Bagian 4

41 9 15
                                    

  "Apakah dengan sebuah kekerasan dapat membuat anak menjadi lebih baik, atau bahkan sebaliknya?"
~Althea Retno Ayu.

Thea tersenyum manis menatap punggung Bagas yang sudah jauh diujung jalan sana, lalu dia menangkupkan kedua tangan mungilnya dipipi kaya kepiting merah merona. Tanpa ia sadari ada dua bola mata yang menatap dirinya dengan tajam dan sangat terlihat diraut wajahnya yang menunjukan kemarahan.

Dia berjalan ke arah pintu rumahnya dan ia terperanjat kaget saat pintu itu terbuka lebar sudah ada orang-orang yang menanti kehadirannya sejak tadi, awalnya terkejut kini Thea memasang wajah santainya dan bersikap biasa saja tanpa merasa bersalah.

"Assalamu'alaikum om--" putusnya sambil menatap orang itu datar.

"Dari mana kamu jam segini baru pulang?" tanya orang itu dingin.

"..."

"Punya mulut kan? jawab Althea!" bentaknya dengan kasar.

"Hah?tawuran lagi kan?dasar anak tak berguna, liat adikmu dia selalu memenangkan perlombaan dan menjadi kebanggaan sekolah sedangkan kamu?kamu hanya menyusahkan hidup saya saja." caci pria separuh baya itu sambil menatap gadis berkaca mata dan rambut hitamnya terurai.

"Dia bukan adikku ayah." Sergah Thea membuat ayahnya naik pitam.

Plak...Plak!!

"Sebenarnya anak ayah itu Thea apa dia sih?" tanya Thea menunjuk gadis yang sedang menunduk itu.

"Terus kemana ayah dan bunda Thea? Upss mereka berdua sudah mati." lanjut Thea sambil tertawa hambar.

"Dasar anak gila." cerca pria yang Thea sebut ayah itu dengan emosi menggebu-gebu.

Plak..plak!!

"Itu buat kamu yang durhaka pada orang tua kamu sendiri, tak sepantasnya kamu bicara seperti itu." menampar pipi mulus Thea tanpa rasa ragu.

"Jika durhaka itu sebutan untuk anak yang membuat hati orang tuanya terluka, lalu sebutan apa yang pantas untuk orang tua yang melukai perasaan dan menghancurkan masa depan buah hatinya yang tak bersalah?"

Tak bisa lagi Thea menahan cairan bening dipeluk matanya yang ingin keluar, ia memejamkan matanya lalu membiarkan cairan itu berjatuhan membasahi pipi yang merah lebam itu, dengan penuh keberanian Thea berteriak dan menanyakan ibu kandungnya namun apa?lagi-lagi dia yang menjadi sasaran emosi ayahnya.

"Ayah jawab Thea, dimana bunda yah? dimana orang yang dulu melahirkan Thea ke dunia ini? Ayah jawab Thea ayah!" teriak thea sambil meraung-raung, hatinya sesak sungguh sesak.

"AYAH BUNDA DIMANA AYAH?"

"THEA INGIN BERTEMU BUNDA AYAH."

  "APA SALAH THEA AYAH? APA?JAWAB THEA!!"

Bentakan Thea membuat sang ayah emosinya memuncak dan tanpa aba-aba dia mendorong tubuh mungil Thea dengan kasar membuat tubuh itu bertabrakan dengan tembok. Semua orang disana berhisteris melihat Thea diperlakukan tidak baik oleh ayahnya sendiri. Dinda terus menahan emosi suaminya itu namun nihil dia malah ikut terluka.

"Bundamu itu sudah mati Thea MATI!" dengan penuh penekanan dan mendorong kasar.

"Engga bunda masih hidup ayah, bunda ada ko Thea yakin." dengan wajah yang berantakan ia percaya bahwa bundanya masih ada didunia ini.

"Saya bilang mati yah mati!" seru Ahmad sang ayah hendak menamparnya.

"Mas sudah kenapa kamu melakukan kekerasan seperti ini!" teriak Dinda sambil menangis dan mendekat ke arah suaminya.

"Maaf saya tidak butuh anda bela." sinis Thea sambil menatap mereka tak suka.

"Lihat Dinda kenapa kamu belain anak yang bodoh ini, bahkan dia bersikap tidak baik terhadap kamu, anak seperti dia itu harus diberi pelajaran ayo!!" Ahmad menarik lengan Thea dengan kasar ke arah toilet.

"Ini buat anak yang tak tahu diri." teriaknya sambil memasukan wajah Thea ke bak air.

"Ayy-yah." lirih Thea dengan nafas tersengal-sengal.

"MAS hentikan!jangan gila." Dinda menarik tubuh Thea yang sudah lemah.

"Ini pantas dia dapatkan Dinda." tegasnya menghempaskan tangan Dinda dari tubuh Thea.

"Saya tak pernah ridho kau siksa cucu saya." Oma bersuara dengan bergetar dan memeluk tubuh Thea yang sedikit basah.

"Aku benci ayah!" teriak Aurora berlarian pergi meninggalkan mereka.

"Sini kamu, jangan keliaran!"

Lagi dan lagi tangan lembut thea ditariknya dengan kasar menuju pintu berwarna putih kamarnya tanpa rasa kasihan Ahmad mendorongnya lagi tubuh Thea lalu menguncinya.

"Ayyahh." lirih Thea lemah.

Thea bersadar dipintu kamarnya sambil memeluk kakinya, menangis tanpa suara dan terasa perih dibagian pipi kanannya. Ditambah kepalanya terasa pusing sangat berat, lalu muncul darah dari hidungnya membuat tubuhnya bergetar hebat dengan cepat Thea berjalan tertatih-tatih mengambil sebungkus tisu dan menahan darah itu keluar.

"Bunda Thea sakit Bun." gumamnya menangis sambil menampilkan senyuman manisnya.

"Thea rindu bunda, Thea ingin dipeluk bunda." teriak batinnya sambil menggigit bibir bawahnya.

"Thea takut Bun, Thea takut ayah." menangis tersedu-sedu.

Dia berjalan menuju meja riasnya lalu menatap dirinya yang berantakan dipantulkan cermin besar itu sambil terkekeh kecil dan menghapus kasar air mata di pipinya.

"Thea gadis kuat kuat kan seperti Bunda? Thea ga bakal nangis lagi Bun, Thea akan tetap tersenyum." Menatap pantulan cermin itu dengan nanar.

                             ***

Disisi lain seorang wanita paruh baya  sedang membawa secangkir teh hangat untuk sang buah hati tercintanya, namun tak sengaja kakinya menabrak ujung kursi yang mengakibatkan gelas itu pecah berserakan ke lantai dan tangannya bergetar karena terkena air teh yang masih panas itu.

Prang!!

"Ibu..." teriak histeris seorang pria remaja menghampiri ibunya dengan rasa khawatir.

"Engga sayang, tapi ibu gak hati-hati aja." jawabnya berusah tersenyum meskipun hatinya merasa tak enak.

"Beneran ibu ga kenapa-napa, tangan ibu merah pasti sakit yah aku bawa air dingin dulu Bu." cemasnya sambil berlarian ke arah dapur mencari sebuah wadah berisi air dingin.

"Ibu ga kenapa-napa sayang." lembutnya.

"Engga Bu itu pasti sakit." menarik telapak tangannya ke arah wadah berisi air dingin itu sambil meniupnya.

"Lain kali ibu hati-hati yah, aku ga mau ibu kenapa-napa!" peringatannya sambil tersenyum manis.

"Ibu cuma rindu dia sayang." lirihnya sambil menunduk.

"Iyah Bu, nanti aku ajak kesini biar ibu seneng yah."

"Terimakasih sayang, ibu sayang kamu." memeluk tubuh pria dihadapannya itu sambil menangis.

"Aku juga sayang ibu, jangan tinggalin aku yah Bu." menatap lembut wajanya sang ibu.

"Maafkan aku tuhan, aku sangat berdosa menelantarkan anak kandungku sendiri." batinnya.

"Ibu jangan nangis lagi yah, ibu harus senyum biar tambah cantik." kata pria itu sambil menarik sudut kedua ujung bibirnya.

"Kamu bisa aja, anak siapa sih?" tanya ibunya terkekeh sambil mencubit pipi buah hatinya itu.

"Anak dari seorang ibu yang paling cantik didunia ini bahkan tak ada satupun yang bisa mengalahkannya."

Gimana ada yang penasaran ga sama part ini? Ga ada yah? Ya udah ga papa aku hanya ingin mengucapakan terimakasih banyak pada kalian semua yang sudah berkenan mampir ke cerita aku ini, kalau kalian suka jangan lupa tinggalkan jejak yah vote & comment sebanyak-banyaknya😁🤗.

About AltheaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang