Lucid Dream

54 7 5
                                    

“Aku menginginkannya, menginginkan segala kehangatan yang selalu kau bawa.
Tetapi aku sadar itu hanyalah sebatas anganku dalam mimpi fana yang begitu nyata terasa
-B-



"Mama..?"

Cahaya yang sempat menyilaukan pandangan itu perlahan memudar. Menampakkan sesosok wanita yang berdiri tak jauh dari hadapannya. Merasa asing dengan atmosfer di sekitar, ia mencoba mengerjap beberapa saat lalu memutuskan untuk tidak menggubrisnya.

"Iya sayang, ini Mama. Kemari nak, Mama kangen sama Bryan."

Wanita itu mendekat ke arahnya, merentangkan kedua lengannya sambil sedikit mencondongkan tubuhnya hendak merengkuh tubuh rapuh seorang Bryan kecil. Seulas senyum yang tak pernah ia lihat dalam hidupnya pun mengembang perlahan. Indah. Ia yang belum mengerti apa itu 'dosa' dan kemunafikan hanya dapat mengangguk polos sambil mengambil ancang ancang sejauh yang ia bisa.

Satu langkah, dua langkah. Tidak. Ia harus.... Lari!!

"Mama... Jangan tinggalin Bryan lagi. Bryan takut, Ma..."

Lari lari kecilnya diiringi dengan isakan tangis dan erangan frustasi yang telah lama ia pendam, tumpah begitu saja. Sejuta rasa rindu, takut, dan tertekan yang cukup membuat hari harinya terasa memuakkan, luruh seketika.

Dilajukannya langkah kecil itu, menghambur ke dalam dekapan yang ia sebut sebagai 'mama'nya itu.
Hangat, dan sedikit basah. Entahlah, mungkin air mata. Benar benar baru pertama ia rasakan nyaman dan tenangnya dekapan seorang ibu.

Lama, semakin lama ia terlarut dalam situasi yang tenang dan damai. Ya, mungkin saat ini tangisnya sudah mereda. Perlahan ia mendongakkan kepalanya, berusaha menatap manik coklat mamanya.

Dua belah bibir yang terkatup sejak beberapa saat yang lalupun perlahan terbuka. Terbersit dalam hatinya untuk melontarkan beberapa pertanyaan. Ehm, atau mungkin malah disebut pernyataan.

"Mama, kenapa Bryan ditinggal? kenapa Bryan nggak boleh ikut Mama? Bryan takut, Ma. Hiks.. Temen-temen Bryan jahat semua, mereka bilang aku nggak punya Papa, Ma. Kenapa aku nggak punya Papa? Bryan pengen ketemu sama Papa. Ma, Papa dimana?"

Sang mama hanya diam, mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang ia lontarkan.
Tentu saja, siapa yang tak akan memberondongmu dengan sejuta pertanyaan, jika tahu ia tak pernah punya pegangan yang memberinya petunjuk atas tuntutan² yang ia sendiri pun tak tahu.

"Bryan nakal ya Ma, sampai Papa ninggalin Bryan? Tapi Mama juga ninggalin Bryan. Hueeee..."
Tangisnya pecah, segala kemungkinan kemungkinan buruk hinggap di kepalanya. Perasaannya pun berkecamuk tak karuan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis sekencang kencangnya sambil memeluk erat mamanya saat ini.

Mamanya hanya menggeleng perlahan sambil menangkup kedua pipi Bryan yang memerah karena menangis.
Dikecupnya dahi bocah itu setelah mengelap air mata yang membanjiri kedua pipi tembam nan bulat itu.

Perlahan mamanya mulai berjongkok mensejajarkan tingginya dengannya, mencuri genggaman pada salah satu tangan Bryan.

"Bryan, jangan sedih lagi ya. Mama nggak kemana mana kok. Mama ada disini."
Ucap mamanya menunjuk dada anaknya

"Bohong!" sanggahnya. "Tapi kenapa Bryan nggak pernah liat Mama sampai sekarang–"

"Bryan nggak pernah liat Mama meluk Bryan, bangunin Bryan pas jatuh, bawa Bryan main, kaya Mamanya temen temen!" lanjutnya

Tangan mamanya terulur mengusap pucuk kepalanya ketika mendengar ucapan polos bocah itu. Ia tahu, bocahnya ini hanya iri.

"Bryan, inget ya. Walaupun Mama nggak nemenin kamu bukan berarti Mama nggak tau soal kamu. Bukan berarti Mama benci sama kamu. Enggak. Kamu cuma harus berpikir kalau Mama akan selalu ada dimana pun Bryan berada. Bryan aja yang nggak liat Mama. ya sayang?"

Bryan mengangguk, mengelap air matanya kasar dengan penggung tangannya. Kemudian mamanya merangkulnya lagi, meletakkan dagunya di bahu anaknya, sembari mengusap punggung kecil yang bergetar itu.

"Janji ya Ma?" ucap Bryan sambil menyodorkan kelingking mungilnya, kemudian disambut oleh tautan kelingking mamanya.

"Janji. Tapi Bryan juga harus janji sama Mama gak boleh nangis lagi, ya?" kata mamanya dibalas anggukan penuh semangat dari Bryan.

Saat itu juga, dari kejauhan Bryan melihat gadis kecil sepantarannya tengah berdiri diseberang sembari tersenyum menghadapnya.

Saat mamanya mulai melepas pelukannya, Bryan langsung menunjuk arah belakang mamanya.

"Ma?"

"Iya sayang?"

"Itu siapa?"

Mamanya menoleh ke arah yang dimaksud, kemudian kembali menatap anaknya.

Namun,

Hening, benar benar hening. Atmosfer kini berganti suram, dekapan yang tadinya hangat perlahan mendingin. Dingin. Udara terasa sesak dan menyakitkan.

Tiba tiba...

Gelap. Semua serba hitam. Tanpa penerangan barang sedikitpun.

"Mama!!!"




Kring..kring..kring..

"Hahhh...!!"



To be continued

Heh apa ini?? 😭
openingnya kok dikit banget thor??
Gak niat banget sih bikin cerita :/

bukan gitu sayang, aku tuh nunggu respon sama reaksi kalian dulu gimana, tapi emang niat awal tuh cuma pendek aja per chapter, jadi biar mata juga nggak pegel gitu ^^

Halah alasan😪

Terimakasih ::

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HALOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang