BAB 2: Kecelakaan Kecil

4 1 0
                                    

“Wah... Dokter idola kita udah datang...” sorak salah satu sahabatnya bernama Didi. Didi tipikal orang yang pandai bergurau, humornya benar-benar receh. Tapi, siapa sangka ketika masuk ruang operasi—tingkat keseriusannya mendadak terbit. Jadi, siapa saja yang pertama kali melihatnya pasti tidak akan percaya kalau Didi adalah seorang dokter bedah.

Beda halnya dengan Ali, salah satu sahabatnya yang paling dewasa di antara mereka. Keseriusan dan tekadnya menjadikan Ali sebagai dokter, sikap dinginnya pada lawan jenis membuat Ali jarang digosipkan. Namun, kalau bertemu dengan wanita yang dicintainya pasti sikapnya akan berubah seketika. Sayangnya Ali belum bertemu dengan wanita itu.

Keduanya memang banyak disukai oleh para dokter, suster, pasien. Kebanyakan dari kaum hawa, tetapi yang dimaksud Didi sebagai dokter idola adalah salah satu sahabatnya yang baru saja masuk ke ruangan Ali dengan wajah lesu seakan menandakan dia lelah. Banyak kaum hawa berterus terang ingin menikahinya, sayangnya dia enggan menanggapi. Senyumnya yang ramah hanya dia perlihatkan pada pasien tertentu, dalam artian tidak membuat dia menjadi risih. Tetapi tetap saja, baik nenek-nenek pun berterus terang mengidolakannya.

Dia: Muhammad Fauzi Kafka. Wajahnya benar-benar tampan di antara Ali dan Didi, walau mereka juga tampan hanya saja Kafka mungkin lebih tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya pun tebal berwarna merah alami—menandakan Kafka bukan perokok. Dokter yang lulus dengan nilai tertinggi, banyak beasiswa bertebaran untuknya. Namun, Kafka belum mau melanjutkan S3-nya. Kafka sama halnya dari kedua sahabatnya, dari keluarga berlatar belakang medis. Ayahnya bernama Muhammad Fauziandani, seorang dokter bedah bergelar profesor. Bundanya bernama Amira Fauzianda, seorang bidan dengan membuka praktek sendiri. Muhammad Fauzi Toniari, adik Kafka yang sedang kuliah di Eropa—mengambil kedokteran.

Latar belakang keluarga Kafka adalah semua anggota keluarganya merupakan penghapal Al-Quran, lulusan pesantren. Ali dan Didi pun bersahabat dengan Kafka karena mereka sama-sama di pesantren yang sama, keluarga ketiganya pun saling mengenal. Tidak ada yang tahu, kalau Didi seorang penghapal Al-Quran. Mungkin, karena kelakuan Didi pada orang lain seperti anak tengil. Kalau Ali dan Kafka, bertebaran informasi mengenai keduanya.

Terkadang jika ketiganya sedang jalan bersama atau berkumpul membuat histeris seluruh penghuni yang liat, bisa dibilang mereka bertiga bintang rumah sakit bukan karena tampang saja melainkan prestasi. Selain tampan, mereka bertiga cekatan, serius jika di ruang operasi, dan pasien yang menjadi tanggung jawab mereka atas izin Allah selalu tertolong.

“Jangan ganggu gue ngantuk.” Setelah mengatakan itu pada Didi, Kafka mulai memejamkan kedua matanya. Tubuhnya sudah dia hempaskan pada sofa empuk. Sementara Didi duduk di kursi pasien, dan Ali duduk di kursi kebesarannya.

“Kalau mau tidur, kenapa di sini, Bro.” sahut Ali yang merasa ruangannya seperti penampungan para dokter, lebih tepatnya markas untuk Kafka dan Didi.

Didi terkekeh geli, “gue juga heran. Padahal kita udah punya ruangan masing-masing, kenapa ujung-ujungnya kalau butuh sandaran ke ruangan Ali ya?” pikirnya.

“Jijik gue, Didi.” Ali bergidik ngeri. Hanya pada kedua sahabatnya lah, Ali dapat bersikap hangat bahkan blak-blakkan.

Didi mengernyit, “lha, napa?”

“Kalimat lo!”

Kafka tidak menghiraukan suara ribut dari Ali dan Didi, dia memang memejamkan matanya tapi Kafka tidak tertidur. Pikirannya benar-benar kacau, membayangkan sudah kesekian kalinya dia mendapat penolakan. Tiba-tiba Kafka terbangun, lalu duduk seraya mengusap wajahnya gusar.

Ali dan Didi spontan menghentikan aksi ributnya, mereka berdua mendekat ke arah Kafka. “Lo kenapa?” tanya Ali yang lebih peka di antara mereka, padahal dia selalu bersikap dingin serta acuh pada kaum hawa.

Kekasih HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang