'Brakk. . . brakK' Suara pintu dibanting.
Ku lempar tas sembarang. Aku segera melepas pakaian merah putih. Dan menggantinya dengan baju lengan pendek.
Syukurlah, rumah sepi. Jadi, tidak ada yang bisa melarangku pergi main. Batinku. Sambil tersenyum geli.
'Dillaaaa. . . Dillaaaa. . . Dillaaa' Ucap seseorang diluar sana.
Oi, ternyata Fani temanku. 'Sini' kataku. Mengajaknya masuk.
'Main ke sawah yu, jangan dirumah kamu. Nanti Teh Rina marah' Katanya.
'Ngga ada siapa siapa ko, sini' Ucapku meyakinkan.
'Ngga ah, ayo ishh. Kita kan geng. Markas kita kan disawah' Ucapnya. Sambil nyengir persis kuda.
'Amboyy. Baiklah' ucapku agak sinis.
Sesampainya di sawah. Aku dan Fani hanya sekedar berkeliling keliling. Menikmati sejuknya semilir angin. Walaupun Matahari cukup terik.
'Ehh ehh apa itu' Ucap Fani sembari menunjuk. Karena di semak semak sepertinya ada sesuatu. Sesuatu yang panjang.
'Tak tau, kayaknya belut deh. Wihh tangkap tangkap' Kataku sembari tangan dilebarkan persis kiper sepak bola.
'Oke oke' Ucapnya. 'Ini dapet ekornya. Bantuin narik dong, berat banget' Katanya sambil menarik ekor belut.
'Iya, ini juga di bantuin' Ucapku kesal. 'Kok berat banget ya?' Tanyaku bingung.
'Mungkin belutnya besar. Ayoo tarik terus. Satu... Dua... Ti-' Ucapannya terhenti. Betapa terkejutnya Aku. Ternyata bukan belut. Tapi, Ular belang.
'U-ularrrr' teriak Fani dan aku. Pergi lari, menjauh.
Dan semenjak peristiwa itu aku dan Fani mengganti markas kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFIDZAH
SpiritualPelangi yang muncul setelah hujan adalah janji alam bahwa masa buruk telah berlalu dan masa depan akan baik-baik saja. Buku ini mengupas masa lalu seorang hafidzah. Perjalanan hijrahnya pun akan ditulis disini. Jangan lupa ambil hikmahnya ya-! Selai...