2

0 0 0
                                    

Biarkan semua berproses. Memaksakan kehendak juga tidak akan membuat semuanya sesuai rencana.
~Bilbul17~

Pengumuman bahwa kereta tujuan Yogyakarta akan tiba di stasiun Malang Kota Baru melangkahkan kaki Sakila untuk segera masuk mendekati jalur kedatangan kereta. Sekali lagi dia memeluk hangat ayahnya. Dia menahan laju air matanya. Dia sudah menangis sejak dari rumah sebelum dia berangkat ke stasiun hingga saat ini. Ayahnya memeluk tubuhnya hangat, berat melepaskan kepergian putrinya untuk pergi jauh darinya. Namun dia harus tegar. Dia yakin putrinya baik-baik saja di sana.

"Sudah, sebentar lagi keretanya datang, nduk," ucap ayahnya sambil mengusap air mata Sakila yang terus menetes.

Sakila mengangguk. Tenggorokannya tercekat karena air matanya yang terus menetes. Sekali lagi dia memeluk ayahnya dan mencium tangan sang ayah dengan penuh khidmat.

"Sakila berangkat ya, yah. Sakila pasti akan selalu menghubungi ayah," ucap Sakila sambil melambaikan tangan ke arah ayahnya dan segera berjalan dengan menarik kopernya.

Ayahnya—Sandi ikut melambaikan tangan kepada sang putri. Dia memberikan senyuman hangat dan bangga kepada putrinya. Sesungguhnya dia juga ingin menangis, tapi dia harus lebih kuat dan tegar dari putrinya. Dia harus melepaskan kepergian putrinya untuk menimba ilmu dengan senyuman bangga agar hati putrinya menjadi lega dan tidak membatalkan niatnya.

Setelah kereta api yang membawa Sakila melaju meninggalkan stasiun Malang, Sandi segera keluar dari stasiun dan menuju mobil yang tadi mengantarnya ke stasiun.

"Langsung pulang, pak?" tanya laki-laki yang duduk di kursi kemudi.

Sandi mengangguk singkat. Dia masih berusaha menetralkan kesedihannya.

Dalam mobil hanya diisi oleh suara deru mesin AC yang mendinginkan mobil. Sandi masih diam dan laki-laki yang menjadi sopir pun juga ikut diam.

Dering handphone Sandi membuat Sandi dan laki-laki yang sedang fokus menyetir tersadar dari lamunan. Sandi segera menerima panggilan dari seseorang yang baru saja dia antarkan keberangkatannya.

"Baru juga berangkat dan belum sampai Yogya apa sudah rindu dengan ayah?" canda Sandi setelah mendengarkan ucapan salam dari sang penelepon dan rengekan manja putrinya.

Sandi sengaja me-loudspeaker panggilan dari putrinya.

"Ayah... Ayah juga pasti rindu Sakila nanti kalau sudah sampai rumah," rengek Sakila dengan manja.

Sandi tergelak mendengar ucapan sang putri yang begitu percaya diri. "Iya. Sekarang saja ayah sudah rindu dengan putri kesayangan ayah ini," ucap Sandi dengan suara yang dia usahakan tegar.

Bukan jawaban yang dia dapatkan dari seberang telepon, melainkan isakan kecil Sakila. Sandi menghela napas, sebagai ayah dia tentu merasa sedih dan khawatir terhadap putrinya.

"Nduk, sudah ya jangan menangis lagi. Ayah juga rindu sama Sakila. Tetapi Sakila sudah janjikan jika rindu ayah maka akan segera menghubungi ayah. Kalau Sakila menangis terus, nanti ayah malah semakin sedih dan khawatir di sini," ucap Sandi pelan.

Tangisan Sakila tidak berhenti, malah isakannya semakin kuat. Dari suaranya, Sakila tampak berusaha menahan tangis. Pasti dia juga tidak ingin dijadikan pusat perhatian oleh penumpang lain di sekitarnya.

Sandi memilih diam dan mendengarkan isak tangis sang putri. Laki-laki yang berada di samping Sandi hanya bisa menghela napas. Andai dia bisa menjadi laki-laki yang tidak pengecut. Namun, dia akan berusaha mengubah image pengecut pada dirinya menjadi laki-laki sejati yang akan memperjuangkan cinta yang dia inginkan.

Setelah Sandi menenangkan isakan sang putri, akhirnya sambungan telepon telah berakhir dengan candaan antara Sakila dan Sandi.

"Kamu tahu sendiri bagaimana Sakila, kan?" tanya Sandi pada laki-laki yang duduk di sampingnya.

"Iya, pak," jawab laki-laki itu pelan. Dia merasa malu, tak enak hati, dan merasa kecewa dengan dirinya sendiri.

"Saya harap kamu jangan memaksakan kehendak jika nanti di Yogyakarta kalian bertemu. Dekati Sakila dengan pelan-pelan. Tunjukkan bahwa itu semua terjadi secara tidak sengaja walaupun kamu tahu hal apapun dari saya tentang Sakila," ucap Sandi tegas. "Saya tahu kamu laki-laki yang baik sehingga saya mempercayai kamu hampir 100%. Kenapa tidak 100%? Karena saya tahu kamu pernah menyakiti hati anak saya."

Laki-laki yang duduk di samping Sandi semakin malu dan merasa kecewa. Dia bersyukur mendapatkan kesempatan kedua dari pria di sampingnya. Dia berjanji tidak akan melewatkan kesempatan kedua ini.

"Untung saja tadi Sakila sedang fokus dengan tangisannya sehingga tidak memperhatikan laki-laki yang sedang menyetir. Saya tahu kamu takut ketahuan Sakila bukan? Bisa dilihat pada raut wajah kamu yang sangat tegang. Lucu sekali," ucap Sandi sambil tergelak. Dia juga pernah muda. Pernah merasakan bagaimana harus memperjuangkan seorang wanita, terutama ibunya Sakila, almarhumah istrinya.

Laki-laki yang duduk di samping Sandi hanya tertawa kaku. Bahkan hanya tampak seperti senyuman yang dipaksakan. Mau bagaimana lagi, seperti yang diucapkan oleh Sandi bahwa dia memang tegang saat mengantarkan Sakila dan Sandi ke stasiun tadi.

"Kamu harus bersyukur karena bertemu dengan seorang ayah seperti saya. Jika kamu bertemu dengan seorang ayah dari perempuan lain mungkin saja kamu sudah tidak berani menginjak bumi lagi," ucap Sandi dengan jumawa.

Sandi memang pernah marah besar kepada laki-laki ini karena dengan begitu teganya menyakiti hati putrinya. Namun, sebagai seorang ayah yang pernah menjadi laki-laki yang juga memperjuangkan seorang wanita dia paham betul bagaimana rasanya sebuah perjuangan yang hampir tidak menunjukkan hasil. Maka dia sebagai seorang ayah harus bisa tegas dan memilih tindakan yang tepat demi kebaikan sang putri.

Sandi tahu laki-laki di sampingnya masih sangat sungkan (tak enak hati—bahasa Jawa) kepada dirinya. Dulu hubungan mereka tidak secanggung ini. Sudah layaknya seorang ayah dan putra. Namun semua berubah sejak lima tahun yang lalu. Sandi sudah berusaha mencairkan hubungan di antara mereka, tetapi laki-laki di sampingnya ini tidak segera cair-cair juga. Masih kaku seperti batang pohon yang tumbuh dengan kokoh.

Sandi akhirnya diam dan fokus dengan pesan yang kembali masuk ke handphone-nya. Putrinya tidak berhenti mengirimkan pesan kepadanya. Rasanya masih seperti memiliki seorang gadis muda yang tidak mau lepas dari orang tuanya. Tetapi melihat Sakila yang sudah punya keinginan untuk segera menikah membuatnya harus melatihkan kesiapan mental dan fisik kepada putrinya.

Ditulis pada 12 September 2020
Diedit pada 21 Desember 2020
Dipublish pada 24 Desember 2020
🌷Selamat menikmati hari-hari di akhir tahun🌷

Bantu love dan subscribe cerita ini ya. Boleh komen jika ada hal yang kurang tepat. Tapi jadilah pemberi komentar yang bijak ya 😊 Terima kasih untuk para pembaca yang meluangkan waktunya membaca cerita saya.

Maaf baru bisa up 900 kata. InsyaAllah saya usahakan update setiap dua hari sekali. Semoga kegiatan di dunia nyata bisa diselingi dengan menulis cerita ini. Terima kasih 😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SakilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang