12.30 selepas pulang sekolah
Selepas pulang sekolah seragam Pramuka ku sudah mulai basah di terpa panas mentari yang sangat menyengat. Aku berjalan membuntutinya, terkadang juga berlari mendahului. Sepertinya kota sedang di landa kemarau, Itu terbukti dari tanah jalanan yang amat berdebu. Apa lagi saat aku berlari mendahului dirinya yang berjalan santai, debu-debu menggupal membentuk kumpulan asap. Ah, sungguh sesak jika terhirup.
"Amira, tunggu!" Dia mendengus sebal setelah memanggil ku, mungkin kesal saat aku selalu berlari kecil untuk mendahuluinya. Dia temanku, entah dari kapan pertemanan ini terjalin aku tak perduli. Aku selalu tau aku bahagia ketika dengannya, atau merasa jengkel karena dia sangat tak banyak bicara. Aku bahagia saat bercanda. Aku tak mengerti rasa apa itu. Tidak bisa di deskripsikan. Aku bingung, aku belum paham tentang apa yang ku rasakan. Yang aku tau saat ini ialah, dia hanyalah sebatas teman dekatku.
Kami berjalan sekitar 6 menit dari sekolah. Ya, aku selalu bersamanya saat pulang sekolah. Berjalan di emperan toko yang menjulang tinggi di pinggir jalan raya, atau singgah ke taman kota untuk duduk menghilangkan penat.
"Kita ke taman kan?" Aku memulai percakapan setelah 5 menit berlalu saat dia memanggilku untuk menunggunya.
Dia mengangguk, sungguh tak banyak bicara. Kami berjalan beriringan saling diam. Mungkin panas yang berlebihan membuat dirinya enggan mengeluarkan kata-kata. Hanya klakson mobil terjebak macet yang memecahkan keheningan ini.
200 meter menempuh perjalanan setelah percakapan singkat tadi, kami sampai di taman kota. Cukup ramai sepertinya. Banyak anak-anak kecil bermain, ada yang duduk-duduk, bermain bola, atau membeli es cream saat hari panas seperti ini. Oh, ini hari Sabtu rupanya. Pantas saja ramai anak-anak memenuhi taman kota untuk bermain. Aku baru teringat sekolah pulang lebih awal saat hari sabtu.
"Kamu mau es cream, Amira?" Dia berucap singkat di tengah lamunanku, membuyarkannya begitu saja.
Aku menggeleng, "kamu kemarin sudah mentraktirku, Azril. Hari ini pakai uang ku saja," aku memberi protes. Lalu mengeluarkan beberapa uang kertas dari dalam saku. Tapi dia menggeleng, membuat eskpresi "tidak usah, biar aku saja." Lalu berjalan ke arah penjual es cream di dekat air mancur.
Aku terus memperhatikan tubuh siluet itu, menatap punggungnya menjauh dariku. Namanya Azril, dia teman dekatku. Rumahku dan rumahnya hanya berbeda gang. Kami akrab, bahkan sangat dekat. Azril tidak memiliki banyak teman. Mungkin karena dia selalu pendiam, tidak banyak bicara. Ah, siapa yang tahan berteman dengan patung hidup seperti Azril. Aku juga kadang jengkel akan hal itu.
"Ini." Dia menyodorkan es cream stoberi bertoping coklat. Ini bukan rada favoritku, tapi entah mengapa Azril selalu membeli es cream dengan rasa varian ini. Aku sampai bosan. Tetapi tenang saja, aku tetap menerima es cream itu dengan senang hati. Aku juga cukup sadar diri karna dia mentraktirku. Setidaknya aku tak boleh banyak meminta.
Kami berdua duduk di bangku taman di bawah pohon, letaknya menghadap langsung ke jalan raya. Memampangkan jelasnya hiruk pikuk kendaraan yang hilir mudik dengan kecepatan sedang. Para anak jalanan memukul kerencengan yang terbuat dari tutup botol dengan senyum yang mengambang di wajah mereka. Panas pun kalah dengan semangat yang menggebu-gebu. Tapi yang paling beruntung adalah penjual es cream, laris manis dalam sekejap.
Aku melihat ke arah Azril, dia terus menatap kendaraan yang hilir mudik itu. Aku mengerucutkan bibir. Apa serunya memperhatikan kesibukan lalu lintas jalan raya? Aku saja hampir pusing, di tambah lagi panas yang menyengat ini. aku sangat tidak suka situasi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Taman kota
Roman d'amourGadis itu terus menatap jalanan kota. Kendaraan terus saja berlalu lalang tanpa henti. Dia tersenyum sayu menatap kaki kanan nya yang di amputasi beberapa tahun silam. Dia terus duduk di bangku taman itu. walaupun ia tau yang di tunggu mungkin musta...