🍋4💡

54 6 0
                                    

"Kau tak akan percaya ini Ryan!" Aku meloncat-loncat di atas kasur mengulang aksi yang sebetulnya sudah ku lakukan sekitar dua jam yang lalu.

Ryan hanya mengeryitkan dahi sambil memainkan rubiknya. Aku menatapnya gemas.

"AKU DITERIMA DI CALIFORNIA STATE UNIVERSITY!" Aku berteriak tepat di telinganya.

"Aww telingaku!! Eve! Kau membuatku tuli di usia muda!" Ryan balas meneriakiku.

Aku hanya membalasnya dengan cengiran tanpa dosa.

Ryan meletakkan rubiknya dan menghela nafas.

"Kau tidak bahagia untukku?" Tanyaku merubah nada bicaraku antara sedih, bingung dan kecewa melihat respon sahabatku.

"Aku bahagia untukmu Eve, tapi apa kau mau meninggalkan Ibumu sendirian di sini?"

Perkataan Ryan membuatku diam seribu bahasa. Salah satu tujuanku untuk melanjutkan pendidikan di luar Texas adalah untuk menghindari Mom. Aku tidak membencinya. Sungguh. Aku hanya membenci suasana dingin antara aku dan Mom. Sejak Dad pergi, aku sudah tidak menemukan Mom yang dulu. Keluarga kecil kami yang bahagia. Dad yang selalu mengajakku melakukan camping kecil di pinggir hutan. Aku merindukan semuanya.

"A-aku.. tidak tau." Aku tertunduk. Ini semakin rumit sekarang. Tapi aku juga tak bisa membatalkan kesempatan emas ini.

"Aku tau kau tidak bisa memutuskan apa-apa selain mengikuti alur yang sudah kau buat Eve, tapi cobalah mendekati Ibumu," ujar Ryan bernada serius.

"Apa maksudmu dengan mendekati Mom? Aku sudah berusaha untuk mendekatinya sejak dulu tapi aku sudah menyerah melihat sikapnya yang seperti es, aku sangat lelah dengan semuanya." Aku berusaha menahan emosiku. Ternyata ide buruk mengundang Ryan untuk memberitahunya berita bahagia ini.

"Aku minta maaf mencampuri urusanmu dengan ibumu Eve, tapi aku tidak suka melihatmu terus-terusan bermusuhan dengan Ibumu sendiri."

"Bisakah kita membahas ini nanti saja?" Aku mencoba bernegosiasi agar Ryan tidak membahas hal yang lebih rumit dari menyelesaiakan rubiknya. Kepalaku sudah pusing memikirkan segala sesuatu tentang Mom. Tentang keluargaku.

Ryan menghela nafas. "Kau tau apa yang terbaik untukmu Eve."

"Dan sejak kapan kau menjadi berlagak bijak seperti ini, Mr. Henderson?"

Ryan mendengus kesal dan fokus pada rubiknya kembali. Aku melemparinya dengan bantal yang ku pegang sampai rubik yang ia pegang terjatuh.

"Damn Evelyn!" Serunya menatapku sinis. Aku mengangkat bahu tak perduli. Aku tidak mengundangnya ke rumahku untuk bermain rubik lagipula dia bisa bermain di rumahnya yang sebesar istana. Bukan di kamar minimalis--tapi cantik-- milikku.

"Bagaimana denganmu? Apa kau di terima di Texas Unversity?" Tanyaku.

Dia terlihat berpikir. Untuk apa dia berpikir?

"Belum ada pemberitahuan." Aku menatapnya jengah.

"Ah, iya, bagaimana pertemuanmu dengan penguntitmu?" Aku menatap Ryan tak percaya.

"Oh, ayolah.. aku malas membahas itu." Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang dan memilih menatap langit-langit.

"Sepertinya dia benar-benar menyukaimu, lihat saja, dia bahkan masih mengingatmu sampai sekarang terlepas dari banya gadis yang temui."

Aku menatap Ryan frustasi.

"Astaga Ry, please.." Ryan hanya mengangkat bahu acuh.

"Aku tidak yakin kau akan tetap membencinya." Aku menatap Ryan seperti melototi rumus fisika.

Catch Me Back (Zach Herron) •Why don't we•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang