😍 {14} Haruskah Kumemilih?

5 2 0
                                    

💙 Vote sebelum baca :)
------------------------------------------------------

Seperti sudah kukatakan, bersamamu itu adalah pilihan. Namun untuk saat ini, bersamamu adalah sebuah kemustahilan.

🌹🌹🌹

"Oh, ini, ya, Val perempuan yang kamu suka ceritakan ke Mama?"

Wajah tuanya menampilkan guratan senyum penuh bahagia. Tak henti-hentinya Tyas merangkul serta mengusap-usal Indri seperti sudah seperti anaknya sendiri.

Anak pemilik rumah lalu datang sekembalinya ia dari dapur. Membawa nampan berisi minuman jeruk segar serta beberapa camilan sebagai penyambut tamu.

"Ah Mama, bikin malu Rival aja," sahutnya.

Kedua perempuan itu lantas tertawa melihat ekspresi Rival yang malu-malu kucing. Ketahuan karena sudah menceritakan soal Indri ke orang tuanya.

"Diminum dulu, Ndri. Nama kamu Indri, kan?"

"Eh, iya Tante. Terima kasih, nama saya Indri." Indri tersenyum ramah. Perlakuan ibu Rival sangat menyenangkan. Beda dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang menduga kalau ibu Rival akan galak dengannya
Ternyata dugaannya salah.

Rival pun ikut duduk di sebelah Tyas. Menjadikan Tyas sebagai pemisah antara Indri dan Rival.

"Kamu rencananya mau lanjut kuliah di mana?" tanya Tyas masih antusias dengan topik-topik pembahasan baru yang ia ciptakan sendiri. Biar enggak garing, gitu.

"Belum tahu juga, Tante. Indri sih maunya negeri."

Anggukkan Tyas menandakan ia paham. Memang campus negeri menjadi incaran banyak lulusan di setiap tahunnya. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan almamater kebanggaan mereka di campus yang mereka impi-impikan.

"Kamu enggak mau ikut Rival aja? Rival mau kuliah di Itali, kalau kamu mau, bisa kok cari beasiswa di sana," ucap Tyas tanpa tahu apa yang dirasakan Indri dan Rival setelahnya.

Indri mematung, pandangannya langsung teralih pada Rival. Menatapnya bingung, sendu, terpaku dalam pikiranya yang melayang-layang. Ia membayangkan jika Rival benar-benar pergi dan menghilang dari hadapannya.

Sedangkan Rival, rasanya sejenak saja ia ingin membawa Tyas untuk bicara berdua. Menjelaskan agar tidak mengatakan perihal itu pada Indri, karena itu akan melukai hatinya.

Tatapan mereka masih saling adu. Banyak pertanyaan tergantung di setiap bulu mata lentik Indri. Ini bukan hanya sekadar pertanyaan kosong, tapi perlu jawaban serta penjelasan.

Hingga tanpa terasa, senja pun perlahan menghampiri. Sepulang sekolah tadi, Indri langsung ke rumah Rival tanpa mengganti bajunya. Mereka bungkam, diam sejak Tyas mengajukan pertanyaan itu. Tak ada yang mengeluarkan suara, mereka tak mau sama-sama tersakiti.

Seperti biasa, lantunan podcast dari radio mobil mengalun begitu indah. Kini yang ditampilkan adalah puisi dari W.S Rendra yang judulnya Balada Orang-Orang Tercinta. Dibacakan begitu lembut hingga menusuk sukma.

Di mobil pun tak ada suara. Mereka berdua memilih sibuk dalam pikirannya sendiri dan mengajak bicara suara hatinya masing-masing.

"Lo yakin enggak mau terima tawaran nyokap gue?" tanya Rival dengan hati-hati. "Kalau lo enggak mau, itu artinya kita akan berpisah," lanjutnya ketika melihat Indri tak ada respon.

Wajahnya datar, menghadap lurus pada jalanan. Mobil sudah berhenti, tepat di depan rumah Indri. Hanya menunggu sang penumpang turun saja.

"Mungkin lo bisa pikirkan lagi."

Tak ada alasan lagi bagi Indri tetap berada di dalam mobil itu. Ia lantas bergegas untuk turun dan membuka pintu mobil.

Namun gerakannya terhenti, ia melihat tangan Rival mencekal tangannya. Rival butuh jawaban, ia sangat takut kehilangan Indri.

"Please," lirih Rival.

Indri menghadapkan wajahnya pada Rival. Menampilkan buliran air mata yang siap jatuh kapan saja ia mau. Sejenak ia menahan sesak yang ada di dadanya. Rival pikir, hanya dia saja yang takut kehilangan? Indri pun sama. Lebih dari itu ia tahu kalau perpisahan pasti akan terjadi. Dan itu sebentar lagi.

"Gue," Indri menjeda. "Gue enggak mau jadi perempuan kedua yang meninggalkan papa setelah kepergian mama."

Indri menyentak tangannya agar terlepas dari cekalan Rival yang mulai mengendur. Memberikan sedikit napas pada tangannya agar tidak terasa sakit. Jawaban Indri cukup jelas bahwa itu bentuk penolakan secara halus. Dan itu artinya, mereka berdua akan segera dipisahkan oleh jarak dan waktu.

🌹🌹🌹

Malam kembali menyapa. Gadis itu begitu nyaman berada dalam selimut tebal bermotif bunga mawar. Pikirannya kalut, ia terus membayangkan jika suatu saat nanti Rival benar-benar pergi.

Ia tidak menangis, hatinya bagai kosong tak berisi. Ia tidak sedih saat ini, ia bingung, tak tahu harus apa. Kata orang, kalau kau bingung maka berpenganganlah. Tapi kini, apa yang bisa Indri jadikan pegangan?

Tok... tok... tok...

Beberapa menit kemudian, ketukan pintu itu tak kunjung mendapati respon. Tak ada yang membukanya, lantas ayah Indri membuka sendiri pintu itu. Ia tahu, putrinya itu belum makan malam. Bahkan, saat dirinya pulang kerja, Indri yang biasanya menyambutnya dengan bahagia hari ini tidak seperti biasanya.

"Nak, kamu udah tidur?" tanyanya setelah melihat sang anak terbalut selimut.

"Sayang, kamu belum makan loh. Makan dulu, yuk."

Perlahan, Indri membuka selimutnya. Memasang senyum semanis mungkin dan menunjukkan pada sang ayah bahwa ia baik-baik saja.

"Ehehe, maaf, ya, Pah. Indri lupa," katanya seraya duduk tegap.

Tangan laki-laki itu sibuk meracik makanan dan diletakkan di atas sendok. "Ya, tapi sekarang kamu harus makan," ucapnya dan menyodorkan sendok berisi nasi itu ke depan mulut Indri.

"Ih, Papa. Aku kan bisa makan sendiri," tolak Indri. Ia menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya, dan menggelengkan kepalanya.

"Kalau kamu bisa makan sendiri, dari tadi kamu pasti sudah makan. Ayo cepat, kamu harus menghabiskan semua ini," titahnya tak dapat dibantah.

Suapan demi suapan Indri terima dengan senang. Ia sangat menikmati momen-momen seperti ini bersama sang ayah. Mana mungkin jika Indri meninggalkan ayahnya sendiri di sini. Baginya, Indri bagai pelita di kegelapan malam. Menjalani hidup yang keras di usianya yang sudah terbilang tidak lagi muda, tidaklah mudah baginya. Apa gunanya ia memiliki anak, jika di usia senjanya sang anak meninggalkannya dan tak mempedulikannya lagi.

"Kamu kelihatannya lagi ada masalah. Yakin enggak mau cerita sama Papa?"

Uh, ayahnya ini memang tidak bisa dibohongi. Bahkan ia tahu kalau Indri sedang berpura-pura baik-baik saja.

"Ah enggak kok, Pah. Masalah kecil doang, kapan-kapan Indri cerita deh sama Papah," sahutnya seraya tersenyum.

Ayah Indri memberikan segelas air, setelahnya pergi membawa piring kotor ke dapur.

"Jangan tidur dulu. Kamu baru selesai makan, nanti bisa muntah," ucap ayah Indri memperingati tatkala anaknya itu ingin kembali dipeluk selimut tebalnya.

"Ehehe, siap, Pah!"

🌹🌹🌹

27 Juni 2020

✔ . I . N . T . E . R . V . A . L . ✔ {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang