😍 {9} Sebuah Kerja Keras

8 2 0
                                    

💞 Vote sebelum baca :)
------------------------------------------------------

Memulai dari sesuatu yang dasar. Perihal mencintaimu itu adalah sebuah pekerjaan yang besar, kuawali dengan yang mudah agar terbiasa dulu dengan dunia.

🌹🌹🌹

Hari ini, Rival tampak lebih cuek dari hari-hari biasanya. Ia lebih jarang bicara, terutama dengan Indri. Hanya sebuah senyum yang selalu ia bawa di sepanjang harinya. Entah, apa yang ada dalam pikirannya. Andai saja Indri dapat membaca pikiran laki-laki itu, pasti ia akan tahu apa sumber masalahnya.

Ia keluar meninggalkan kelas, tampak Rival yang sudah lebih dulu keluar kelas dan cepat pergi dari sekolah. Tidak, dia tidak menemui gadis yang kemarin lagi. Tidak ada yang tahu ke mana Rival akan pergi dengan sepeda motornya. Hanya ia, dan Tuhannya yang tahu.

Indri melajukan sepeda miliknya menuju ke rumah. Iya, dia biasa pergi dan pulang sekolah naik sepeda. Indri tidak ingin membebankan ayahnya meminta ini itu. Ia tahu kemampuan ayahnya, bila tak terlalu penting, itu tidak akan dibeli. Lagipula, sepeda ini masih sanggup membawa tubuh Indri ke mana pun gadis itu inginkan. Malah lebih seru pakai sepeda, dan terpenting menyehatkan.

Ia mendengarkan podcast dari para Youtuber  menggunakan ear phone miliknya. Lebih asyik rasanya daripada mendengarkan lagu. Seketika, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Lantas memundurkan sepedanya untuk melihat lebih jelas.

"Lo kerja di sini?" tanya Indri sedikit berteriak karena deru lalu lalang lalu lintas sangat bising. Ditambah Indri yang sedang menyumpal telinganya, takut kalau laki-laki itu tidak mendengar.

Laki-laki itu tersentak saat melihat siapa yang mengajaknya bicara.

Serendipity Flowers

Indri mendongakkan kepalanya, melihat plang yang bertuliskan nama toko itu. Lalu melihat ke arah orang tadi yang masih belum bergeming.

"Iya, gue kerja di sini. Udah lama kok, lo-nya aja yang baru tau," celetuk Rival sambil tertawa.

Seragam putih abu-abunya sudah tergantikan dengan seragam karyawan toko. Toko bunga itu begitu harum, lantaran bunga-bunganya mengeluarkan aroma itu.

"Berapa lama?"

Rival tampak berpikir, menghitung-hitung menggunakan jarinya. "Sekitar tiga bulan yang lalu."

Kini, Indri yang melamun. Ia menatap tanah dengan tatapan kosong. Mencoba memikirkan sesuatu yang tidak bisa ia pikirkan.

"Gue boleh ngobrol sama lo?" tanya Indri yang sudah beralih menatap Rival.

Rival menoleh berkali-kali ke belakang. Takut kalau ketahuan atasan ia malah asyik mengobrol dan bukannya kerja.

"Tapi sebentar aja, ya"

Lantas, Indri tersenyum lalu memarkirkan sepedanya terlebih dahulu sebelum berbicara pada Rival. Mereka tidak duduk, melainkan sambil berjalan mengitark toko bunga yang sudah seperti taman. Melihat para karyawan bekerja, dan merawat bunga-bunga di situ.

"Ada yang mau lo omongin?" tanya Rival. Laki-laki itu jika diperhatikan lebih sering tersenyum sekarang. Mungkin, itulah salah satu caranya mengatakan pada semua orang kalau dia bahagia.

"Kenapa lo enggak kasih tau gue kalau lo kerja?"

"Emangnya lo mau tau?"

Indri mengangguk. "Emangnya lo siapanya gue?" Canda Rival.

Refleks Indri meninju lengan Rival sampai ia mengaduh kesakitan. Tinjunya tak main-main, lumayan sakit untuk tipikal tinju perempuan.

"Gue kerja di sini karena gue mau cari kesibukan. Lagian gue bosen kali, di rumah terus sendirian," celetuknya diakhiri dengan tawa ringan.

"Orang tua lo ke mana?"

Sorot mata tajam Rival langsung mengenai inti retina mata Indri. Gadis itu seolah merasakan ancaman setelah bertanya tadi. Apa ada yang salah?

"Gue tinggal sendiri di rumah. Ayah gue... udah nikah lagi sama perempuan lain. Begitu pun ibu gue, dia juga udah memilih laki-laki lain dan tinggal bersama suami barunya. Dan gue? Gue ditinggal sendiri di rumah, mereka seolah anggap gue enggak ada. Ya... mereka masih sering kirimin gue uang, sih. Tapi, akhir-akhir ini cuma ibu gue yang kirimi gue uang. Gak tau deh, ayah ke mana. Mungkin udah semakin lupa," jelasnya panjang lebar dan masih diakhiri tawa miris.

"Rival!" pekik seseorang mengagetkan mereka berdua.

Lantas orang tadi segera mendekat, tak ada ekspresi marah dari gadis itu.

"Maaf, ya. Ini ada teman gue," ucap Rival pada perempuan yang baru datang tadi.

Dhini mengangguk, lalu menelik Indri sekilas. "Ini Dhini, Ndri. Adik kelas gue waktu di SMP dulu," ucap Rival memperkenalkan Dhini pada Indri seraya merangkul Dhini.

Indri tersenyum canggung, lalu mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh perempuan yang Rival sebut Dhini itu.

"Indri, salam kenal."

"Dhini," sahutnya sambil tersenyum. "Emm... ya udah gue masuk dulu, ya. Maaf ganggu kalian, kirain tadi Rival sendiri. Ehehe...."

Selepas Dhini pergi, Indri dan Rival kembali berjalan. Menyusuri bunga-bunga yang betebaran.

"Pacar lo?" celetuk Indri.

"Hampir. Tapi enggak jadi," sahut Rival. Sejenak, ia melihat perubahan ekspresi wajah Indri yang menjadi masam. "Lagian, kalau dia pacar gue... ngapain gue nembak lo kemaren."

Deg!

Indri mamatung, mencerna ucapan Rival tadi. Seketika, ada rasa penyesalan ketika dirinya menolak Rival kemarin.

Indri mencari topik pembahasan lain. Gadis itu memang pandai mencari topik pembicaraan. Lantas, kali ini pun ia lakukan berharap Rival lupa soal tadi.

"Tiga hari yang lalu gue liat Dhini sama lo di depan sekolah."

"Emm... iya, dia minta diantar pulang sama gue. Terus gue cerita sama dia, kalau gue mau kerja. Dan sekarang hasilnya, gue kerja di sini."

"Loh tunggu! Katanya, lo kerja di sini udah tiga bulan?"

Rival tertawa melihat ekspresi Indri. Ia pun berjalan lebih cepat, meninggalkan Indri yang masih diam di tempat.

"Kok ketawa sih?!"

"Salah dengar kali lo!"

"Ish, apa sih enggak! Gue enggak budek, ya!"

🌹🌹🌹

Podcast kembali Indri dengarkan. Dalam kamarnya yang begitu sunyi, ia isi dengan suara-suara yang akan menemaninya. Sudah pukul sembilan, ayahnya pasti sudah tidur. Lagi-lagi, Indri merasa sendirian. Walaupun ayahnya sibuk bekerja, Indri tidak merasa kekurangan kasih sayang. Ia tidak membenci ayahnya karena jarang ada waktu untuknya. Ia malah bersyukur, masih ada ayahnya yang ia miliki di dunia, setelah ibunya pergi meninggalkannya dua tahun silam karena penyakit yang dideritanya.

"Gue kerja di sini udah tiga hari yang lalu. Dhini yang ajak gue kerja di sini, ini toko bunga punya dia."

Ucapan Rival masih jelas Indri ingat. Kalau toko bunga itu punya Dhini, hebat sekali anak usia enam belas tahun sudah punya usaha sendiri. Ya, walaupun Indri tahu, pasti itu toko bunga punya orang tuanya dan Dhini diminta untuk mengelolanya. Tapi dia kan masih kecil? Manusia tidak perlu menunggu tua untuk sukses. Kalau kesuksesannya ada di depan mata saat usia belia, kenapa tidak ia manfaatkan? Lalu bahagiakan banyak orang.

Huh, jujur Indri iri akan hal itu.

🌹🌹🌹

✔ . I . N . T . E . R . V . A . L . ✔ {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang