"Ini sudah terlalu menjelaskan segalanya. Sebaiknya, tutup mulutmu."
Aku terdiam. Tidak mengindahkan. Pertanyaan itu membantai akalku. Mereka cerdas. Aku melupakan itu. 'Salah seorang dari kami akan mati disini. Untuk tanah ini. Nyatanya ini takdir kami kan? Bukan, ini takdirku kan?' Pemuda itu telah menyadarinya.
"Mungkin kau benar." Aku berucap. Ia berguman. "Keputusan Dewan telah menyalahi Ertrica. Dan mungkin--." Mungkin aku terlalu bodoh untuk mereka yang bodoh. Mereka hanya manusia – yang berakal tinggi. Aku mengakui mereka.
Aku mengehela nafas panjang. Berjalan berbalik. Meninggalkannya. "Tidurlah. Hari yang panjang. Aku lelah." Aku tidak peduli, umpatan macam apa yang akan terlontarkan dari bibirnya. Telingaku sudah terlalu banyak mendengar perkataan bijak, pertanyaan yang memutuskan akalku, sampai pernyataan menguras emosi. Muak. Ahh, aku rindu dengan pedangku.
Selangkah lagi, kedua kakiku berpijak penuh pada anak tangga. Menetapkan hati untuk meninggalkan Zean yang berkutat dengan pikirannya sendiri. Mungkin juga dengan emosinya. Melangkah kekamar, kuniati untuk bergelung di balik selimut. Walau kuyakin otakku tidak akan tinggal diam. Berkelana entah kemana. Setidaknya dapat mengistirahatkan akal sehatku sebentar. Pertempuran batin itu melelahkan.
"Kau lari lagi."
Langkahku terhenti oleh perkataan yang sekonyong-konyong dilontarkannya begitu saja.
Lari? Aku memutar otak. Menyelaraskan pernyataanya dengan isi kepalaku. Diantara banyak hal, Zean suka – sangat suka – mengulang memori. Aku mengorek ingatanku. Cukup lama, aku berhenti.
Ah, dia benar. Aku lari.
Lagi.
Lebih dari yang kuketahui – bahkan mungkin lebih dari yang dirinya sendiri ketahui – Zean tahu. Tidak dapat dipungkiri oleh para Ert, ataupun olehku sendiri, perang bertahun silam akulah yang memicu. Tubuhku, otakku, dan seluruh tindakan yang pernah kuambil telah tersistem untuk melakukan kelalaian – itu yang kusimpulkan. Dan itu sungguh telah menjadi lebih buruk setelah orang yang berbagi rahim denganku tiada.
Ketika itu, aku lari. Tidak menoleh kebelakang. Tidak menatap apa yang ada dihadapanku. Aku lari. Terombang-ambing dan karam sendiri. Persetan dengan akibat perbuatanku. Menghilang dari tahkta Ert, sepenjuru negri mengira sang titisan Dewi tengah bersakit-sakit menumpas bangsa Dark. Mereka tidak salah, aku memang bersakit-sakit. Terseok-seok untuk kabur dari apa yang mampu tertangkap indraku.
Di pelarianku, seseorang menarikku pulang. Ia seorang putera tabib desa. Lebih baik ketimbang ayahnya, kemampuan pemuda itu sungguh mengerikan. Ert menyembuhkan yang tidak tanggung-tanggung. Ia tidak tampan. Cukup tinggi hingga berbicara dengannya mampu membuatku mendongakkan kepala. Ia mempesona dengan caranya sendiri.
Ia lihai pada bidang healing. Menyembuhkan hati juga termasuk sepertinya. Dengan beberapa kata, ia meneguhkan langkahku kepada rumah. Akhirnya, rumah menjadi daftar panjang tentang apa yang kurindukan.
Dua hari kemudian, aku pulang. Sesingkat itu aku memutuskan.
Esoknya, ketika mentari bahkan belum merekah. Ungu masih menghiasi jagad cakrawala, lelaki itu telah meninggalkanku selama yang mampu dilalui waktu. Bangsa Dark tersangkanya. Kursi kosong yang malahan telah menjadi ornamen tak berguna di singgasana Ereth sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan baik oleh mereka.Mempersalahkan pemuda itu dengan kekuatan penyeembuhannya.
Sekali lagi, tumpuan hidupku tiada. Sekali lagi, aku tenggelam dalam keterpurukan. Sekali lagi, aku lari. Aku lari pada segudang jabatan dan menenggelamkan diri dalam lautan strategi. Hidup sebagai pengabdi desingan pedang.
Setidaknya sudah jauh lebih baik. Aku telah merusak sistem kelalaian dalam hidupku. Berputar-putar dalam poros sorakan para infanteri. Berkutat dalam lingkaran para kavaleri. Menyisakan dua jam untuk terlelap setiap malamnya. Itu baik. Sungguh sangat baik bagiku.
Kurasa.
"Waktu berjalan. Apapun yang kau lihat, semuanya telah berubah." Aku harap aku juga begitu.
"Yang kau lihat mungkin sudah berubah. Yang kau rasakan, tidak akan pernah berubah," pita suaranya merendah. Lanjutnya, "Kau lari. Itu kenyataannya sekarang."
Aku membuka mulut. Hendak membalas perkataannya. Seketika juga, mulutku terkatup. Bantahanku lenyap. Aku membenarkan perkataanya. Kelu. Lidahku tidak mampu berkata. Tubuhku membeku. Panas disaat yang bersamaan. Tanganku mencengkram besi tangga.
Jika masih ada air yang tersisa dimataku, aku akan menangis. Ia benar – Zean selalu benar. Aku masih membenci Warrilon sebagaimana aku mengutuk kematian kakakku. Aku sadar langkahku selalu terhasut perkataan orang-orang. Namun selama yang kurasakan, apa yang otakku perintahkan dengan apa yang lubukku katakan tidak pernah sejalan. Berfikir semua hal, seolah tahu segalanya.
Tidak berbalik. Masih dengan satu kaki menginjak anak tangga, satunya lagi menapak lantai kayu. Aku berkata, "Bahkan jika aku mencoba lagi kali ini, tidak ada celah untukku lari. Bahkan jika aku mau, aku tidak bisa." Lanjutku, "Hidup mati mereka ditanganku, seharusnya kau sadar akan hal itu, Zean." Di tanah ini, nyawa orang-orang luar ini utama bagiku. Entah sejak kapan.
Men-titikkan perkataan, Zean tidak menjawab. Aku tidak tahu apa yang rautnya ungkapkan saat ini. Helaan nafasnya terdengar.
"Kau tidak seharusnya membawa beban ini, Ver," Zean berkata. Aku tersenyum masam. Sudah terlanjur, mau bagaimana lagi?
"Tidurlah." Zean melanjutkan perkataanya. Mengusirku. Mendecih pelan, aku menghilangkan diri dari pandangannya.
Waktu buat ini cuma mikir, "Penting kata-katanya bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Overthinking
RandomCerita ini ditulis untuk memenuhi tuntutan otak yang overthingking. Isinya semacam sepiring makanan dengan lauk berbumbu micin seplastik, gula setoples, cabai setampah, dan garam sepuluh kotak yang disajikan dengan segelas beras yang dinanak dengan...