kebingungan melayani para pelanggan ini. Tapi aku bahagia kalau setipa hari akan seperti ini. Atau kedai ini ramai karena hari ini kami menjual semua menu dengan setengah harga. Aku hanya tersenyum memikirkan hal ini.

“Selamat siang, Nona Tita.” Suara seseorang yang sepertinya aku kenal menghentikan pekerjaanku. Buru-buru aku memalingkan kepala menghadapnya. Aku kira dia sudah menyerah. Ternyata belum. Dia kembali lagi. Aku menghela nafas kesal.

“Saya kira Bapak sudah menyerah.” Aku tersenyum sinis.

“Tidak semudah itu.” Arifin tertawa tapi terkesan dipaksa. “Hari ini saya hanya mengantar klien saya yang ingin menemui anda.”

Mataku mencari seseorang yang Arifin maksud. Tapi aku tidak menemukan siapapun di belakang pria itu.

“Dia masih dalam perjalanan kesini. Tunggu sebentar lagi.” Sepertinya Arifin mengetahui gelagatku yang mencari seseorang.

“Baiklah silahkan anda duduk dulu menunggu klien anda.” Aku mempersilahkan dia duduk disalah satu tempat kosong. “Anda ingin pesan sesuatu?” aku bertanya setelah dia duduk.

“Espresso.” Dia menjawab sambil tersenyum.

“Tunggu sebentar.” Kataku kemudian berlalu dari hadapannya. Kali ini apa yang akan dia lakukan. Aku harus waspada. Akan aku lakukan apapun demi mempertahankan kedai ini.

Sesaat kemudian aku kembali membawakan pesanan Arifin. Aku melihat ada seseorang dihadapannya. Seorang pria berbadan tegap. Mungkin itu adalah klien yang ditunggunya. Aku berjalan kearah meja mereka dan menaruh pesanan Arifin.

“Nona Tita, kenalkan ini adalah klien saya, Pak Dionisius.” Arifin memperkenalkan kliennya padaku.

Aku menoleh kearah orang yang diperkenalkan oleh Arifin. Seketika mulutku terbuka lebar saat melihatnya. Sangat terkejut begitu melihat pemandangan didepanku. Dia adalah pria yang bukunya tertukar denganku kemarin. Seingatku namanya adalah Dio tapi Arifin memperkenalkannya sebagia Dinosaurus?

“Kita bertemu lagi. Ternyata kamu orang yang diceritakan oleh Pak Arifin kemarin.” Dio tersenyum, tapi terkesan meremehkan. Dan kata-katanta barusan menyadarkanku bahwa dia benar orang yang aku temui kemarin.

“Ternyata anda orang ingin membeli tempat ini. Baguslah anda disini sekarang, karena saya juga ingin berbicara dengan anda.” Aku memandangnya sinis.

“Tenang Nona Tita. Duduklah dulu, kita bicarakan baik-baik masalah ini.” kini Arifin mencoba mencairkian suasana yang mulai menegang.

Aku menuruti perkataan Arifin dan duduk disampingnya. “Baiklah, sekali saya katakan kepada anda berdua.” Aku menatap mata mereka bergantian. “Saya tidak akan mau menandatangani surat-surat itu dan saya tidak akan pernah menjual tempat ini. Karena tempat ini sangat penting untuk saya. Jadi saya mohon kalian berdua mengerti.” Aku berbicara dengan lantang  pada mereka.

“Tidak bisa begitu, anda juga harus tahu bahwa saya telah membayar mahal untuk membeli tempat ini. Saya akan memberi anda waktu satu minggu untuk memikirkan ini semua. Kalau tidak mungkin saya akan memakai jalur hukum untuk menyelesaikannya.” Dio menatapku tidak kalah tegas dengan ucapanku tadi.

Aku memutar bola mata jengah. Dia mencoba mengancamku rupanya. “Anda mencoba mengancam saya?” aku menghela nafas. “ Silahkan saja. Saya tidak takut dengan ancaman anda barusan. Apapun yang terjadi saya tidak akan melepaskan tempat ini. Oh ya, siapa yang telah menjual tempat ini pada anda?” Aku bertanya pada Dio karena aku benar-benr penasaran dengan ini.

Dio tersenyum. “Anda tidak perlu tahu siapa yang telah menjual tempat ini pada saya. Yang anda harus tahu sekarang jika anda tidak mau menandatangi surat-surat ini, saya akan benar-benar membawanya ke meja hijau. Dan anda harus bersiap untuk membayar denda yang tidak bisa dibilang murah.”

“Silahkan saja, saya tidak perduli dengan ancaman anda. Saya tidak akan menandatangani surat-surat itu.” Aku menggebrak meja pelan menahan amarah yang sudah hampir membuncah. Aku pun pergi meninggalkan mereka setelah memandang mereka satu persatu.

Aku sudah tidak tahan lagi. Air mataku menetes begitu saja saat aku memasuki pintu toilet. Beruntung tempat ini sepi. Aku menangis sesenggukan disini. Demi Alan aku harus mempertahankan tempat ini. Bahkan aku akan membayar berapapun untuk tempat ini. Jika perlu aku akan meminjam uang kepada siapapun. Papa atau kakakku pasti akan meminjamiku uang. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk Alan. Aku mendengar pintu toilet terbuka dan mendengar langkah kaki mendekat. Buru-buru aku mengusap air mata yang telah membanjiri pipiku. Mencuci muka mungkin akan sedikit menyamarkan wajahku setelah menangis.

“Ta, lo nggak apa-apa?” Aku mendengar suara yang sangat aku kenal. Aku menoleh kearah sumber suara itu dan mendapati Elsa dengan wajah khawatirnnya sedang memandangku.

“Nggak apa-apa, Sa.” Aku memaksakan untuk tersenyum.

“Lain kali kalo mau bohong sama gue jangan pakai mata sembab gitu deh. Gue tahu lo abis nangis kali, Ta. Lo cerita deh sama gue. Lo abis nemuin siapa sih sampai nangis-nangis gini.” Elsa mendekatkan badannya kearahku dan menyentuh tangan kananku.

“Gue habis ketemu sama orang yang mau beli tempat ini, Sa.”

“Apa? Tempat ini mau dibeli orang, Ta? Bukannya lo bilang nggak akan jual tempat ini?” Mata Elsa membulat karena kaget.

“Bukan gue yang mau jual tempat ini, Sa.”

“Terus siapa dong?”

“Gue juga bingung. Mereka nggak mau ngasih tahu siapa yang udah ngejual tempat ini. Yang lebih bikin gue bingung mereka udah punya semua surat-surat kepemilikan tanahnya. Mereka cuma butuh tanda tangan gue aja buat bikin tempat ini sah jadi milik mereka.”

“Kok bisa sih, Ta? Jadi mereka kesini itu mau minta tanda tangan lo? Terus bukannya yang tahu tempat penyimpanan surat-surat tanah tempat ini itu cuma lo sama Alan doang, Ta?”

“Sebenernya ini bukan pertama kali mereka dateng kesini. Tiga hari yang lalu pengacara gendut itu udah kesini, tapi gue usir dia, Sa. Gue kira dia udah nyerah gara-gara dia udah nggak muncul lagi. Tapi ternyata hari ini dia balik lagi bawa Dinosaurus itu.”

“Dinosaurus?”

“Itu cowok nyebelin yang kemarin gue ketemu gara-gara bukunya ketuker sama gue. Dia itu yang udah beli tempat ini keorang yang gue nggak tahu.”

Elsa tertawa. “Bukannya lo bilang kemarin namanya Dio ya, kok jadi Dinosaurus sekarang?”

“Tadi si pengacaranya ngenalin dia pake nama Dinosius apa siapa gue lupa. Gue ingetnya Dinosaurus.” Nggak penting juga buatku tahu siapa nama orang itu.

Elsa semakin terbahak dengan perkataanku barusan. “Ada-ada aja lo, Ta. Tapi lo tenang aja gue bakalan bantuin lo semampu gue.”

Aku mengangguk dan tersenyum.

Haaiii....

Sorry banyak typo dan makin nggak jelas alur ceritanya :p

Coffee and TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang