ruang Bethel. Ia sempurna tertunduk. Hampir-hampir bersimpuh jika sebuah kursi di depannya tidak ada untuk menopang tubuhnya. Untuk menopang kedua tangannya yang bertaut. Dan sebagaimana pemuda itu yang diam dalam sembahyang senyapnya, Gadis itu terkaku tegak diantara kedua kakinya. Seolah diculuti sendi-sendinya.
Rika tidak tahu perasaan bisa sebegini mengerikannya. Dan sama sekali tidak paham gadis itu bagaimana cara menggunakannya. Ah sungguh, jerit-jerit tubuhnya menginginkan tubuhnya luruh. Jatuh di kedua lututnya. Lantas mengais-ngais atensi pada sesama makhluk rendahan ini. Sebuah buku yang berulang kali dibacanya, Rika sungguhan mengingat dicantumkan didalam sana : mencintai adalah perilaku terhina bagi seseorang. Mencintai. Mengagumi. Menghamba pada eksistensi yang bukan diriNya. Berulang kali dibacanya benar-benar, dan berulang kali Rika menyangkalnya mati-matian. Masih ditempatkan diriNya dalam puncak penghambaannya. Setidaknya, sewaktu dunia membantingnya dalam kenyataan yang membaurkan emosi dan kerasionalitasan rusak, masih diingat eksistensi yang terlalu mulia Itu. Dan sebagaimana diombang-ambingkan rasa percayanya, Rika mendapati dirinya terlalu mencintai. Rika terlalu mencintai Bapa nya. Dan sang Bapa lebih-lebih lagi mengasihi anaknya. Rika diberikan sebuah bintang dari ribuan yang jatuh ke bumi. Sebuah pemberian. Yang datang dalam masa-masa sukar. Menggenggam dalam waktu yang begitu jahat. Sebuah yang belum pernah diterimanya. Sesuatu yang ia yakini sebagai keberadaan yang begitu jernih maksutnya.
Ditanamkan dalam hatinya semenjak masih dikandung, Tuhan punya maksut terbaik dari hidup kita. Dan Rika sama sekali tidak menyangkalnya, karena kesakitan yang dahulu itu selalu berbuah manis. Entah seperti apa bentuknya. Entah seberapa besar presentasenya membahagiakan hidup itu sendiri, Rika bersyukur pernah mengalami masa-masa itu. Dan ketika disematkannya perasaan ini dalam nadi Gadis itu, Rika sangat ingin tahu apa yang Ia maksutkan atas semua ini.
Dalam suatu novel kondang yang dibelinya dari bazzar bertahun lalu, dengan begitu indah dijelaskannya bagimana kapal melayari perairan. Mengapit semenanjung. Lantas dijaringkan tali-tali pengkekang dari kapal pengangkut itu. Kemudian paragraf keduanya berkata tentang cinta. Katanya, cinta adalah kata sifat. Sementara mencintai adalah kata kerja. Ia butuh tindakan-tindakan nyata untuk mempertahankan keberadaanya. Lantas Rika betulan bertanya mengapa harus ada perasaan semacam ini. Sementara dimatikan keberaniannya. DIbunuh segala usahanya. Suara-suara yang dulu begitu ringan diucapkan bibirnya. Kemana. Rika ingin tahu. Kalaupun ia tidak memiliki kesempatan untuk menyadari segalanya, Rika berharap ada keindahan yang diukir untuk mengakhiri kisah ini. Entah memang sebuah dari ribuan kesakitan lain untuknya menjadi lebih baik, atau sempurna kesalahannya.
Padahal, sudah dalam satu nyawa kami dipertemukan. Dalam se-iya, se-amin. Dan Rika rasa tidak selamanya. Rika berulang kali telah memati rasa. Sudah tidak ada yang disisakan untuk pemuda itu. Namun rasanya sebuah bagian dari konstelasi ingin menautkan pertemuan mereka. Dalam sebuah sapaan yang tidak untuk mereka. Dalam sebuah candaan yang bukan dengan mereka. Dalam sebuah tatapan mata yang bertaut. Ataupun dalam doa – entah baik ataupun buruk yang telah dipanjatkan.
Seperti disiram air panas kulitnya. Meremang, meregang. Kepalanya berseru-seru menyuruh mundur. Kembali kepada tugasnya di luar sana. Tapi, oh. Sungguhan tidak mau kemana-mana hatinya.
Kenapa ya?
Setelah sebuah suara seorang anak berseru dalam kepalanya, Rika terjengat. Menyadari kebas pada kedua tangannya. Bergetar. Mati rasa. Dalam sebuah tarikan nafas panjang, buncang tubuh gadis itu.
Rasanya menyakitkan.
Berbicara soal rasa sakit, Rika sungguh-sungguh sadar ada harapan yang digantungkan pada kedua pundaknya. Tapi lihatlah, meratapi keadaanya dijauhi seorang laki-laki lebih menarik rupanya. Ironis sekali.
Rika menarik pandangan. Menatap pada panggung megah yang pada sisi kanannya, seorang pemain musik duduk. Bersiap mengalunkan sebuah-dua buah lagu. Checksound. Acara akan dimulai satu jam lagi. Sang pianis merenggangkan jemarinya. Menaruh keduanya pada balok hitam-putih, lantas sunyi menyergap seluruh ruangan. Sebuah nada. Sebuah lagi. Mengalun penuh. Dan Rika tahu mengapa Pemuda itu sungguh-sungguh mencintai musik. Entah cinta atau tidak. Namun melihat nyawa yang hidup dalam setiap gerak tangannya, Rika tahu tidak ada yang main-main dari permainan itu.
Rika meluruskan pandangannya lagi demi mendapati sang Pria yang tidak pernah absen dicarinya dalam kerumunan warga kelas.
Lihat betapa komedi Tuhan lebih lucu dibanding segala yang mampu ditertawakan bibirnya. Seperti pada hari-hari yang tidak spesial di sekolah, mata mereka kembali bertautan. Bertemu dalam sebuah tarikan manik kelamnya. Dari satu detik yang didapatkannya, Rika dapat melihat ujung pelupuk sang Pemuda yang tertarik. Alis kelamnya. Dan kekokohan dalam tatapannya. Sebuah garis bibir yang tidak mengabarkan kebahagiaan ataupun kesedihan.
Rika tidak ingin tahu apa yang dipikirkan pemuda itu. Rika ingin lenyap. Karena seluruh tubuhnya kosong. Seolah kulit tak berdaging. Nyawa tanpa keinginan. Dan Rika tidak ingat akan apa yang dirasakannya.
Rika memutus tatapan mata itu spontan. Entah sebuah traumatis yang tertumpuk, entah yang lain. Atau main-main pikirannya sendiri. Dan yang dilakukannya adalah kesalahan. Rika tidak ingin memutus tatapan itu. Tangannya dalam dekapan pemuda itu lebih dari cukup untuk membuat dirinya aman. Dan tinggal dalam setiap kilatan air manik matanya, Rika sangat ingin tahu rasanya. Apakah begitu muluk-muluk atau tidak. Ataukah tidak lebih baik dari yang diharapkannya. Rika ingin tahu.
Gadis itu menarik wajahnya. Menatap lurus kepada pemuda itu.
Sebentar. Rika ingin bertanya. Apakah begitu naif. Aneh. Mengadu dombakah akan kesalahan yang dibuatnya sendiri jika Rika menangis sekarang? Atau, apakah tidak apa-apa? Lantas penjelasan macam apa yang akan sampai di ujung lidah gadis itu. Pengertian macam apa yang akan sampai di akal sehat pemuda itu.
Ah, biar besok Rika lahir lagi ke dunia dengan mengikat telepati di kepalanya. Biar Rika jadi pahlawan kesorean. Mungkin akan diselamatkannya konferensi perang antar bangsa-bangsa nanti. Namun sebelum kehidupannya ini selesai, Rika perlu mengutarakan perasaan yang satu ini. Yang membuatnya tersungkur, tersujud dihadapanNya. Meski lain-lain perkara pelajaran dan masa depan yang banyak ditangisinya dan benar benar menyerahkan atas kehendak Allah, untuk Pemuda satu itu, Rika sama-sama angkat tangannya.
Dan seolah beradu tatapan, yang tidak ada romantis-romantisnya, Pemuda itu memutus sorot manik matanya. Menghela nafas singkat.
Rika menatap tanah-tanah. Menunduk dalam. Apakah Rika pernah membayangkan akan menjalani hubungan seburuk ini? Memang apa yang dibayangkannya waktu itu. Orientasi akan tujuan yang membuatnya lelah. Mengharuskan diri untuk membuang segala harga dan kepercayaan. Rika pikir itu timbal balik yang setimpal demi masa depan yang kelewat indah – yang kelewat diinginkan mereka. Dan sebuah garis kehidupan terlupakan.
Ada proses. Dan Rika telah membuangnya. Ia harap tidak kedepannya. Cukup dengan pemuda ini. Sungguh. Cukup.
17 April 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Overthinking
DiversosCerita ini ditulis untuk memenuhi tuntutan otak yang overthingking. Isinya semacam sepiring makanan dengan lauk berbumbu micin seplastik, gula setoples, cabai setampah, dan garam sepuluh kotak yang disajikan dengan segelas beras yang dinanak dengan...