Part 15

109 19 1
                                    

Bagaimana ditinggal pergi tanpa pamit? Bingung sekaligus kesal tentu saja. Ettan bahkan marah-marah pada tukang parkir yang tidak melihat ke mana Mettasha pergi.

"Shit!" umpatnya keras.

Manusia bodoh itu Ettan. Kenal sudah lama, tapi nomor HP-nya saja tidak tahu. Harusnya dia punya di daftak kontaknya, bila perlu dengan nama 'kesayangan'.

Mengabaikan tukan parkir yang hendak memberinya kembalian, Ettan langsung meluncur ke rumah Mettasha. Semoga saja perempuan itu ada. Kalau tidak, habislah dia.

Apa yang salah? Bukankah tadi Ettan sudah pamit hendak mengambil pesanan? Harusnya Mettasha jujur saja kalau mau ikut ke dalam, tidak perlu merajuk dan pulang sendiri seperti ini. Pikir Ettan selama perjalanan ke rumah perempuan itu.

Beberapa kali Ettan memukuk setir lantaran gemas dengan lampu merah yang selalu dia temui. Sungguh, Ettan hanya khawatir.

Begitu sampai di halaman rumah Mettasha, Ettan langsung menekan bel. Tidak lama kemudian, Muncul Melly dengan raut wajah yang tidak terbaca.

"Me-Metta ada, Bu?" tanya Ettan gugup, dia takut jawaban Melly di luar dari perkiraannya.

"Ada," jawab Melly membuat Ettan mengembuskan napas lega.

Setidaknya Mettasha tidak kabur atau diculik. Ettan menunduk dan meminta maaf atas kelalaiannya sore ini, membiarkan Mettasha pulang sendirian di saat hari sudah mulai gelap.

"Masuk," titah Melly sambil berbalik badan, lalu duduk di sofa.

Matanya tajam menatap Ettan. Apa yang terjadi sampai Mettasha harus pulang sendiri dan dalam keadaan berurai air mata.

Kemudian mengalirlah cerita dari Ettan, dirinya pun tidak tahu kalau Mettasha akan pergi meninggalkannya begitu saja.

Melly bisa memahami apa yang Ettan ceritakan, putri bungsunya memang tidak bisa ditebak, bahkan tadi saat dia bertanya pun Mettasha hanya diam. Lalu, masuk ke dalam kamar.

"Saya titip ini buat Inggrid, Bu." Ettan menyodorkan kotak pizza yang sedari tadi dia letakkan di meja.

"Oh, iya, boleh saya minta nomor HP Metta, Bu?"

Melly mengangguk, kemudian menyebutkan nomor ponsel Mettasha.

Baiklah, tidak banyak yang bisa Ettan lakukan sekarang. Memaksa Mettasha buat berbicara juga rasanya sudah tidak mungkin, dia butuh waktu.

Ettan pun pamit pulang, hatinya yang bahagia itu kini kembali merana. Dengan langkah gontai Ettan menghampiri mobilnya, kemudian masuk dan tercenung lama sambil menelungkupkan wajah pada setir mobilnya.

Baru kali ini Ettan susah payah mengejar cinta seorang perempuan, yang masih gadis saja selalu suka cita menyambutnya. Kenapa Mettasha sulit sekali dia dapatkan? Ah, jangan-jangan kini pesonannya sebagai laki-laki tampan sudah memudah.

Mengacak rambut frustrasi Ettan segera menyalakan mesin dan meninggalkan halaman rumah Mettasha. Baru saja mereka tertawa bersama, kenapa jadi seperti ini?

Ettan sepertinya kurang sajen.

"Assalamu'alaikum!" teriak Ettan begitu sampai di rumahnya.

Rikha yang sedang menyiapkan makan malam sampai terlonjak kaget, untung saja jantungnya masih aman. Dasar anak durhaka.

"Dari mana? Kok, baru pulang? Marva bilang kamu udah keluar dari kantor jam setengah lima."

"Nge-date, mah. Anak muda," jawab Ettan sambil mencomot prekedel.

"Cuci tangan!" omel Rikha memukul tangannya.

"Pelit kali mamah, sama Marva si anak pungut saja nggak ada mamah begitu," protes Ettan.

"Marva nggak pernah seperti kamu asal comot begini," sahut Rikha.

Lihatlah, sepertinya memang benar kalau Marva sudah mencuci otak Rikha. Ettan pun akhirnya menuruti titah sang baginda ratu.

Ini sepertinya akan menjadi moment yang pas buat Ettan bercerita tentang Mettasha. Siapa tahu dengan dukungan Rikha, Ettan bisa menikahi Mettasha dalam waktu dekat.

"Mah," panggil Ettan.

"Hmmm."

"Kalau Ettan menikah bagaimana?"

"Bagus, dong. Itu yang mamah inginkan."

"Tapi Ettan takut mamah gak setuju."

"Siapa pun gadisnya, selama dia baik. Mamah pasti setuju."

Lampu hijau sudah menyala dari Rikha, saatnya Ettan ngebut. Mumpung Rikha sudah berkata dengan siapa pun. Catat.

"Memangnya gadis mana yang sudah mencuri hati anak mamah yang ganteng ini?"

"Dia--" Ettan menggantung ucapannya, sedikit menghela napas, "dia punya anak, Mah." Pelan, tapi sangat terdengar jelas.

"Maksud kamu, janda?" tanya Rikha yang sudah meletakkan alat makannya.

Ettan menggeleng.

"Tidak mudah menjadi orang tua sambung, Ettan." Rikha melanjutkan.

Kepala Ettan mendadak pusing, sudah dipastikan Rikha tidak akan setuju pada pilihannya kali ini. Sungguh sangat terlihat jelas, ada penolakan di dalam ucapan Rikha.

"Apa yang kamu harapkan? Ingat, rumah tangga itu bukan untuk main-main. Mamah tidak suka kamu asal pilih calon istri."

Tidak ada jawaban dari Ettan, hanya diam dengan kedua tangan yang menggenggam erat sendok dan garpu.

"Di bukan janda, tapi punya anak. Apa itu nggak salah?" tanya Rikha berusaha mencairkan suasana.

"Dia korban perkosaan, mah," jawab Ettan pelan penuh keputusasaan.

"Kamu boleh kasian, Tan, tapi nggak perlu sampai kamu nikahin."

Rikha tidak mengerti, perasaan Ettan bukan hanya sekadar kasihan. Dia tentu saja mencintai Mettasha.

"Ettan mencintai dia, mah."

Rikha hanya menghela napas, meyakinkan pendengarannya atas apa yang diucapkan oleh Ettan. Putra semata wayangnya.

"Kamu yakin itu cinta, Ettan? Bukan hanya sekedar simpati atas apanyang menimpa perempuan itu?"

Kini giliran Ettan yang bungkan, dia bingung harus menjawab apa.

Perlahan Ettan berdiri, lalu pergi ke kamar meninggalkan Rikha sendirian di meja makan.

Sampai di kamar, Ettan merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya menatap plafon tanpa berkedip, sedangakan pikirannya tertuju pada Mettasha.

Tangannya meraba saku celana, mengambil ponsel, dan mencari nama Metta. Lalu, dia menekan tombol dial.

Tut ... tut ... tut ....

Sedetik, dua detik tidak ada jawaban. Ettan masih sabar menunggu, sampai akhirnya suara   yang sudah mulai dia kenal terdengar di telinga.

"Hallo."

Ettan diam saja menikmati merdunya suara sang pujaan hati.

"Siapa ini?"

Ettan masih terdiam dengan senyim di bibirnya.

"Hall--"

"Ini Ettan, Metta." potongnya cepat sebelum perempuan itu kesal.

Kemudian keduanya hanya saling diam menikmati embusan napas yang terdengar dari sepiker ponsel masing-masing. Hanya seperti ini saja sudah membuat mereka sedikit tenang ....


EttanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang