Puluhan menit berlalu. Sarah mulai bosan belajar Bahasa Inggris dengan menginggriskan rumus fisika. Akhirnya ia berganti belajar fisika tanpa menginggris-inggriskan ucapannya. Robi sedang tidur-tiduran di depan kelas, menunggu Sarah puas belajar.
"Kamu bakalan tidur-tiduran terus di depan kelas?" tiba-tiba Sarah memulai percakapan.
"Kapan lagi aku bisa tidur-tiduran di depan kelas?"
Sarah terkekeh, "Bener juga sih."
"Kak Adit kapan balik ya?" tanya Robi.
"Paling bentar lagi."
"Jakarta-Bekasi memangnya jauh?"
"Katanya sih, beda planet."
Robi tergelak, "O'emji, parah banget kamu, Sar."
"Lah, emang sejauh itu, Rob. Makanya tiga taun di Indo jangan cuma ke Dufan sama Puncak doang."
"Iya deh, Sar. Iya. Terserah. Kamu yang pinter."
"Apaan sih, Rob," gelak balik Sarah.
Tiba-tiba, terdengar suara alarm panjang. Sama persis seperti saat pagi dan sore hari pada hari pertama Ujian Nasional. Sarah dan Robi tegertak, dan bersiap mendengar malapetaka apa pun yang akan dikabari oleh alarm panjang itu.
"Perhatian, perhatian. Warga Jakarta sekalian. Ini sistem peringatan darurat. Sekali lagi, ini sistem peringatan darurat. Serangan nuklir tengah berlangsung menuju Indonesia. Sebuah misil nuklir telah diluncurkan dari lokasi yang belum diketahui, dan diperkirakan akan meledak di Jakarta dalam waktu lima belas menit. Karena kurangnya informasi mengenai serangan ini, kami imbaukan bagi warga Jakarta untuk segera cari tempat berlindung. Sekali lagi, kami imbaukan bagi warga Jakarta untuk segera cari tempat berlindung. Perhatian-perhatian..."
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karunia-Mu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Ke hadirat-Mu, Tuhan
Dari yakinku teguh
Cinta ikhlasku penuh
Akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka
Indonesia merdeka
Syukur aku unjukkan
Ke bawah duli tuan
Dari yakinku teguh
Bakti ikhlasku penuh
Akan asas rukunmu
Pandu bangsa yang nyata
Indonesia merdeka
Syukur aku unjukkan
Ke hadapanmu, tuan
"Robi. Pergi ke bunker. Sekarang."
"Sarah."
"Robi. Ini bukan main-main. Ini bukan main-main... Aku mohon, Rob, kamu lari ke bunker sekarang. Lari ke bunker sekarang!"
"Percuma."
"Nggak ada salahnya nyoba, Rob. Aku mohon."
"Nggak sempet, Sar."
"Nggak ada salahnya nyoba. Kamu harus hidup. Kamu harus hidup..."
"Sarah."
"Ini semua salah aku. Harusnya aku nggak usah belajar. Harusnya aku dengerin Pak Arli. Harusnya aku dengerin Diva. Harusnya aku nggak bohong ke Tante Petris—ke Novi. Harusnya aku dengerin kamu!"
"Sar. Udah. Yuk, duduk."
"Kita bakalan mati. Kita bakalan mati, kan?"
"Udah, Sar."
"Robi."
Hening.
"Oh, iya, Sar. Aku masih nggak ngerti rumus yang ini."
"Robi?"
"Rumus yang ini nih, Sar."
"Rob?"
"Ajarin aku coba."
"Rumus...?"
"Iya. Biasanya soalnya gimana sih?"
"Ini?"
"Iya."
"Rumus 'F0 = V/2L'?"
"Iya, Sar."
"Oh... Biasanya... Soalnya soal seutas dawai. Nanti dikasih tau panjang dawainya, gelombang transversalnya berapa, terus udah. V itu gelombang transversal, terus L itu panjang gawainya. F0 itu frekuensi dasar namanya. Palingan begitu aja sih."
"Loh. Jadi gitu doang?"
"Iya, Rob."
"O'emji. Ternyata gitu doang. Selama ini yang beginian suka aku kosongin di TO."
"Padahal kamu tinggal nanya ke aku."
"Iya, iya."
"Dasar."
"Makasih, ya, Sar. Akhirnya aku ngerti. Kalo begini kan enak. Aku yakin nanti fisika bisa dapet sembilan puluh."
"Ah, masa?"
"Yah, delapan puluh lah. Nggak deng, paling tujuh puluh."
"Tujuh puluh?"
"Oke, enam puluh. Hahaha!"
"Robi."
"Ya?"
"Makasih ya. Aku beruntung bisa sama kamu."
"Iya. Aku juga beruntung bisa sama kamu."
Kedua pelajar itu berpelukan, selagi kilatan cahaya menyilaukan tiba-tiba muncul diiringi dentuman dahsyat.
[[TAMAT]]
14) Lagu "Syukur" karya H. Mutahar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ujian Nasional
Ficção GeralUjian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapkan diri. Di luar dugaan mereka, ternyata ada ujian nasional lain yang menanti mereka.