Bab 04

3.5K 322 51
                                    

Ruangan itu terasa seperti ruang tahanan yang akan menjadi saksi tembak mati seseorang karena kasus mutilasi. Terlebih saat menatap pria yang tengah duduk di singgasananya dengan raut datar seperti pembunuh berdarah dingin yang akan mencincang siapa saja yang berpapasan dengannya.

"Kau sudah menemukan pelacur gila itu?" Pertanyaan tanpa minat itu sekonyong-konyong masuk ke dalam kedua indera pendengaran Peter kala ia baru saja menghela langkah memasuki ruangan dengan nuansa jumat kliwon. Tidak langsung menjawab, Peter menunduk hormat dengan bibir yang terkunci rapat.

Gelagat orang kepercayaannya membuat Jimin mengangguk skeptis ia menyalakan pemantik ke arah lintingan rokok berisi narkoba. Sebelum menghisapnya kuat-kuat dan menghembuskan asapnya dengan tenang.

Suasana hening di antara mereka terasa pekat menyelimuti hingga membuat Peter seperti berada di dunia lain. Ia lebih suka menghadapi Tuannya saat sisi tergelap pria itu muncul. Dibandingkan suasana hening yang seperti mencekik dirinya saat ini. Atensi Peter yang tadinya menatap ke lantai marmer yang ia pijak kini mendongak menatap Tuannya yang menyeringai dan terus menghisap kuat rokok untuk memenuhi paru-parunya.

Terlihat nampak tenang. Sangat berbeda dengan tingkah laku Tuan Jimin saat kepulangannya ke mansion ini yang nyaris membuat para maid pontang-panting ketakutan.

Pagi tadi ia dikejutkan oleh Tuan Jimin yang melangkah penuh amarah dengan pakaian yang terdapat bercak darah kering memasuki kediamannya. Hal itu bukan kali pertama; ia bahkan terlalu sering melihat Tuannya seperti beruang terluka yang harus dijauhi radius kilometer.

Terlebih saat menatap para bodyguard yang penuh dengan luka lebam dan terus meringis dengan hidung yang terus bercucuran darah. Persis seperti budak yang mendapatkan siksaan saat kerja rodi.

Jimin meraih beberapa berkas penting yang tergeletak di atas mejanya. Setelah itu memilah mana yang ingin ia tanda tangani terlebih dahulu, "Tidak ingin menjawab pertanyaanku, Peter?" tanyanya dengan intonasi rendah. Namun, Peter dapat mendengar dengan jelas.

"Maaf Tuan kami belum bisa menemukannya," ujarnya dengan pandangan menunduk, seolah lantai marmer itu lebih menarik dibandingkan eksistensi tubuh tegap Jimin. Mungkin ia harus merelakan wajahnya penuh dengan luka lebam sama seperti para bodyguard di bawah sana.

"Aku tahu," jawabnya tenang.

Peter kembali mengangkat wajahnya. Atensinya tertuju ke arah Tuan Jimin yang terlihat tenangㅡsangat berbeda dengan apa yang ia bayangkanㅡmenghisap rokoknya seraya menandatangani berkas-berkas yang mungkin terlihat membosankan.

Jimin menghentikan kegiatannya, "Apa lagi yang mau kau tanyakan kepadaku?"

Peter menghembuskan napasnya ia lupa bahwa Tuannya dapat mengetahui gelagatnya. Oh, mungkin gelagat semua orang. Sejemang, ia teringat mayat wanita yang dibawa oleh beberapa bodyguard itu. "Ini tentang mayatㅡ" Jimin memotong ucapan Peter. "Kau tidak perlu mengambil organ-organ yang mungkin sudah membusuk itu. Berikan saja kepada jagoan-jagoanku, mungkin mereka tengah kelaparan sekarang," ujarnya dengan intonasi datar setelah melanjutkan kembali kegiatannya.

Peter mengangguk patuh seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Karena ia mengetahui dengan sangat jelas bahwa jagoan-jagoan yang dimaksud Tuannya adalah serigala kesayangannya. Ia meringis tatkala membayangkan mayat malang itu yang nantinya akan dicabik-cabik dan menjadi bahan rebutan oleh para serigala.

Mengingat sesuatu yang harus dibicarakan dengan Jimin membuat Peter kembali bersuara, "Tuan, mengenai kerja sama dengan perusahaan Anderson. Mereka menolak kerja sama dengan perusahaan kita." Sepersekian detik Jimin menghentikan aktivitasnya iris coklat pekat itu memandang tajam ke arah Peter. Raut muka yang tadinya tenang tergantikan dengan rahang mengeras.

The Darkest Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang