CERPEN

164 50 90
                                    

Angin sore hari berembus sangat kencang, dengan suara gemuruh derasnya air hujan. Aku benci dengan suasana seperti ini. Seorang diri, merasakan malamnya yang sunyi dan kelam, yang mengingatkanku dengan kejadian di masa lalu. Kejadian yang sangat aku benci—membuat hidupku hancur tidak berarti. Pembunuhan sadis yang telah menghabisi nyawa kedua orang tuaku, di saat aku tidak bersama mereka.

Sampai saat ini pun, aku masih terbayang akan jasad mereka, yang tergeletak di lantai bersimbah darah. Tusukan berkali-kali, yang berakhir menancap pada bagian jantungnya. Bahkan tembakan pistol pun mereka arahkan tepat di dahinya. Sungguh membuatku sakit, sangat sakit dan trauma.

Kring ... Kring ... Kring ...

Aku terperanjat dan menoleh sekeliling. Ah, ternyata bunyi ponselku. Lalu aku meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Menggeser tombol berwarna hijau, kemudianku dekatkan pada telinga.

“Halo?” sapaku. Hening, tidak ada jawaban. Hanya suara jangkrik yang terdengar dari ujung telepon.

“Halo?” ulangku lagi. Sama saja. Aku menggigit bibir bawahku, siapa sih malam-malam begini iseng? Jantungku seketika berdegup kencang, aku mencoba berpikir positif. Mungkin orang yang salah sambung, itu yang aku pikirkan. Aku kesal, lama menunggu jawaban namun, nihil.

Duar!!!

“Aaaaa!!!” Aku berteriak kaget. Aku menaikturunkan napas tidak karuan, bulu kudukku berdiri. Hawa dingin yang mulai terasa, menusuk hingga ke dinding kulit.

“Tenang Jova, tenang,” ujarku sendiri sambil mengambil pernapasan yang sempurna.

Aku merebahkan tubuh pada kasur empuk bermotif Doraemon. Hujan masih terus mengguyur entah berapa lama dan tidak tahu pasti kapan berhenti. Tak lama aku memejamkan mata dan terlelap dalam dunia mimpi.

Pagi harinya, aku berpakaian rapi untuk berangkat kerja. Hidup sendiri, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Berkecukupan yang pas dan tampil sederhana. It’s okay, aku tidak pernah menyerah. Tidak semua usaha langsung membuahkan hasil begitu saja, semua ada prosesnya. Kamu sudah berusaha pun itu terlihat hebat. Seperti biasa, aku melakukan pekerjaanku. Menjaga bar dan menjadi waiters sampai jam kerjaku selesai.

Sampainya di apartemen, aku merasa ada yang mengganjal. Saat aku hendak menekan kunci sandi, tapi pintu sudah terbuka tanpa tertutup seperti sebelumnya. Aku mengernyitkan dahi, siapa yang masuk ke dalam apartemenku? Maling? Aku pun bergegas masuk ke dalam untuk memastikan.

“Hai Jova! Apa kabar?”

Aku menghentikan langkah, sekujur tubuhku sudah mulai berkeringat karena takut. Aku menoleh, mencari sumber suara itu. Ya! Sebuah takdir di mana di pertemukannya kembali setelah perpisahan. Sebuah kenyataan getir yang harus di terima, bahwa dia masih mengingatnya.

“K-kamu, ma-mau apa?” Aku bertanya dengan nada yang terbata. “Tahu d-dari mana a-apartemen i-ini?”

“Kenapa Jova? Ngomongnya yang jelas, santai aja,” ujar seorang itu.

“Sejak, kapan kamu keluar dari penjara?” tanyaku lantang.

“Udah lama, bertahun-tahun di penjara, muak rasanya. Begitu bebas, ada satu yang belum terselesaikan masalahnya.”

“Ma-maksud kamu apa?!” bentakku. Aku berusaha mencari perlindungan dari lelaki itu. Lelaki yang sudah lama menghilang. Kilasan memori yang sudah kukubur dalam-dalam, seakan muncul lagi ke permukaan.

“Aku kangen sama kamu, Jova,” ujar lelaki itu. “Apa kamu tidak ingat, sekarang bulan Juni?”

Aku terkejut, sekujur tubuhku bergemetar dan dadaku sesak. Aku hanyut pada luka yang tak tertahankan. Membuatku tersadar bahwa sesuatu yang terlintas dalam benak memang tidak bisa dipaksa untuk lenyap. Namun, justru aku merasa takut harus bertemu dengannya kembali.

“Kita udah pisah, udah putus! Aku gak butuh kamu lagi, Gerald!” teriakku. “Pergi! Pergi dari sini!”

“Kenapa? Dulu kita selalu sama-sama. Kamu cinta sama aku, begitu juga aku,” terang Gerald.

“Gak! Itu dulu, sekarang udah berubah. Aku gak mau, kamu itu jahat! Jahat!” bentakku.

Gerald, dia melangkah maju mendekatiku. Aku semakin was-was, takut dia berbuat macam-macam kepadaku. Aku tidak ingin, masa depanku harus suram seperti masa laluku. Dia mencengkeram kedua pipiku dan mendongakkan ke atas. Senyuman miring tercipta di bibirnya.

“Kenapa? Takut? Kalau kamu tadi sambut aku baik-baik, aku juga bisa baik-baik ke kamu,” ujarnya.

“Lepas!” Aku memberontak, berusaha menjauhkan tangannya.

“Selamat ulang tahun, Jovanka Lovyta,” ucapnya. “Kamu lupa? Oh ya, aku ada hadiah untuk kamu.” Aku menatap gerak-gerik tangannya. Dia merogoh saku jas miliknya untuk mengambil sesuatu.

“Awh!” Aku membelalakkan mata. Meringis kesakitan dan menatap bagian perutku. Darah!

“Awh ... Ge-gerald?” Aku meringis, lirih.

“Kenapa? Kaget? Itu hadiah spesial buat lo! Lo yang udah buat gue sakit hati! Termasuk orang tua lo, yang udah buat gue hancur, gak bisa sama lo! Dan lo malah pergi dari gue!” bentaknya.

Aku terkulai lemas. Tubuhku terbaring di lantai dan bersimbah darah, yang mulai bercucuran keluar dari perut akibat tusukan tajam.  Gerald menikamku nyaris menembus pada tulang punggungku.

“Lo mau tahu, kenapa gue bunuh orang tua lo?” Gerald bertanya kepadaku dan berjongkok.
“Gue marah sama mereka, karena gak merestui hubungan kita. Padahal, lo itu satu-satunya cewek yang bisa buat hidup gue semangat. Tapi apa orang tua lo?”

“Argh!” Aku menjerit, menahan sakit lagi. Gerald menikam perutku kembali dengan pisau. Sungguh aku tidak bisa membendung air mataku, dan menangis sekeras-kerasnya. Aku berpikir, aku pasti akan segera mati hari ini. Masa mudaku yang tidak terbayangkan, akan sesuram ini.

“Orang tua lo udah buat hidup gue hancur! Gue kehilangan rumah, pekerjaan. Cuma gara-gara gue, sama lo pacaran! Memang salah?!” Gerald terlihat sangat marah dan murka.

*











CERPEN ini diikutsertakan dalam "Lomba Cerpen PABBATCH 2 (Project Aku Bisa)" oleh @komabisofc

Mohon dukungannya dan tap vote + comment.
Terima kasih. ❤❤❤❤❤

Selamat Ulang Tahun (Sudah Terbit Dalam Buku Antologi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang