Interlude

162 22 1
                                    


🌹

Seraya sarayu beradu dengan hati yang sendu, musim panas membuka jamanikanya pada semesta raya. Belahan bumi utara bergembira menyambut musim matahari bersinar terang.

Nightingale membuka matanya pada cahaya menyilaukan dari surya di fajar Juli. Ada hampa yang menusuk dada—memproduksi nyeri yang merasuk ke dalam daksa. Namun, semua itu belum sanggup untuk membunuh cintanya kepada manusia bernama Jurgen Garrick.

Selimut putih di kasurnya tak lagi tercium seperti aroma dari lelaki muda kesayangannya. Meja hitam yang ditatap samar oleh netra Nightingale memproyeksikan segala memori indah antara dirinya dengan Garrick. Secarik kertas di atas meja tersebut masih rapi tertutup dan terabaikan kehadirannya oleh Nightingale sejak kepergian Garrick di akhir musim semi.

Binar baskara menembus kaca jendela—menyinari kertas putih berisikan tumpahan hati yang pilu dari insan pemuja cinta. Nightingale berjalan mengambil catatan yang dibubuhi judul 'Berlin Liebesblatt' itu dan membacanya sembari berdiri di dalam sorotan nur mentari.

 Nightingale berjalan mengambil catatan yang dibubuhi judul 'Berlin Liebesblatt' itu dan membacanya sembari berdiri di dalam sorotan nur mentari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alinea demi alinea membawa nuansa nostalgia di mana Garrick seolah berbicara secara langsung dengannya. Memori Nightngale bangkit kembali melalui seluruh huruf yang dipersembahkan sebagai rangkuman kehidupan cinta bergairah.

Dibawanya oleh Garrick menuju oase imajinasi di mana keduanya hanya berdua di padang tersebut—bercumbu di bawah hamparan nebula, dan angkasa sebagai penontonnya.

Nightingale hanyut ke dalam elegi yang menginjeksikan afeksi di tiap silabelnya—membuat dirinya tak lagi menghiraukan alasan di balik kepergian Garrick. Lambat laun, ia menyadari bahwa keduanya tak dapat bersama di dalam dunia penuh diskriminasi terhadap orang seperti mereka, dan hanya kenanganlah yang dapat mengunci rantai cinta abadi. Lalu, perlahan namun pasti, Nightingale merelakan dandelion cintanya melayang bersama udara.

Sama seperti kata terakhir yang diucapkannya, Garrick menutup kaleidoskop romansa mereka dengan menuliskan :

"Ich liebe dich für immer und ewig, Klemens Nightingale.

Maaf, aku tak dapat lebih lama bersamamu, tapi kuharap semua memori ini akan abadi di ingatanmu.

- Jurgen Garrick, 1961."

Berlin LiebesblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang