Kembalinya Identitas

13 2 0
                                    

Karena terus-menerus kepikiran, Steve hampir tertabrak sebuah mobil—pemiliknya memberi sumpah serapah pada pemuda itu—yang anehnya tak membalas. Kepalanya tiba-tiba merasa sakit yang sangat, lebih parah daripada sebelumnya. Ia berteriak sekeras-kerasnya karena sudah tidak kuat menahan, lalu pandangannya menggelap.

Dia adalah anak berumur dua belas, yang sedang berbahagia karena mendapat juara lomba taekwondo, dan raut wajahnya langsung berubah ketika membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Tanpa harus memanggil keluarganya, ia sudah tahu ada yang tidak beres. Darah berceceran dimana-mana, pecahan barang, dan keadaan disana sunyi.

Benjamin mulai menelusuri tiap-tiap bagian rumah. Dan alangkah terkejutnya ia ketika mendapati orangtuanya sudah terbaring tak bernyawa di kamar mereka sendiri. Dengan panik, Ben berlari mencari nenek dan kakeknya, juga adik laki-laki dan pamannya—kali ini berteriak, ketika mendapati seluruh keluarganya sudah terbujur kaku, meninggalkan dirinya seorang diri.

Anak itu tidak kuat untuk tetap diam disana memandangi keenam keluarganya yang telah meninggalkannya. Lantas, ia menaruh buku pelajarannya, mengambil uang tabungan, ponsel, dan jaket lalu pergi meninggalkan rumah.

Benjamin pergi tanpa tujuan, ia benar-benar tidak tahu jalan tetapi terus saja berjalan hingga akhirnya sampai ke Manhattan. Kota yang jaraknya jauh dari San Fransisco itu tampak asing bagi seorang anak dua belas tahun. Waktu itu ia hendak membeli air mineral ke sebuah minimarket ketika mendapati berita yang menampilkan halaman depan rumahnya. Hal tersebut membuat lukanya kembali terbuka, dan ia segera pergi dari minimarket itu setelah mengambil uang kembalian.

Tanpa disadari, air mata jatuh ke pipinya—mengaburkan pandangannya dan tiba-tiba ia merasakan sakit yang amat sangat di seluruh tubuhnya—terutama kepala, tetapi hanya sebentar sebelum akhirnya dunia menggelap.

***

Steve terbangun dan melihat sekelilingnya, dia berada di sebuah kamar yang sangat besar. Ia mengerjap berkali-kali, berharap itu hanya mimpi, yang ternyata ia keliru. Pemuda itu menopang tubuhnya menggunakan tangan, dan bangkit dari tempat tidur ketika seorang pria—yang sangat familiar—si pemilik mobil yang memaki Steve, menghampirinya dan menanyakan kabarnya.

"Eh?"

"Maafkan aku, tadi mengatakan hal yang tak pantas padamu." Ucap si pemilik mobil, dan Steve masih belum bisa mencerna perkataan pria itu dengan sempurna.

"Aku harus pergi." Kata Steve, dan dia hendak pergi keluar kamar ketika si pemilik mencegah dan menanyakan apa yang terjadi. Seketika itu, mimpi Steve—lebih tepatnya memori, mulai bermunculan di kepalanya. Lantas ia merasa sakit dan kembali berteriak, lalu berlari menerobos pria yang ada di hadapannya—pergi menuju taman terdekat. Di sana ia hanya duduk di pinggir danau sembari berpikir dan berpikir, berusaha mencari penyebab, mengapa kepalanya menjadi sangat sakit ketika ia berpikir? Kali ini Steve tidak ingin menyerah, ia harus melawan rasa tidak nyaman dan sakit di kepalanya itu.

***

Pemuda itu sudah mulai tenang ketika pria pemilik mobil menemukannya dan menanyakan hal yang terjadi. "Apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu. "Aku pernah bertemu denganmu di sebuah diskotik murahan di pinggir kota itu? Kau ingat? Namaku Alejandro, dan kau.. Steve, kan?"

Steve menarik napas sebelum akhrinya menjawab. "Namaku Benjamin, Benjamin Turner sebelum ke Manhattan dan berubah nama menjadi Steve."

Mendengar nama 'Turner' otak Alejandro seperti mendapat sinyal, rasanya tidak asing dengan nama itu. Dan dia hendak bertanya ketika Steve angkat bicara, dan Alejandro kaget bukan main, Steve seperti pembaca pikiran yang handal.

"Ya, nama itu—terkenal di berita manapun bukan? Pembunuhan di San Fransisco itu.. mereka keluargaku." Dan Alejandro hendak bertanya lagi tetapi terpotong oleh Steve yang sudah memberikan jawaban padanya. "Aku selamat karena baru pulang sekolah, dan tidak ada satupun orang tahu karena aku sudah pergi dari sana ketika polisi menggeledah rumahku."

Dan Steve, atau Benjamin menceritakan semua yang diingatnya. Kini ingatannya telah kembali, dan dia butuh orang untuk menumpahkan rasa gembira dan juga lega karena terbebas dari sakit kepala yang tak kunjung berhenti itu.

Pada akhirnya, Benjamin berubah tiga ratus enam puluh derajat lebih baik.

THE END

.

.

.

Halo ! terima kasih yang udah mendukung ceritaku ^-^

Destinasi (Short Story) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang