Prolog

30 4 0
                                    

Dibawah terik matahari yang menyengat, duduklah seorang pemuda dengan wajah tanpa emosi sama sekali. Tidak mengalihkan perhatian, ia selalu menatap danau yang berada beberapa jengkal di hadapannya, dan berpindah ke langit beberapa detik kemudian—mengulanginya berkali-kali seperti ritual sinting sebuah kaum terpencil yang entah darimana asalnya. Menggumamkan kata-kata seperti telah hilang, pergi ke padang rumput, bersantai, tertawa tetapi menangis. Mungkin ia berharap akan berubah menjadi mantra magis yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.

Angin menerpa wajahnya dengan keras, namun ia tetap diam seperti batu yang telah berabad-abad menempel dengan bumi. Terdengar suara bising lalu lintas beberapa meter darinya, dan hal terakhir yang ingin dilakukannya adalah berteriak. Dengan gerakan cepat, ia memasukkan kepala kedalam danau—menghirup udara yang sama seperti membunuh diri. Pemuda tersebut bangkit dengan tersedak dan wajah merah padam, ada sebagian kewarasan dalam dirinya. Ia duduk dan mengelap wajahnya dengan lengan baju lalu menatap lurus ke satu titik di tanah, dalam kepalanya berjuta-juta memori berebutan ingin keluar dari lemari besi yang membatasi otaknya—membuatnya tak dapat mengingat hal yang terjadi sebelumnya. Siapa sesungguhnya dirinya, seperti apa keluarganya? Bagaimana dengan ibu dan ayahnya, atau apakah ia mempunyai saudara? Kakak atau adik, misalkan?

Kepalanya seperti dihantam, memorinya semakin mendesak untuk keluar—meronta seperti orang kerasukan. Pikirannya kalut, benar-benar membingungkan. Pemuda itu berteriak sekencang-kencangnya, menarik perhatian warga sekitar bak cahaya yang mengundang laron. Lalu ia ingat sesuatu. Pemuda itu akhirnya dapat mengingat. 

Destinasi (Short Story) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang