part 14

110 17 0
                                    

"Kamu baru ke sini?" Ettan sengaja bertanya untuk memecah kesunyian.

"Ya," jawab Mettasha tanpa berniat memperpanjang pembicaraan.

Untuk pertama kalinya Mettasha menerima ajakan Ettan ke luar saat dirinya shift pagi. Ettan sengaja pulang dari kantor langsung ke rumah Mettasha, sebagai resminya mereka berteman. Ah, tentu saja itu akal-akalan si Ettan saja supaya bisa merasakan kencan menjelang malam minggu.

Ettan mengajaknya makan ketoprak di jalan kartini, memang hanya tempat pedagang kaki lima. Namun, menurut Ettan inilah salah satu cara membuat Mettasha nyaman.

Tentu saja Ettan mampu mengajak Mettasha makan di restoran mahal sekali pun, duitnya Ettan banyak kalau hanya sekadar buat pamer bahwa dia termasuk golongan orang berada. Namun, sekali lagi, teman biasanya identik dengan di mana-mana hati pasti senang. Maksudnya nilai pertemanan tidak diukur oleh sebuah materi. Itu pemikiran Ettan, karena dia pun suka makan di pinggir jalan bersama Marva.

"Hidup kamu cuma rumah dan toko? Serius?" Ettan bertanya lagi supaya terjadi percakapan panjang seperti yang dia inginkan.

"Ya," jawab Mettasha singkat.

Kasian Ettan. Dikacangin dia, wkwkwk.

Bingung mau berkata apa lagi, akhirnya Ettan pun memilih diam. Dia mengikuti pandangan Mettasha yang terus tertuju pada kantor urusan agama.

Jangan-jangan itu kode, Tan.

Baru saja Ettan mau membuka mulut, Mettahsa kini menatapnya tanpa berkedip. Yang ditatap malah menjadi salakh tingkah sampai memasukkan sedotan ke dalam hidung, sepertinya Ettan mendadak lupa letak mulutnya di sebelah mana.

Melihat hal itu, secara naluri Mettasha akhirnya tertawa juga. Memang tidak sekeras tawa Marva yang membahana, tapi ini cuku membuat dada Ettan kembali berdesir.

Cantik. Tawanya begitu tanpa beban, bahkan Ettan pun kini ikut menertawakan dirinya sendiri. Cinta memang selalu menciptakan bahagia.

Ketoprak menjadi saksi atas dua insan yang kini sedang menertawakan hal yang konyol, sampai akhirnya Mettasha tersadar bahwa Ettan tidak lagi mengeluarkan suara dan menatapnya begitu intens.

"Sorry, saya nggak bermaksud buat mengejek," ucap Mettasha merasa bersalah.

"Saya suka kamu tertawa seperti itu, selama kita kenal baru kali ini saya mendengar kamu tertawa, dan hebatnya lagi itu karena saya." Ettan sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada perempuan yang kini menunduk malu.

Pipi Mettasha semakin memerah, jelas saja dia malu. Ini pertama kalinya berinteraksi dengan laki-laki.

"Eh, sorry kalau saya bikin kamu nggak nyaman, ayo habiskan." Ettan kembali dengan piring ketopraknya.

Sebuah anggukan kecil terlihat samar dari Mettasha, kemudian dia pun perlahan kembali memakan ketoprak yang sudah tingal setengah.

Suara kendaraan terdengar seperti nada yang indah di telinga Ettan, dia tidak akan pernah melupakan momen ini sepanjang hidupnya.

Sabar, Tan. Semuanya butuh waktu, termasuk mendekati Mettasha dalam hal yang lainnya.

🧚‍♀🧚‍♀🧚‍♀🧚‍♀🧚‍♀🧚‍♀

Berkali-kali Mettasha melihat jam di pergelangan tangannya, ini sudah hampir Magrib. Inggrid pasti tengah menunggunya di rumah.

Bukannya dia tidak mau mengajak Inggrid, hanya saja Melly menahan Inggrid supaya Mettasha bisa leluasa ngobrol dengan Ettan. Tentu saja Melly sangat mendukung ketika Ettan datang dan mengajak putrinya pergi.

"Aku harus pulang," ucap Mettasha membereskan tasnya, lalu berdiri.

"Eh, udah? Bentar aku bayar dulu." Ettan buru-buru membayar makanan.

"Nggak usah nganter, ya." Mettasha hendak memesan ojek online.

"Saya yang jemput, masa biarin kamu pulang sendiri, kek jelangkung aja," kelakar Ettan.

Segera Ettan membuka pintu mobil dan mempersilahkan Mettasha masuk. Mettasha hanya memperhatikan Ettan yang berjalan memutari mobil, kemudian duduk di balik kemudi.

"Bisa digorok ibu kamu kalo pulang sendiri," ucap Ettan sambil menyalakan mesin.

"Saya sudah terbiasa sendiri," elak Mettasah.

Jelas saja, selama ini Mettasha sudah terlalu mandiri untuk sekadar pergi-pergi seperti ini. Apalagi sekarang sudah banyak ojek online yang bisa mengantarkannya pulang tanpa harus berdesakan dengan banyak orang di dalam angkot ataupun busway.

"Sekarang tidak sendiri, kan, ada saya." Rupanya Ettan tidak mau kalah atas perdebatan kecil ini.

"Kamu siapa?"

"Ettan," jawabnya mantap.

Jawaban Ettan jelas saja membuat bibir Mettasha berkedut, tidak ada yang salah. Hanya saja Mettasha geli mendengar Ettan berbicara seperti anak SMA. Dia sudah tua kalau tidak salah.

Segera memalingkan wajah Mettasha mengulum senyum, matanya kembali menatap kantor urusan agama yang sedari tadi menarik perhatiannya.

Andai saja ....

Ah, buru-buru Mettasha menggelengkan kepala untuk mengusir kehaluan yang kini menghampiri pikirannya.

Padahal tidaklah salah jika seseorang menginginkan sebuah pernikahan, tapi semua itu akan menjadi mustahil Saat Mettasha yang mengharapkannya.

Ya, sebuah pengakuan status. Dalam benaknya selalu berpikir, bagaimana nanti kalau Inggrid sudah besar dan menanyakan kenapa hanya ada nama dirinya dalam akta kelahiran Inggrid.

Apakah Inggrid harus mengetahuinya?

Buat apa?

Wali nikah Inggrid pun sudah jatuh pada hakim nantinya. Oleh sebab itulah Mettasha selalu berpikir untuk menikah, tapi ketakutannya yang lain masih terus menghampiri. Semuanya menjadi serba rumit.

"Hei, kenapa?" Suara Ettan membuyarkan lamunan Mettasha.

"Ah, mmm ... gak papa," jawabnya dengan senyum tipis di bibir.

"Pulang kita? Tapi saya mau mampir dulu ya, Inggrid pasti suka dibawakan pizza," usul Ettan.

"Nggak perlu," tolak Mettasha.

"Kenapa? Saya mau kasih Inggrid, bukan kamu, yeee ...." Ettan mencoba melucu, walaupun sangat garing.

"Ish!" desis Metthasa.

Kemudian keduanya tertawa kembali, Ettan langsung mengambil ponsel dan segera memesannya lewat aplikasi. Begitu selesai langsung tancap gas dan mencari outlet pizza di sekitaran jl. Sudirman.

"Kamu tunggu di sini atau ikut masuk?" tawar Ettan.

"Saya di sini saja," sahut Mettasha.

Ettan pun membuka seatbealt, lalu keluar mobil dan masuk ke dalam outlet untuk mengambil pesanan.

Bolehkan Mettasha berharap lebih pada Ettan? Mengingat hanya dia yang terlihat begitu memahami kondisinya saat ini.

Senyum itu kembali terbit, andaikan saja benar Ettan laki-laki yang baik, tentu saja Inggrid akan mendapatkan seorang ayah yang bisa dibanggakan.

Mengingat kata ayah, tiba-tiba saja jantungnya berdegup sangat kencang. Tidak ... jangan sekarang Mettasha, kilas balik ketakutannya muncul begitu saja. Ya, laki-laki yang dulu merenggut semuanya dari Mettasha bukanlah orang jahat, tapi iblis yang berhati malaikat.


EttanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang