Hari kedua setelah kematiannya. Malaikat maut itu tidak muncul lagi, padahal Pram ingin menanyakan banyak hal. Seperti, apa yang harus ia cari tahu tentang kematiannya? Apa yang harus ia lakukan, dan siapa orang yang harus ia curigai? Pram sangat berharap malaikat maut itu akan memberikan sedikit petunjuk padanya.
Jika memang ia meninggal karena kecelakaan maut, seharusnya masih ada pemberitaan tentang kematiannya di televisi, surat kabar, atau portal internet. Akan tetapi, ia hanya menemukan satu berita tentang kematiannya yang menceritakan bahwa, Pram terlalu mabuk sepulang dari pesta. Ia menyeberang tanpa melihat-lihat sehingga sebuah truk menghantam tubuhnya dengan keras kemudian ia meninggal di tempat.
Hanya itu.
White Horse juga tidak mengeluarkan artikel tentangnya lagi setelah itu. Bahkan jika memang itu sebuah kecelakaan besar, ini baru hari kedua setelah kematiannya. Mestinya berita itu masih hangat dan dibicarakan oleh masyarakat. Apa lagi mengingat posisi Pram yang selalu mendapat perhatian di kantor, harusnya ada banyak artikel bela sungkawa dari perusahaan surat kabar yang paling terkenal itu. Pram menghela napas panjang.
Mungkin ia harus mencari tahu tentang pengemudi truk yang sudah menabraknya malam itu. Sialnya, Pram bahkan tidak ingat truk seperti apa yang sudah membuat nyawanya melayang. Dalam satu artikel tentang kematiannya itu juga tidak disebutkan tipe truk dan plat nomornya. Ini memang sedikit janggal. Seolah-olah kebenaran tentang kematiannya dikubur begitu saja.
Atau, memang Pram saja yang merasa sudah menjadi orang yang sok penting?
Pria itu mendengus lagi seraya menjambak rambut dengan frustrasi. Pram mengeram di atas sofa, bingung memikirkan kemungkinan yang terjadi padanya.
"Sialan, sialan, sialan!" teriaknya geram.
"Sudah mati pun, kenapa masih rumit, sih?" Pram bergumam kesal.
Pram berdiri dan menuju ke dapur. Saat ini ia masih berwujud seperti manusia biasa, ia juga akan merasa lapar dan haus seperti manusia pada umumnya. Pram membuka kulkas kemudian meraih sebuah botol berisi air putih. Ia menjatuhkan diri di kursi, lalu meneguk air dalam botol sampai setengah kosong. Angannya kembali berkelana memikirkan hari-hari terakhir sebelum ia mati. Namun, ia benar-benar tidak mengingat apapun selain pesta perayaan malam itu.
"Apa aku harus tanya ke Presdir Wijaya? Dia pasti tau kejadiannya kayak gimana." Pram menimang.
Akan tetapi, menurutnya itu bukan ide yang bagus. Pram tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi bos sekaligus sahabatnya itu saat mendapati dirinya yang sudah mati, malah mendatanginya dengan kondisi yang masih utuh dan baik-baik saja.
"Kamu tinggal mengaku, kalau sebenarnya kamu itu adalah arwah yang sedang mencari tahu penyebab kematianmu."
Bisikan itu muncul dari telinganya. Pram mengangguk, ia berdiri sejenak untuk berpikir. Namun, hanya berselang sedetik pria itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia berteriak dan menghempaskan tubuh ke atas sofa seperti posisi semula.
"Gimana caranya? Yang ada aku malah dikira orang gila. Ketemu sama malaikat maut? Yang bener aja!" Lagi-lagi Pram mencak-mencak sambil mengacak rambut.
Baru sehari ia berusaha mencari penyebab kematiannya, tapi Pram sudah menyerah. Pikirnya ia adalah orang yang sudah mati, lagi pula masa depannya hanya tinggal sembilan puluh delapan hari lagi. Dan selama ini ia belum benar-benar menikmati hidup. Selama hidup pria tinggi, dengan kulit putih, mata sipit serta wajah yang tidak bisa dibilang jelek itu selalu menjadi sosok yang perfectionist.
Entah itu di bidang pekerjaan, juga dalam kehidupan sehari-hari. Pram juga seorang yang mempunyai ambisi tinggi, karena itu juga di usianya yang masih terbilang muda ia sudah menjadi Manajer umum. Namun, sayang. Itu cuma berlangsung sehari sebelum ia mati kemudian. Hidup memang selucu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksama
RandomSiapa yang ingin mati secara tiba-tiba? Satupun tidak akan ada yang berkenan menerimanya. Termasuk Pramoedya Bagaskara, cowok berusia dua puluh delapan tahun yang masih gentayangan karena mati mendadak. Pram tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba...