Masalah

89 10 9
                                    

Karena cinta, aku rela mengucapkan kata maaf setiap detik. Bahkan atas kesalahan yang tidak pernah kulakukan sekali pun.

Gavin

***

Happy reading

***

Kesalahpahaman ini membuat jarak di antara mereka. Menyakiti salah satu hati yang tengah berbunga. Membuat sesak di dada, mendidihkan air mata yang meluap seketika.

"Adelia, kamu di mana?"

Entah berapa kali pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Kakinya terus mencari dengan mata yang terus menjelajah. Namun, cintanya juga belum ditemukan.

"Semua tempat udah gue cari, kecuali ... rooftop."

Begitu ucapannya selesai, laki-laki itu langsung berlari ke tangga yang akan membawanya ke tempat yang ia inginkan. Gavin menelan ludah saat melihat pintu rooftop yang terbuka. Setelah menyiapkan mental sekeras batu, hati sekuat baja, ia pun kembali melangkah.

Akhirnya ia menemukan gadis yang tengah dicarinya itu. Sosok yang membuatnya frustasi beberapa menit tampak duduk di atas sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan luasnya alam.

Laki-laki ini sedikit menghela napas lega. Ragu melangkah, takut cintanya marah. Namun, masalah ini tetap harus diklarifikasikan.

"Adelia ...." Suara Gavin terdengar sangat lemah dan pelan. Bahkan ini tidak pantas disebut panggilan, melainkan bisikan.

Adelia tidak membalas sahutannya, juga tidak memutar kepala. Melihat hal itu, Gavin mencoba menghampiri Adel dan berdiri tepat di depannya.

Adel masih di posisi yang sama, menundukkan kepala. Sekali lagi Gavin harus ambil tindakan. Ia menekuk lutut dan meletakkannya ke lantai, mensejajarkan kepala mereka.

"Adelia ...," lirihnya sekali lagi yang hanya diabaikan saja.

Tangan kanan Gavin bergerak, memegangi dagu Adel. Ia mengangkat wajah gadisnya pelan-pelan hingga mata mereka bertabrakan.

Gavin terenyuh saat melihat mata Adel yang bengkak dengan bekas aliran air di kedua pipinya. Kedua mata dan hidungnya memerah, pertanda bahwa ia baru saja selesai menangis.

Adel menatap Gavin datar tanpa ekspresi. Kedua bibirnya terkunci, seolah tak ada lagi pembahasan di antara mereka.

Melihat hal itu, jelas mengiris hati Gavin. Ia menarik tubuh Adel dan mendekapnya perlahan. "Maaf, maaf, maaf," bisiknya di telinga Adel.

Gadis ini tidak menyahut ucapannya, bahkan membalas pelukannya saja tidak. Ia seperti mayat hidup.

Gavin melepaskan pelukannya dan mendapati Adel masih dengan ekspresi yang sama. "Adelia, jangan diam aja. Katakan sesuatu," pinta Gavin. Ia merasa serba salah dengan diamnya Adel. Apa gadisnya ini lelah dengan semuanya?

"Duduk, Vin," titah Adel dengan suara yang sangat kecil. Ia menepuk kursi di sebelahnya.

Cepat-cepat Gavin bangun dan duduk di sebelah Adel. Ia mengarahkan tubuhnya ke arah gadis itu.

Adel kembali diam. Tangannya mulai membuka tas dan mengambil sehelai tisu. Ia mengarahkan tisu itu ke bibir Gavin dan mengusapnya menggunakan benda tersebut. "Di sini, kan?" tanyanya dengan suara serak.

Gavin kaget, ia tahu maksud dari pertanyaan dan perlakuan Adel sekarang. Kepalanya menggeleng lemah. Tanpa sadar, air matanya meleleh. Ia menangis di depan Adelia. "Bu--"

CERITA KITA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang