FIRST THING

87 22 13
                                    


Langit sore ini sedang sedih, memoleskan segala penjurunya dengan warna yang sendu. Mungkin beberapa kali kilat tampak berkilau diatas sana, berdentum dengan suara khasnya yang mengerikan. Bahkan ketika bel pulang berdentang, hampir seluruh siswa berlarian keluar dari gedung sekolah untuk kembali ke rumah.

Tak terkecuali, dirinya. Membawa langkah panjangnya untuk berlari menyusuri suasana sepi jalanan kota yang kini tampak lengang sebab hujan ‘kan segera turun.  

Namun langkahnya perlahan memelan, seiring ingatannya yang kembali beberapa saat yang lalu. Mengusap pelan kedua pipi tembamnya yang lebih dulu dibasahi oleh air matanya. Hatinya sakit, bukan. Fisiknya juga sakit. Ada luka memerah di sudut bibirnya yang tampak melebar seiring ringisannya  kian mengalun bersama isakan. 

“Jean!” 

Dia adalah Jeanna Priscilla Rahib. Seorang murid sekolah menengah atas yang mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya. Seorang wanita yang memiliki segudang penderitaan di dalam hidupnya.

Jean akan menuju pintu kamarnya jika saja sebuah suara tidak menginterupsinya untuk berhenti. Yang diinginkannya adalah tidur. Mengistirahatkan badannya yang mulai lelah seusai belajar di sekolah, dan lelah akan keadaan yang menimpanya.

Seseorang membalikkan badannya secara sengaja, hendak menatap wajah Jean.

“lu diapain lagi?!” 

Yang ini adalah Marcel. Kakak laki-laki Jean. Bernama lengkap Jeanno Miki Marcelio. Mereka hanya selisih satu tahun saja. 

Jean menggeleng, melepaskan pegangan tangan Marcel dari dagunya. Kemudian beralih memutar knop pintu kamarnya dan masuk kedalam. Marcel hanya mengikuti langkah adiknya, menginginkan sebuah penjelasan penuh padanya sebab ia sudah tak tahan lagi. 

Bukan sekali dua kali Marcel melihat Jean dalam keadaan terluka, bahkan ia pikir adiknya itu sudah menjadi bulan-bulanan orang. Hampir setiap hari Marcel mendengar adiknya menangis dengan suara yang tersengal, seperti ingin menyembunyikan tangisannya.

Marcel memaksa Jean untuk mendudukkan dirinya ke ranjang, sementara dirinya meraih kotak kesehatan di atas lemari. Kemudian mengobati luka kecil di sudut bibir adiknya. Hatinya sakit melihat adik satu-satunya menjadi seperti ini.  Ia mengelus pipi Jean setelah selesai dirinya berkutat dengan luka itu, meraih Jean kedalam pelukannya. Kali ini ia ingin mendengar suara tangis Jean.

Jean kalap. Ia menangis dengan suaranya yang sarat oleh pilu. Mencengkeram baju yang dikenakan oleh Marcel untuk meluapkan emosi yang telah ia pendam selama ini, yang hanya dia saja yang tahu. Ia memilih menyimpannya, dari siapapun. Termasuk dari Marcel. Orang tuanya? Jangankan mendengar masalah Jean, mengetahui kedua anaknya baik-baik saja pun tidak.

Jean adalah siswa yang nerd. Berpenampilan layaknya gadis culun yang ada di sinetron-sinetron dalam negeri.  Ia bahkan tidak memiliki satu teman pun. Itu adalah alasan mengapa ada banyak sekali murid yang membully-nya. Terlebih saat ini keluarganya sudah hancur. Menciptakan tepuk tangan meriah dari orang-orang jahat itu yang ditujukan padanya untuk semakin mendorongnya masuk ke dalam kegelapan. 

Namun dari banyaknya siswa yang melakukan pembullyanterhadapnya, ada satu orang yang membuat Jean merasakan luka berlebih. Seseorang dengan lidah tajam, ia bisa disebut sebagai ketua di dalam kerumunan orang-orang pembully itu. Jean tak tau apa penyebab wanita itu begitu membencinya. Bukankah ia juga memiliki hak yang sama dengannya sebagai seorang murid biasa? selain hatinya yang tergores, tak jarang Ia mendapat siksaan terhadap tubuhnya. Oleh wanita itu.

“Mama mana?” Tanya Jean disela tangisnya.

Marcel melepas pelukan keduanya dan menatap wajah sang adik.

“Dia pergi lagi tadi pagi, gue sempet bertengkar sedikit sebelum dia mutusin buat pergi lagi. Dan gue juga pergi setelah itu.”

“Ke club?” Marcel mengangguk pelan,

Jean menghela nafasnya. Mari berkenalan sedikit dengan seluruh anggota keluarga Jean. Dulu, ibu dan ayahnya adalah pasangan paling mesra di dunia menurut Jean. Dengan pekerjaan utama ayahnya menjadi seorang anggota polisi, dan ibunya yang setia menjadi ibu rumah tangga. Mereka hidup dengan penuh kebahagiaan. Sebelum sesuatu seperti menghantam lingkup bahagia keluarganya. 

Semua itu berawal satu tahun yang lalu. Tepat setelah Marcel lulus dari sekolah menengah atas. Saat itu Jean masih menduduki kelas satu. Jean tak begitu ingat bagaimana awal mula keluarganya menjadi layaknya kotak kosong yang hanya terdapat rasa sepi dan dingin. Yang pasti, ia ingat betul bagaimana ketika sang ayah menyimpan kebahagiaan lain, kebahagiaan yang berasal dari wanita lain selain ibunya. Ketika bukan hanya ia dan Marcel yang merasa dikhianati oleh sang ayah, Jean mengingat sesuatu. Ia paham betul bagaimana ibunya tidak terima, namun hanya dapat terdiam. Dan setelah itu sang ibu memilih untuk sering pergi dari rumah, entah untuk apa. Namun Jean yakin jika ibu mereka ingin mencari ketenangannya sendiri. 

Kemudian disitulah segalanya dimulai. Marcel tidak berniat mencari pekerjaan ataupun melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ia seolah ingin menghukum ayahnya dengan menghabiskan uang ayah untuk sekedar mampir ke club, tentu untuk minum dan bermain wanita. Tidak peduli tentang hubungan gelap yang masih ayahnya jalani sampai saat ini ataupun ibunya yang jarang pulang. Jean dan Marcel memang sakit hati, namun keduanya memiliki cara pelampiasan yang berbeda. Ketika Marcel memiliki banyak teman dan tempat untuknya menghibur diri, tidak dengan Jean. Gadis itu hanyalah tetap pada kebiasaan awalnya. Diam. Bahkan saat pembullyan yang dialami terhadapnya semakin membuatnya tertekan. 

Tapi setidaknya ia memiliki Marcel, yang selalu ada untuknya meskipun setiap kali mereka bertemu, ia dapat mencium aroma nafas kakaknya yang bau alcohol. Tak apa, bukankah tugasnya hanyalah membuat dirinya berhenti?

“Kak, gue selalu kesepian.” Ujar Jean

“Lalu? Apa ada yang bisa gue lakuin biar lu nggak kesepian lagi?”

“Iya. Gue mau lo ada buat gue setelah gue bangun tidur, pulang sekolah, dan sebelum gue tidur lagi. Bisa?” lantas Marcel mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Jean.

“Itu artinya lu mau gue nggak pergi ke club lagi, kan?”

Gotcha. Itu yang Jean mau.

Jean lalu mengangguk.

“Maaf, Je. Kalau buat yang itu gue nggak bisa.”

Dan Jean merasa kembali gagal setelah ribuan kali merayu Marcel,

Note : buat para readers, maaf ya untuk chapter pertamanya harus sepanjang ini huhu :((
Dan karena aku ini newbie, sebelumnya aku minta maaf kalau kedepannya book ini gak sesuai ekspektasi kalian. But, terima kasih udah mau membaca dan ngasih voment❤️

𝙼𝚢 𝙿𝚛𝚎𝚌𝚒𝚘𝚞𝚜 𝙱𝚛𝚘𝚝𝚑𝚎𝚛 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang