🌸🌸🌸Semilir napas bumi berembus dengan tenang di ibu kota negeri Der Panzer pada Musim Semi 1961—meskipun kini zaminnya tengah dibagi oleh 4 pemegang adikuasa dunia. Berlin menjadi saksi bisu dari ketegangan yang meruncing di antara dua ideologi besar seusai Perang Dunia II. Namun, bagi mereka, Berlin ialah tanah pencipta bahagia—yang setiap harinya mendawaikan astu-astu harsa—yang lambat laun membuat cinta bersemi, diiringi oleh kuatnya rasa dalam dada.
Lembaran ceritera bermula pada fragmen histori berupa pelarian kaum pemuda intelegensia dari Jerman Timur menuju ke Jerman Barat via ibu kota. Para pemuda itu memiliki alasan-alasan tertentu yang mengakar pada satu pokok masalah, yaitu ekonomi. Bagian timur dari Jerman yang dikuasai oleh Uni Soviet memiliki prahara kesejahteraan masyarakat—menyebabkan timbulnya gelombang emigrasi besar-besaran ke Jerman Barat yang menawarkan kebebasan serta kemakmuran.
Salah satu dari mereka adalah manusia yang menjadi aditokoh warita ini. Lahir pada era perang dengan nama Jurgen Garrick, ia merepresentasikan kekuatan jiwa yuwana yang membara. Pada masa yuvenilnya, teruna Bavaria tersebut menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman dan mempelajari sejarah dunia yang sudah menjadi passion dalam diri. Seiring berjalannya waktu, lelaki itu berkembang menjadi seorang ahli dalam bidang kesukaannya—tentunya dengan bantuan edukasi yang ketat.
Pendidikan telah tertanam dalam otak Garrick sebagai kebutuhan primer baginya—rasanya tak ada ruang bagi cinta untuk mengintervensi kegemarannya dalam dunia edukasi. Namun, semenjak kekalahan Jerman dalam perang, segala pengetahuan yang dimilikinya tak berarti apa-apa karena hampir tiada tempat bagi Garrick untuk bekerja di wilayah aneksasi Soviet tersebut.
Dengan rancangan modus operandinya, Garrick bersama kepercayaan diri tinggi yang terpancar melalui iris mata berwarna biru beserta surai panjang blonde—memulai operasi pelarian pada saat sumbu aksis bumi berada dekat dengan matahari, tepatnya di bulan April 1961. Intensitas hujan yang cukup tinggi pada bulan kedua musim semi tidak menggoyahkan derap kaki Garrick yang memimpin gerakan ini, padahal ibunya telah mengingatkan berbagai resiko atas tindakan tersebut.
Namun, tampaknya pria berusia 21 tahun itu terlalu arogan dan menganggap remeh kekuatan dari garis perbatasan Berlin—yang meskipun terkenal sangat mudah ditembus—tetap saja mesti diwaspadai. Alhasil, beberapa pemuda yang dipimpinnya tertangkap oleh tentara, bahkan sebelum mencapai garis perbatasan. Garrick yang masih selamat pun harus menahan sakit luar biasa di paha kanannya akibat peluru senapan dari para tentara penjaga.
Ia berjalan terseok-seok dengan indra penglihatan yang semakin lama mengajak Garrick untuk menutup kelopaknya dan terlelap dalam temaram malam. Tebersit dalam pikiran pria muda itu untuk kembali ke rumah dan meminta maaf atas perbuatan bodohnya. Namun, suar tekad di dalam hati masih bergelora—memerintahkan Garrick untuk tetap teguh berdiri menghadapi segala rintangan yang menghadang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlin Liebesblatt
RomansBerlin, kota bersejarah yang telah menyaksikan roda siklus kekejaman manusia--kota yang kini sedang bersedih karena zaminnya terbagi--kota yang menjadi saksi bisu ketegangan di antara negeri adidaya dunia. Namun, bagi mereka, Berlin adalah tanah pen...