1

7 1 0
                                    

Ada saatnya kita diam. Ada saatnya kita berontak. Ada saatnya kita cukup melihat.
~Bilbul~

"Ayah, mohon maafkan adek. Tapi adek pingin lanjut kuliah." Mohon Sakila sambil bersimpuh di hadapan sang ayah.

"Maaf. Adek ndak bermaksud meninggalkan ayah lagi. Tapi ayah tahu kan, adek sudah ndak kuat disini lagi. Ya, ayah. Adek mohon." Sakila sudah memasang wajah melas di depan ayahnya. Sakila tidak menangis, tapi ayahnya tahu jika beberapa hari ini anaknya menangis.

"Ini kesempatan emas buat adek karena adek bisa lolos beasiswa, yah. Atau ayah mau ikut adek saja. Biar ayah ndak sendirian di rumah. Kita bisa nitipkan rumah ini ke pakdhe atau bulek. Nanti di sana kita bisa cari kontrakan. Adek juga kuliah hanya dua tahun, ayah. Jika bisa, sebelum dua tahun adek sudah selesaikan kuliah adek. Please, ayah." Sakila terus membujuk ayahnya. Sakila berusaha bernegosiasi dengan ayahnya.

"Lalu bagaimana dengan perkebunan ayah? Ayah sudah membebaskan kamu untuk kuliah di Surabaya empat tahun kemarin. Kamu ndak capek sekolah terus, nduk?" Setelah ayahnya diam sejak tadi. Akhirnya ayah Sakila mau berbicara.

"Pakdhe atau paklek kan bisa bantu, ayah. Beliau kan juga punya usaha perkebunan apel, yah. Sakila tidak ingin membebani ayah dengan biaya kuliah makanya Sakila milih beasiswa, ayah. Lagian ayah kan waktu itu juga menyetujui permintaan adek." Sakila selalu bisa saja menjawab ucapan ayahnya. Sejak ibu Sakila meninggal ketika Sakila berumur 10 tahun, Sakila selalu menempel dan manja kepada ayahnya. Walaupun akhirnya empat tahun kemarin dia memutuskan merantau ke Surabaya untuk kuliah.

"Waktu itu kan karena kamu janji, mas-mas yang kamu sanjung-sanjung itu bakal kesini. Buktinya kamu malah pulang nangis setelah ketemu dia," ejek ayahnya.

Sakila langsung cemberut mendengar ucapan ayahnya.

Ayah Sakila pun tertawa dan mengusap puncak kepala Sakila dengan sayang. "Kamu itu masih manja dan gampang tersinggung jika diberi tahu kebaikan, gitu kok minta buru-buru nikah, nduk."

Sakila menundukkan kepalanya. Ayah Sakila pun merasa bersalah walaupun sebenarnya beliau menyayangkan sikap Sakila yang seperti itu. Ayahnya ingin Sakila bisa legowo menerima kritikan dan semua apapun yang terjadi, seperti peristiwa yang menimpanya satu minggu yang lalu.

"Nduk, umurmu masih muda. Masih 23 tahun kan tahun ini? Kamu juga pingin jadi dosen ahli pendidikan. Kejar ya cita-citamu. Jangan cemberut dan menangisi laki-laki itu lagi. Ayah tidak membencinya. Tapi lebih baik jika kamu segera beberes untuk perkuliahanmu di Yogyakarta. Ayah tidak masalah kamu tinggalkan lagi. Asal nanti setiap libur semester pulang ya, nduk. Kamu boleh ikut penelitian dosenmu. Tapi ingat, kamu ditunggu ayah di kota apel ini."

Saat kuliah untuk ambil gelar sarjana dulu, Sakila memang suka sekali bergabung dalam penelitian dosen. Hal itu membuatnya jarang pulang ke Malang. Namun, ayahnya tak pernah melarang hal itu karena beliau tahu bahwa itu semua demi kebaikan Sakila. Sakila sangat menyukai eksperimen.

Ayah Sakila memeluk Sakila penuh haru dan merasa bangga atas keinginan Sakila untuk terus belajar. Sakila menangis sambil mengucapkan maaf dan terima kasih berulang kali kepada ayahnya karena merelakan Sakila meninggalkan ayahnya lagi untuk kuliah.

"Ayah kemarin masih bisa jika pulang pergi Malang-Surabaya, nduk. Tapi kalau ke Yogyakarta, maafkan ayah. Ayah ndak sanggup. Jadi, di sana jaga diri, ya. Jangan terburu dengan jodoh, ya. Ayah bantu doa dan bantu carikan dari sini."

SakilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang