Chapter 3: Return

819 112 8
                                        

Ah, aku kembali lagi.

Sudah berapa kali kuulangi setengah jam ini? Momen-momen terakhirku bersama dengan Yuuko di akhir tahun ini. Berbagai cara dan metode telah kulakukan, tapi masih tidak ada yang membuahkan hasil. Sampai kapan aku harus mengulanginya lagi?

“Tatsumi, ada apa?”

“Eh, emmm...”

Melihatku berdiri terpaku sejenak pastilah membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana aku menjawab kali ini akan mengarahkanku pada satu dari semilyar kemungkinan masa depan. Dan jika sekali lagi aku salah mengajukan jawaban, maka sekali lagi aku akan melihatnya terbunuh di depanku.

“Sepertinya aku sedikit demam.”

Kuputuskan untuk menggunakan rute ini, salah satu rute yang belum pernah kucoba di masa sebelumnya.

“Eh? Ma-masa?”

Dia pun mendekatiku,  memegang pundakku dan sedikit berjinjit untuk menempelkan dahinya pada dahiku. Cara mengukur suhu yang ekstrem kurasa. Namun berkat itu, suhu tubuhku benar-benar terasa sangat panas saat ini.

“Tubuhmu benar-benar panas, bagaimana? Apa kita kembali saja?”

Iinilah yang kuharapkan, sebuah rute dimana kami bisa pulang ke apartemenku dan menghabiskan tahun baru bersama di sana. Tanpa ada orang lain di sekitar kami, aku bertanya-tanya bagaimana kali ini semesta akan membunuhnya? Mampukah semesta melakukannya?

“Maaf yah, tiba-tiba demam seperti ini.”

Jawabku dengan agak lesu agar terlihat benar-benar demam.

Kami pun berjalan memutar balik kembali ke apartemenku. Dengan perhatian, Yuuko mencoba mengallungkan tanganku di pundaknya.

Jarak kami dengan apartemenku tidak terlalu jauh, bahkan dengan lima menit berjalan saja kami sudah bisa tiba di sana. Namun sebelum kami sampai di sana aku harus lebih was was. Jika ada sesuatu yang dapat membahayakan nyawa Yuuko, kurasa pasti ada sebelum kami tiba di apartemenku. Tapi semakin jauh kami melangkah, semakin sedikit orang berlalu lalang dan hingga akhirnya benar-benar sepi.

Kami pun tiba di apartemenku dengan selamat. Rasa was wasku berkurang. Kusempatkan memeriksa kotak suratku ebelum masuk ke dalam apartemen.

Ah, ada. Sebuah paket kotak kecil dengan bungkusan berwarna coklat tersimpan dengan baik di kotak suratku. Aku pun meninggalkannya di sana dan masuk ke kamar apartemenku bersama Yuuko.

Layaknya seorang pacar yang seharusnya, dia merawatku yang sedang (pura-pura) sakit ini dengan penuh kasih sayang. Membantuku melepaskan pakaian tebal yang kukenakan. Membaringkanku di kasur dan membungkusku dengan selimut hangat. Tak lupa sebuah kompres telah disiapkannya dan diletakkan di dahiku.

“Mau kubuatkan bubur?”

Tanyanya dengan perhatian.

“Melihat senyummu saja sebenarnya sudah cukup untuk mengobati demam kecil ini.”

“Tidak boleh... senyumku saja tidak mengandung cukup nutrisi untukmu cepat sembuh.”

“Eh?”

“Kalau begitu langsung saja akan kubuatkan bubur yah?”

Dia tersenyum lebar dan berdiri meninggalkan kamarku. Ya, begitulah dia, selalu baik hati dan ceria. Tidak peduli apakah kau memintanya atau tidak, jika dia menganggap itu perlu dilakukan untuk membuat orang lain bahagia, dia akan segera melakukannya.

Sebentar lagi waktunya tiba, waktu kematian Yuuko. Kulihat jam berkali-kali dengan resah. Pada pukul 23.24 hari ini, adalah waktu yang ditetapkan untuk kematian Yuuko. Dan tinggal 5 detik lagi sebelum itu terjadi. Aku pun memberanikan diri, berjalan keluar kamar dan mengamatinya di dapur.

Pukul 23.24 pun tiba, dan tidak terjadi apa-apa. Aku bernafas lega ketika melihatnya masih berdiri di sana dengan aman sambil menyiapkan bahan-bahan untuk memasak bubur. Dan kemudian, dia pun menyadari keberadaanku.

“Tatsumi, orang sakit harus banyak istirahat lo!”

Tegurnya dengan bibir menciut.

“Yaa, aku berpikir melihat Yuuko mengenakan apron mungkin bisa menyembuhkanku... apalagi jika hanya mengenakan apron.”

Dia tertunduk, kemudian mengangkat sedikit kepalanya dan mempertemukan tatapan kami. Dengan wajah merahnya dia berkata.

“Genit...”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman lebar di wajahku. Dia pun mengalihkan perhatiannya dengan kembali fokus memasak bubur. Dengan hati-hati dia memasukkan air ke dalam panci yang telah berisi beras dan kemudian menaruhnya di atas kompor. Ketika kompor dinyalakan.

Ctek

Darr!

Tubuhku terpental. Apa ini? Ledakan?

Aku pun mencoba bangkit kembali dan mencari keberadaan Yuuko. Dan saat itulah kutemui tubuhnya yang hangus terbakar akibat ledakan tadi.

Sialan. Ketika kupikir ini adalah rute yang benar, sekali lagi semesta mempermainkanku.

Saat itu handphone-ku berdering. Dering yang selalu terdengar setelah kematian Yuuko. Sebuah pesan dari pengirim misterius yang sama di setiap pengulanganku. Dialah yang memberikanku kesempatan untuk mengulang waktu ini. Tanpa harus membaca pesannya pun aku sudah tau apa isinya.

"Ambilah kesempatan keduamu di kotak suratmu!"

Aku berlari keluar, mengabaikan api yang menyala di dapurku. Kuambil kotak kecil yang ada di kotak suratku dan membukanya. Aku tau persis alat apa ini. Meski bentuknya seperti handphone, tapi ini bukanlah handphone. Ini adalah sebuah tombol reset kehidupan. Dengan ini kesadaranku di sini bisa kembali ke masa lalu, menggantikan kesadaranku di setengah jam dari sebelumnya. Siapapun orang misterius yang mengirimkan ini, aku sangat berterima kasih padanya.

“Takkan kubiarkan berakhir seperti ini.”

Reset ButtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang