Bab 27

111 19 2
                                    

Cinta itu simple, hanya membutuhkan banyak waktu untuk bersama. Maka, semua rasa akan tercipta satu per satu. Begitulah Tuhan membolak-balikkan hati manusia.

Dua sejoli tampak mesra berbincang di sebuah warung pecal di pinggir jalan. Sesekali tertawa bersama, lalu kembali hening dan saling menatap penuh arti. Sungguh, bikin orang yang melihatnya timbul rasa iri.

Dunia serasa milik mereka berdua, sedangkan orang lain hanya pemeran tambahan supaya hidup lebih berwarna. Jatuh cinta memang begitu indah.

"Kamu laper banget?" tanya Mettasha ketika Ettan meminta tambah nasi lagi untuk yang ketiga kalinya.

"Heum, siang nggak sempet makan. Abisnya mikirin kamu terus," godanya membuat Mettasha memalingkan wajah menyembunyikan semburat merah yang muncul di pipinya.

"Memang dari mana?" Mettasha kembali mengintrogasi suaminya itu.

"Siak, tapi ntahlah, ya, masuk ke dalam gitu. Susah banget sinyalnya," Keluh Ettan. Ia kembali menyuap nasi yang sudah diantar penjualnya tadi.

Mettasha hanya mengangguk, kemudia ia terus memandang Ettan tanpa berkedip. Manusia ini tidak pernah tahu malu, apalagi gengsi jika menyangkut soal isi perut.

Kemudian keduanya kembali terdiam, Ettan sibuk menghabiskan makan malamnya, sedangkan Mettasha senang memperhatikan suaminya makan dengan lahap. Sebagai perempuan normal tentu saja Mettasha juga mengagumi apa yang ada di dalam suaminya itu. Selain ketampanan, sikapnya pun sudah membuat hatinya berantakan.

"Jangan liatin aku terus, memang udah ganteng dari sananya." Ettan berbicara tanpa melihat ke arah Mettasha.

"Ge Er!" sungut Mettasha karena malu. Lagi-lagi ia terpergok mengagumi wajah tampan suaminya.

"Fakta, Mett." Ettan semakin senang menggoda.

"Ish," desis Mettasha sambil mencubit perut Ettan yang sedikit menggembung lantaran baru saja terisi banyak.

"Sakit, ih. Ya ampun ... itu jari atau kepiting," ujar Ettan sambil meringis, lalu keduanya tertawa begitu bahagia.

Ettan suka melihat Mettasha tertawa, membuatnya semakin memeson dengan deretan gigi yang rata. Sungguh, ia sempurna terlepas dari takdir yang tidak menyempurnakannya.

"Senyum terus, ya." Ettan berkata sambil.memandang lekat wajah istrinya.

"Nanti gila, dong."

"Mana ada, ada juga membuat aku jadi tergila-gila," goda Ettan lagi yang membuat semburat merah terlihat di pipi Mettasha. Kulitnya yang putih membuat semakin jelas, bahwa istrinya itu sedang meredam rasa malu.

"Gombal terus, ih!" tepis Mettasha sembari memalingkan wajah. Ia sangat malu mendengar pujian Ettan yang terus-menerus.

Mettasha memang sering mendapatkan pujian, tetapi jelas saja rasanya berbeda saat yang memuji adalah suami sendiri.

"Ciee ... malu," ujar Ettan.

"Apaan," sahut Mettasha.

Kemudian keduanya kembali tertawa, ternyata ngobrol mesra tidak harus di restoran mewah. Lihatlah, keduanya tampak bahagia meski hanya makan di kedai pecel lele lamongan.

Setelah makan, keduanya memutuskan untuk segera pulang. Ettan membayar makanan, sedangkan Mettasha berjalan ke arah parkiran. Lalu, menunggu sambil menyenderkan tubuh ke mobil.

Kepalanya mendongak, melihat bintang yang bertaburan di langit. Dalam hatinya kembali berharap. Semoga cerita yang sedang dialaminya bukan hanya sekedar mimpi.

"Hei, melamun malam-malam nggak baik." Ettan memperingatkan, lalu menekan tombol dalam genggamannya untuk membuka kunci mobil.

Mettasha tidak menjawab, ia hanya tersenyum kemudian masuk dan menutup pintu.

Di dalam mobil Ettan tidak langsung menyalakan mesin, ia terdiam di balik kemudi. Jelas saja itu membuat Mettasha kebingungan.

"Kenapa?"

Ettan menoleh, lalu menatap lekat kedua manik mata perempuan di sampingnya. Ettan tahu dalam diri istrinya menyimpan banyak  luka dan kesedihan. Ia berjanji dalam hati untuk membahagiakannya.

"Kamu cantik," ucap Ettan dengan wajah yang serius.

"Aku nggak bohong, kamu cantik. Sejak pertama bertemu wajahmu selalu mengusik lewat mimpi," lanjut Ettan.

Mettasha hanya diam, ia tidak terhanyut. Malah semakin bersikap waspada. Apalagi kini Ettan malah mendekatkan tubuhnya.

"Tan," ucapnya pelan seolah-olah memperingatkan Ettan supaya tidak berbuat aneh di dalam mobil.

Ettan tidak menggubris panggilan Mettasha, ia tetap mendekat. Semakin lama semakin mendekat hingga mata istrinya terpejam dengan kerutan berlipat di dahi.

Klik.

Mendengar suara itu membuat Mettasha tersadar, bahwa Ettan hanya memasangkan sabuk pengaman.

"Nanti, belum waktunya," ucap Ettan membuat Mettasha langsung memalingkan wajah.

Jelas saja Mettasha malu, ia pikir Ettan akan ....

Ah, sudahlah. Mettasha enggan memikirkannya lagi.

Mobil pun melaju dengan senyum Ettan yang menghiasi bibirnya.

Sabar, ya, Tan ....

💝💝💝💝

Sesampainya di rumah, Inggrid rupanya belum tidur. Ini di luar dari kebiasaan bocah empat tahun itu. Matanya masih fokus menonton acara di televisi.

"Lho, princessnya Papah belum tidur juga?" Ettan berjalan mendekat, sedangkan Mettasha mengunci pintu.

"Papah, kok, lama?" tanyanya sambil memandang Ettan yang mulai berjongkok supaya bisa setara dengan Inggrid hang sedang duduk.

"Iya, tadi Bunda laper. Jadi, kita cari makan dulu." Ettan berkata jujur, ia mengusap lembut rambut Inggrid. "Udah makan?" tanyanya sambil tersenyum.

Inggrid menjawab dengan anggukan kepala, lalu tiba-tiba berdiri dan menghampiri Mettasha.

"Malam ini Inggrid tidur sama Bunda, ya," rengeknya dengan tangan yang sudah melingkar memeluk pinggul Mettasha.

Sebuah anggukan kepala menjadi pertanda persetujuan Ettan saat istrinya bertanya lewat tatapan mata yang saling beradu. Lagian tidak akam terjadi sesuatu juga malam ini, makanya Ettan menyetujui.

"Ibu sama siapa, dong?" rajuk Mely, sebagai orang tua paham betul kalau putrinya harus banyak melewati waktu bersama Ettan supaya lebih dekat.

"Tapi, Inggrid mau sama Bunda," ucap bocah kecil itu mengiba.

"Nggak pa-pa, Bu. Lagian ranjang di kamar kami sudah diganti yang lebih besar, pasti muat." Ettan menengahi, kemudian berjalan menghampiri Inggrid untuk menggendongnya.

"No, biarkan Inggrid sama aku!" tolak Mettasha dengan suara keras.

Ettan bingung dengan perubahan sikap Mettasha yang begitu drastis. Salah apa dia tadi? Perasaan pas pulang masih senyum-senyum. Pikir Ettan.

"Oh, iya. Kamu bisa tidur di kamar Mas Lucky." Mettasha tiba-tiba menjadi ketus, sedangkan Ettan hanya bisa melongo menatap punggung Inggrid dan Mettasha yang berjalan ke kamar mereka.

Ah, Ettan lupa. Mettasha hanya sedang melindungi buah hatinya. Karena ia pernah di posisi Inggrid, lalu lama-kelamaan diserang oleh orang yang dia anggap ayah.

"Sabar, Nak." Melly mengusap lengan Ettan, lalu berjalan meninggalkan ruang TV.

Susah juga ternyata mendapatkam sebuah kepercayaan. Padahal ia sama sekali tidak seburuk yang Mettasha pikirkan.

Jah ... Ettan tidur sendirian lagi, siapa yang mau nemenin?

EttanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang