DUA

18 1 0
                                    

"Reina!" seketika semua duniaku berhenti, suara itu, suara yang sudah bertahun-tahun tidak aku dengar, suara papa yang sedang marah. Bulu kudukku meremang, kepalaku tiba-tiba pusing.

Kuputar tubuhku menghadap ke belakang, disana papa berdiri dengan beberapa orang dibelakangnya. Ah, aku benci situasi ini. Kenapa aku tidak bisa hidup bebas.

Kurasakan tangan Aurora berada dibahuku, Aurora, wajahnya tak kalah pucat denganku. Aku menganguk, meberitahukan bahwa aku baik-baik saja.

"Ra, lo pulang dulu aja, mobil, sama tas gue biar dirumah lo dulu," Situasi ini sangat rumit. Aku tidak ingin menunjukkannya ke Aurora. Tapi, sudahlah nanti akan kujelaskan.

"Lo, beneran nggak papa Ra, nanti semisal lo kenapa-kenapa hubungi gue ya," aku menganguk, Aurora segera meninggalkan restoran cepat saji ini.

Rencana mau Have fun sama Aurora, berakhir dengan tragis. Aku mendengar suara sepatu pantofel yang beradu dengan lantai menuju kearahku.

Kursi didepanku yang kosong karna ditinggalkan oleh Aurora, kini telah ditempati oleh papa. Wajahnya, mengeras sperti menahan amarah.

Brak

Aku baru sadar jika hanya tinggal aku, papa, dan bodyguardnya di restoran ini. Ah, ini pasti ulah papa lagi. Tangan kanan papa yang ada diatas meja terkepal.

"Reina, kamu mau ikut papa ke pestanya om Reno atau nama perusahaan orang tuanya Aurora  tinggal angin lalu, jika kamu masih sayang sama sahabat kamu itu, ayo ikut papa," aku merasa terintimidasi dengan suara ini. Ini bukan penawaran tetapi perintah yang harus dituruti.

"Iya pa,"

Ya, aku akhirnya ikut papa ke pesta menyebalkan itu, sungguh sial hari ini. Kenapa papa bisa tahu coba, kalo aku kabur sama Aurora.

•••

"Pa aku mau pakek baju yang ini, kalau yang itu terlalu terbuka Reina nggak suka," membujuk papa emang seperti membujuk koala agar mau lari.

Aku melongo saat papa mengambil gaun putih selutut dari tanganku, dan membakarnya tanpa pikir panjang. Wah sangat pemaksa. Itu baju belum dibayar tapi udah nggak ada wujudnya, reaksi para pramuniaga juga tak kalah sama denganku. Ya. Aku sekarang berada di butik pilihan papa. Sekali lagi, semuanya harus sesuai dengan keinginannya.

Tak ada pilihan lain, aku akhirnya memakai gaun panjang berwarna navy yang mengekspos punggung putihku. High heels berwarna silver setinggi tujuh centi meter telah membalut kakiku. Make up natural tapi terkesan elegan membuatku terkesan cantik malam ini.

Kulihat papa dengan setelan jas yang sangat cocok dengan tubuhnya. Dia, mengulurkan lenganya untuk menuntunku menuju mobil mewah yang sudah terparkir di depan butik ini. Malam ini harus serba mewah, itu yang tadi dikatakan oleh papa.

Ya, semuanya harus mewah, agar orang-orang disana tidak merendahkan kita.

•••

Sepasang suami istri yang berdiri didepan pintu masuk tempat pesta di hotel mewah, menyambut kedatangan kami. Mereka adalah tuan rumah pesta ini, Om Reno dan Tante Rina. Om Reno mengulurkan tanganya ke papa, bermaksud untuk berjabat tangan.

"Selamat datang Pak Radit semoga anda menikmati pestanya,"

"Pasti Pak Reno," tatapan Tante Rina beralih kepadaku setelah memberikan sapaan kepada papa, ya sepertinya dia mengenali diriku.

"Reina kan? Wah udah besar ya sekarang," senyuman hangat terbit dari bibirnya, senyuman itu sama dengan senyuman yang mama punya, jadi kangen sama mama.

WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang