01. Pertemuan

66 3 0
                                    

⚠️INI HANYA FIKSI. TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN DUNIANYA ⚠️

.

"Dan pada akhirnya aku tetap jatuh padanya."

——✨forever✨——

Kicauan burung terdengar di gendang telinganya. Suarnya sangat nyaring, ditambah lagi bising kendaraan yang terdengar seperti pekikan neraka. Namun bumi memang seperti itu, bukan? Bahkan mungkin bumi lebih mengerikan dari neraka. Di bumi iblis lebih merajarela di setiap sudut kota, membuat nafas terasa sesak karena tingkah kejinya.

Rasanya ingin mati, tapi enggan ia lakukkan karena masih ada rasa takut dengan yang di atas.

Nia Damira adalah namanya. Nama yang indah, orangnya pun sama indahnya. Tapi, takdirnya tak seindah namanya. Dunia penuh kekejaman selalu menyakitinya setiap hari, bahkan dari ia terlahir sudah ia rasakan. Mau mati rasanya, tapi sekali lagi kembali ke kalimat sebelumnya.

Dia masih takut dengan Tuhan.

"Permisi, mau pesan apa?"

Suara itu membuatnya tersadar, gadis pemilik surai coklat itu menoleh ke arah sang pelayan. Pelayan wanita itu kaget setengah mati ketika matanya menatap manik kelabu milik Nia. Untung saja Nia sudah cukup biasa dengan respon seperti itu setiap orang melihat mata kelabunya yang hampa dan tak memiliki kehidupan.

"Saya mau pesan matcha satu saja."

"Ah, baik. Mohon tunggu sebentar." Pelayan tersebut mengundur diri dengan gerakan cepat. Dia takut.

Nia membuang nafas panjang, menatap kembali ke luar jendela yang menampakkan jalan raya yang ramai. Senyuman tipis terukir di wajahnya, sebuah kepingan ingatan di masa lalu berputar kembali. Perbuatan masa lalu yang membuat dirinya menjadi hancur seperti sekarang harus ditertawakan sebesar mungkin.

Dirinya yang bodoh.

Dirinya yang liar.

Dan dirinya yang melepas seorang yang berharga dengan percuma.

Semua itu harus ditertawakan, kesalahan bodoh yang membuat dirinya yang sekarang menjadi seperti sampah. Harusnya dia cocok di lahat kubur, tapi Tuhan masih saja memperpanjang umurnya.

"Dami?"

Deg

Panggilan itu....

Nia segera menoleh lantaran namanya disebut dengan cukup nyaring.

"Ternyata benar, kamu Nia Damira."

Nia membisu, entah mengapa dia melupakan segala kata yang ada di otaknya. Seperti seorang bayi yang tak mengerti apa itu bahasa, begitulah ia sekarang.

"Kalian saling kenal?" Ucap seorang gadis sedikit lebih pendek dari laki-laki yang memanggilnya.

Nia memandang lamat gadis yang ada di samping laki-laki itu, sampai matanya jatuh ke tangan gadis itu yang sedang mengandeng lengan sang lelaki.

"Iya, dia teman ku saat SMA dulu."

"Oh. Tapi kak, matanya...."

Gadis itu menunjuk ke arah mata kanan Nia dengan ragu. Dia takut pastinya dengan warna mata gadis berambut sedada itu.

"Katanya kamu mau ke toko seberang? Pergi sana. Aku tunggu di sini. Sekalian bertukar sapa dengan teman ku." Ujar Laki-laki itu, tentunya untuk mengalihkan pembicaraan.

"Oh, iya. Aku pergi dulu ya." Gadis itu pergi.

Setelah gadis manis itu pergi, barulah laki-laki pemilik nama lengkap Sahel Andrian itu menghuni kuris seberang Nia.

Nia makin gugup. Ia masih tak percaya bisa bertemu lagi dengan laki-laki pemilik senyuman semanis madu itu.

"Sudah lama tidak bertemu, Dami." Ucap Sahel. Tersenyum lembut.

Sudah lama tak mendengar panggilan itu. Hanya Sahel seorang yang memanggilnya begitu.

"Sudah berapa lama kita tidak bertemu ya?" Sahel berpikir, menerawang ke atap seakan-akan ada jawaban.

"Tiga tahun." Jawab Nia tanpa enggan menatap lawan.

"Benar, cukup lama juga."

Keheningan pun tercipta, rasa canggung makin terasa lantaran hubungan mereka sudah cukup rusak. Malah hubungan mereka sudah tidak bisa disebut teman lagi.

"Sepertinya kamu tidak pernah lagi mengunakan kontak lensa."

Nia melirik ke arah Sahel, tak memindahkan arah kepalanya yang menuju luar jendela. Seakan rekaman video yang diputar ulang, kepingan menyakit itu kembali melintas di kepala Nia. Kejadian dimana ia kehilangan setengah penglihatannya, dan kejadian yang membuat dirinya seperti orang gila pada saat itu.

"Permisi. Ini pesanannya." Si pelayan tadi kembali, menyajikan minuman berwarna hijau itu kemudian berlalu pergi.

"Dari dulu minuman mu tidak berubah."

Nia diam. Kenapa Sahel masih saja mengingat hal-hal mengenai dirinya setelah kejadian masalah lalu itu? Dia sudah sangat melukainya, secara mental atau fisik. Namun, Sahel masih ingat tentang kesukaannya, bahkan ia masih mau menyapanya lagi.

"Dami, dari tadi kamu tidak banyak bicara. Apa kamu tidak merindukan ku?"

Satu pertanyaan yang tidak bisa Nia jawab. Ia tak tahu harus bagaimana mengungkapkan perasaannya sekarang.

"Gak, untuk apa gue rindu lo?"

Bodoh.

Sahel tersenyum pahit. "Ha... begitu ya?" Katanya.

Sahel merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan ponsel kesayangannya itu. "Dami, bisa aku minta nomor mu? Selama ini aku tidak bisa menghubungi mu karena aku menganti nomor dan ponsel."

Nia menatap ponsel itu sebentar, dia ragu memberikannya. Namun akhirnya Nia mengambil ponsel itu, kemudian mengetik nomornya dan mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.

"Nomor mu masih yang lama ya. Aku pikir sudah berubah."

Nia tak menanggapinya, sehingga Sahel hanya bisa tersenyum memaksa. Apa boleh buat? Nia tetap lah Nia yang ia kenal di masa lalu yang tetap dingin dengannya.

"Kak Sahel!" suara nyaring gadis manis itu terdengar lagi. Dia sudah kembali.

"Oh, sudah beli kuenya?"

"Sudah." Gadis itu menunjukkan bawaannya.

"Kalau begitu, kita pulang."

"Nanti! Aku mau pesan minuman dulu untuk bawa pulang. Soalnya minuman di sini enak! Tunggu ya." Gadis itu berlalu ke kasir.

Sahel menggeleng, heran. Ia pun akhirnya menunggu lagi. Disisi itu, Nia masih diam memainkan minumnya yang tak berkurang sama sekali. Suasana saat ini benar-benar tidak mengenakkan.

"Kak Sahel, ayoo." Kata gadis tadi yang memanggil dari kasir.

Sahel bangkit berdiri, namun pergerakan itu tidak menarik perhatian Nia untuk sekedar menatap Sahel.

"Aku pergi." Ucap Sahel.

Nia masih tak mau melirik Sahel, sehingga lagi-lagi Sahel hanya bisa memasang senyuman tipis.

"Dami, I always stay with you."

Sahel pun pergi dan pada saat itu barulah Nia menatap hampa punggung itu pergi. Punggung tegap yang masih sama seperti beberapa tahun lalu, dimana selalu menahan tubuhnya yang selalu jatuh ke jurang yang gelap.

to be continued

New story! Oh iya, untuk visual karakter kalian bebas mau membayangkan visual siapa saja. 

Jangan lupa tinggalkan Vote dan Komen agar aku makin semangat nulisnya.

Terima kasih sudah mampir, see you ❤️

ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang