Dulu, menyukai Tin itu rasanya seperti menyukai seorang artis, terasa jauh dan susah digapai. Namun juga ada kesan intim dan personal dibandingkan dengan mengagumi seorang selebriti. Saya hampir tiap hari melihatnya, saya tau beberapa informasi personal tentang dia, dan juga saya bisa dibilang berada di lingkaran yang sama dengan dia. Dibandingkan dengan menyukai selebriti, menyukai Tin terasa lebih menyenangkan, tapi dalam esensi tertentu juga menyedihkan.
Berulang kali saya merasa kalau rasanya saya mau mendatangi kelasnya saja dan berteriak di depan seluruh murid kalau saya menyukainya. Rasa frustasi yang luar biasa saya rasakan di hari-hari tertentu, mengingat tidak adanya progress terhadap hubungan saya dan dia.
Hari-hari tersebut sudah berakhir. Saya tidak lagi merasakan frustasi tersebut. Saya sudah terlepas dari bayang-bayang Tin.
Tapi sekarang, berinteraksi dengan Tin yang nyata terasa- aneh. Aneh karna entah bagaimana, Tin dalam bayangan saya berbeda jauh dari Tin yang sebenarnya.
Dan ini menghadirkan rasa frustasi baru.
Saya merasa bahwa saya selama ini salah. Gaya bicara Tin yang ada di kepala saya dengan Tin yang asli sangat berbeda. Dalam kepala saya, Tin sangatlah manly, dengan suara berat dan berwibawa. Namun ternyata Tin yang asli berbicara dengan cepat dan semangat. Tin bahkan tidak tampak seperti lelaki dewasa karna cara berbicaranya itu.
Hal ini baru saya sadari setelah kami banyak mengobrol selama di cafe. Tin senang membicarakan pekerjaannya yang adalah seorang electrical engineer di salah satu perusaan telekomunikasi. Saya adalah orang yang bisa dikatakan gaptek dan saya tidak mengerti sebagian besar penjelasan Tin, walaupun Tin sudah berusaha menjelaskan pada saya. Tapi saya tetap senang mendengarkan Tin berbicara, dia terlihat lucu. Walaupun cara berbicaranya terasa aneh di telinga saya.
Satu lagi yang saya sadari dari Tin, Tin ternyata sama sekali tidak tenang dan pendiam. Dia memang tidak nyerocos sepanjang waktu, tapi dia jelas bukan tipe yang kalem dan berwibawa. Tin adalah orang yang humoris dan penuh semangat. Hobinya tertawa dan membuat lelucon konyol. Saya tidak pernah membayangkan Tin yang seperti ini sebelumnya. Dalam bayangan saya, walaupun Tin melucu, tawanya tetaplah berat dan dalam, bukan lepas seperti ini.
Tin yang ini membuat saya bingung, karna Tin yang ini rasanya sama saja seperti teman saya yang lain, tidak seperti selebritas di telivisi.
Kebingungan saya tersebut saya suarakan pada Pete ketika kami bertemu di kantor pada hari seninnya. "Gimana sama Tin? Kata Tin ternyata lo satu sekolah ya?"
"Iya. Lo bukannya satu kampus ya sama Tin, kok almamaternya beda?"
"Siapa bilang gue sekampus ama dia? kita sekost, makanya kenal."
Of course, satu kost. Kenapa tidak pernah terpikir oleh saya sebelumnya? malah dengan pede berasumsi bahwa Tin yang dimaksud Pete adalah orang yang berbeda dengan teman satu sekolah saya itu.
"Jadi gimana sama Tin?"
"Tin ternyata nggak pendiam ya, Pete?"
Pete tertawa keras seolah-olah saya membuat lelucon terbaik yang pernah dia dengar. "Tin? Pendiam? Dih, mana ada. Tin receh banget malah. Makanya gue kenalin sama lo, biar ngimbangin lo yang kalem."
Saya mengangguk, alasan Pete mengenalkan kami memang masuk akal. Kalau saya dan Tin sama-sama pendiam dan tertutup, maka akan susah sekali bagi kami untuk berkenalan. Kepribadian kami saling melengkapi, menurut Pete tentu hal itu adalah sebuah parameter yang valid.
"Tapi gue pikir dia aslinya kalem," tambah saya kemudian, masih susah percaya kalau Tin yang selama ini saya tahu ternyata sangat berbeda kenyataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Male Lead
FanfictionKalian punya tidak, sosok di hidup kalian yang kalian sadari tidak bisa kalian miliki simply karna dia terlalu sempurna untuk kalian? Well, saya punya. Dan setelah lama tidak bertemu, saya terpaksa bertemu lagi dengannya.