High Hopes

83 15 11
                                    

10 Maret 2016.

"Apakah kau ada jadwal setelah ini?" suara Joy datang bersamaan dengan aura kesedihannya yang sudah biasa kutangkap.

"Tidak, memang kenapa? Apakah kau sedang berselisih dengan Tonnam lagi?"

Joy selalu seperti itu. Selalu bermasalah dengan orang yang dipilihnya untuk menjadi kekasih pujaan hati. Mereka selalu bertingkah kekanak-kanakan. Percayalah, pada suatu titik mereka pernah hampir putus hanya karena Joy menghapus salah satu game favorit Tonnam yang telah sampai pada level tertinggi karena dianggap telah menggeser Joy sebagai prioritasnya.

Beruntungnya nasib baik selalu mengiringi tiap pilihan yang mereka ambil. Putus-nyambung, mungkin adalah kata yang sempurna untuk menggambarkan mereka berdua. Di sore yang sepoi itu, di kafe yang bisa dijangkau kurang lebih lima menit dengan berjalan kaki dari kantor, kami berbincang-bincang mengenai masalah yang membelenggu di dada.

"Kali ini apa yang Tonnam lakukan padamu?" Aku memulai percakapan.

"Ia terus-menerus mengabaikanku dalam ketidakberdayaanku," ungkap Joy dengan memelas.

"Tak kukira akan sedahsyat ini. Lagipula, siapa yang tau jika dengan mengancam putus ternyata Ia malah mengancam putus balik?" Joy menambahkan.

Aku berusaha memahaminya terlebih dahulu melalui saluran saraf-sarafku yang mengarah langsung pada pengolahan pikiran. Terbesit sepersekian detik setelah ia mengatakan kata terakhirnya itu, lantas membuatku tak dapat menahan gelak tawa yang mendobrak melalui urat-urat rasa malu yang telah bocor.

Pasangan macam apa kalian ini?

Siapa juga yang menyuruhmu untuk menjalin hubungan dengan rekan sekantor? Rekan sedivisi? Gumamku.

"Tak apa. Tak usah terburu-buru. Yang perlu kalian lakukan hanyalah bicara dari hati ke hati, lalu meneruskannya ke dalam komitmen yang telah kalian tali kembali," jawabku, berusaha untuk bijak setelah berusaha sekuat tenaga menahan tawa.

"Hm, memang menyenangkan ya tertawa di atas penderitaan orang lain!" seru Joy dengan merajuk.

"Aku hanya tak habis pikir bagaimana dua orang harus berselisih paham karena masalah yang sebenarnya bisa dilewati dengan menaruh pengertian lebih terhadap satu sama lain. Maksudku, bagaimana mereka bisa dengan mudah melupakan komitmen yang telah mereka bangun selama ini?"

"Kau menyebutku tidak dewasa?!"
Kali ini Joy mulai lagi. Ia selalu terpelatuk saat kami membicarakan masalah pribadi. Di situasi saat ini sangat penting untuk tidak memperkeruh keadaan dengan terpancing untuk membalas amarah dengan amarah yang lebih dahsyat lagi.

"Baik. Aku tau aku salah. Maafkan aku dan segera kita akan menemukan jalan keluar atas masalah ini, oke?"

Walaupun begitu, Joy dan Aku memiliki kesamaan; jatuh cinta pada rekan sekantor. Pun denganku yang telah melampaui batas untuk diduakan oleh atasan sekalipun. Jadi, aku dapat merasakan betul apa yang ia rasakan kini. Namun yang perlu kalian tau, apakah rasanya menyenangkan? O, tentu saja!

Yang membahagiakan dari menjalin cinta dengan rekan sekantor saat usia perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda akan kematangan nalarnya adalah bagaimana kita bisa melihat pujaan hati setiap hari, mengagumi betapa senyumnya sungguh menggemaskan dan betapa pintarnya ia menyelesaikan berbagai problematika pekerjaan yang silih berganti melampaui hari.

Tapi di lain waktu, aku menyadari betul bahwa harus menjaga sikap baik-baik; tidak tertawa berlebihan saat sedang bergosip dengan teman-teman perempuan, tetap melek dan memperhatikan meeting yang membosankan walau rasanya ingin tidur diam-diam, hingga merasa malu luar biasa saat terskors datang terlambat atau deadline yang terlampau molor. Demi apa merasakan itu? Ya, demi si kekasih pujaan hati!

One Day, Another DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang