Memories
Bagian 8***
Quinby telah kembali dengan senyum lembut. Ia memutuskan duduk di kursi yang ada di UGD, menghabiskan waktu untuk mengamati seorang pria yang masih sibuk dengan stetoskopnya.
Akan tetapi, keberadaannya yang baru sebentar itu, langsung tertangkap oleh ekor mata Axel. Pria itu langsung melepas stetoskop dari telinga dan memberikan beberapa perintah pada perawat yang berdiri di sampingnya, kemudian melangkah ke arah Quinby dan duduk di sebelah gadis itu.
"Sudah merasa lebih baik?"
"Masih sedikit nyeri, tapi tidak seburuk sebelumnya."
Lantas, jemari besar Axel bergerak menyibak anak rambut yang basah. "Wajahmu masih pucat, kau istirahat saja lagi."
"Tidak perlu, Axel. Aku sudah sehat. Terima kasih."
Bola mata cokelat favorit Axel kembali, sorot teduh yang dipancarkan dengan senyum tulus yang mewarnai. Axel sejenak terpaku pada wajah Quinby, hingga gadis itu menunduk dan bermain dengan jari-jarinya sendiri.
"Berterima kasihlah pada Angel, Quinby. Dia yang menjagamu dari tadi. Aku tidak bisa menjagamu ...." Lalu pandangan Axel beralih pada UGD. "... UGD sangat ramai tadi."
Tiba-tiba, Axel teringat Angel yang menangis tanpa suara saat melihat Quinby kesakitan. Sayangnya, sejauh kedua mata Axel memandang, ia tidak menemukan putri kecilnya.
"Seingatku, Angel ikut berbaring di sampingmu karena aku menyuruhnya untuk menjagamu, lalu di mana dia sekarang?"
"Aku tidak tega membangunkannya. Jadi, aku mengendap-endap untuk bisa kemari."
Axel mengangguk lamat.
"Sepertinya dia kelelahan. Jujur saja, aku tidak pernah melihat Angel sesedih itu saat mengkhawatirkan seseorang selain diriku, Quinby. Sepertinya, kau orang kedua yang sangat Angel sayangi."
Bibir Quinby melengkung ke atas dengan indahnya. Jangan lupakan pipi yang tersipu. Seketika perasaan Quinby menghangat. Seolah kehadirannya di tengah ayah dan anak ini, membuatnya lebih dibutuhkan. Awal datang sebagai orang asing yang sebatang kara, kini Quinby merasa ia sudah punya keluarga. Tak hanya Axel yang memperlakukannya baik, Angel pun sudah ia anggap sebagai putri kecil kesayangannya. Sebuah perasaan yang membuat Quinby tak bisa mendefinisikan sesuatu yang lebih dari kata bahagia.
Lalu, tembok besar bernama lamunan terbangun di antara Quinby dan Axel. Keduanya seperti telah kehabisan stok percakapan yang membuat diam menjadi pilihan terbaik. Hiruk pikuk suara perawat juga dokter yang saling bersahutan pun seolah berubah senyap, seperti sebuah film monokrom yang hanya menampilkan gambar tanpa suara.
Beberapa kali Quinby tertangkap sedang mencuri lirikan ke arah Axel, pria itu secara tiba-tiba berdiri lalu menarik tangan Quinby untuk ikut berdiri alih-alih mengulurkan tangannya.
"Jangan di sini. Kita ke tempat lain saja, aku juga ingin menikmati kopi."
Dan, Quinby membiarkan genggaman hangat itu ikut menghangatkan relung hatinya.
***
Dua gelas minuman berada di tangan Axel, satu berisi kopi dan gelas lainnya berisi cokelat hangat. Axel menaruh kopi di dekatnya, sedangkan cokelat hangat ia berikan pada Quinby. Meja dekat kaca transparan dengan pemandangan mengarah ke luar rumah sakit menjadi pilihan Axel untuk menikmati gumpalan salju yang mulai mencair.
Tak terasa, salju yang membawa pertemuan perdana Axel dengan Quinby, kini mulai menunjukkan peralihan musim. Secepat itu waktu berjalan, secepat itu musim akan berganti, dan secepat itu pula Axel dan Quinby yang saling merasa nyaman meski kadang kastil bernama canggung masih menjadi bangunan penghalang ketika salah satu mulai salah tingkah atau terpergok mencuri tatapan.