Chapter 1

2.1K 183 1
                                    

Kira's POV

Aku selalu penasaran. Kamar itu tidak pernah terbuka. Selalu terkunci. Ibu tidak pernah membiarkanku masuk ke sana. Dia hanya membuka kuncinya ketika dia pulang dari kantor, yaitu sekitar jam 8 malam. Aku pernah memintanya untuk tidak mengunci pintu itu sehari saja, tapi dia menolaknya dengan tegas. Aku tidak pernah meminta lagi karena jawabannya pasti sama. Ya, ibuku memang keras kepala, dan sifat itu menurun padaku. Tidak jarang kami berdebat karena perbedaan pendapat. Keluarga bahagia. Selama ini, aku terus memikirkan cara untuk masuk ke sana. Beberapa kali aku mencoba untuk mendobrak pintu dan mengendap-endap untuk masuk ketika tengah malam. Sayangnya, semuanya tidak berhasil. Aku harus memikirkan cara yang lain.

"Hey, Belle!"

Seruan itu membuyarkan lamunanku. Aku menatap anak perempuan sebayaku yang sedang berjalan menghapiriku. Rambut pirangnya diikat ke belakang dan mata birunya dihiasi kacamata berbingkai hitam. Dia membawa sebuah nampan berisi makanan di atasnya. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Berbanding terbalik dengan diriku yang hampir selalu tanpa ekspresi.

"Hannah, sudah berapa kali kubilang, aku-"

"Ya, ya, aku tahu. Kau tidak suka kupanggil Belle. Kau sudah mengatakan itu sejak pertama kali kita bertemu," potong Hannah, masih dengan cengiran lebar di wajahnya. Dia meletakkan nampannya di meja dan duduk di hadapanku. Aku memutar bola mataku. Dia memanggilku 'Belle' hanya untuk membuatku jengkel.

Hannah Williams adalah teman terdekatku. Dia yang pertama kali menyapaku sewaktu kami masuk sekolah dasar. Setelah itu, dia langsung berbicara panjang lebar dan kami segera saja menjadi teman dekat dan sekarang, kami menjadi murid di sebuah SMA di kota kami.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Hannah. Mulutnya penuh dengan lasagna. Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Hannah. Gadis itu memutar bola matanya.

"Tadi kau sedang melamun. Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu," ucapnya.

Aku hanya mengangkat bahu. "Seperti biasa," jawabku singkat.

Hannah mendesah bosan. "Sudah kuduga."

Aku memang sudah bercerita pada Hannah soal Ibu yang selalu mengunci pintu kamarnya. Kami mulai menyebut pintu itu sebagai pintu terlarang. Karena ayahku bekerja di luar negeri, maka tidak ada yang memakai kamar itu kecuali ibuku. Jadi, tidak ada yang bisa membuka pintu kamar itu selain Ibu. Ibu bahkan mengunci pintunya apabila ada tamu yang datang meskipun itu adalah keluarga besar kami sendiri. Nenek dan kerabat-kerabatku biasanya datang ke rumahku saat natal dan baru pulang ketika sudah lewat tahun baru. Yang lebih aneh lagi, ketika nenek datang, Ibu pasti selalu berbicara berdua saja dengannya di halaman belakang. Aku juga pernah memergoki mereka masuk diam-diam ke dalam kamar Ibu dan ketika keluar, raut wajah mereka terlihat seperti baru saja membicarakan suatu hal yang serius. Aku selalu tergoda untuk menguping tapi aku juga sibuk berbicara dengan kerabatku yang lain. Lagipula aku juga takut bila ketahuan.

"Kau yakin kau sudah mencoba segala cara?" tanya Hannah. Aku mengangguk.

"Mendobrak pintu?"

"Sudah."

"Mencoba mencuri kuncinya?"

"Yap."

"Mencoba masuk tengah malam?"

"Tidak berhasil."

"Membuat duplikat?"

"Bagaimana caranya aku membuat duplikat kalau kuncinya saja aku tidak punya?"

"Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Sebuah suara baru menyela pertanyaan Hannah. Kami berdua menoleh dan melihat seorang anak laki-laki duduk di sebelah Hannah. Anak itu berambut hitam dan bermata cokelat. Clayton, teman dekatku yang satu lagi.

Cursed DollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang