1. Arrived

34 6 0
                                    


Pukul 15.00 WIB, sebuah pesawat pernerbangan dari Jepang akhirnya mendarat dengan selamat di suatu lintasan pada bandara internasional kota ini. Para penumpang saling berdesakkan untuk mengambil barang mereka di kabin— hingga kerusuhan itu membuat para pramugari turun tangan.

Aditya berdecak pelan dan memasang kembali earphonenya. Ia heran dengan orang orang yang berdesakkan itu, seolah takut pesawat akan kembali terbang dalam 30 detik.

Dirasa jumlah orang orang itu mulai berkurang, Aditya pun ikut berdiri dari kursinya untuk mengambil barang dari kabin. Ia menarik sebuah tas dan menggendongnya di pundak.

Baru saja ingin turun, perhatiannya tersita kepada seorang perempuan yang tak jauh darinya. Perempuan itu terlihat menloncat loncat, berusaha meraih tasnya yang ada di dalam kabin sembari menggerutu.

Aditya mendengus pelan sambil tersenyum miring. Hanya tersisa mereka berdua sebagai penumpang di pesawat ini. Tidak ada seorang pun yang berniat membantu perempuan itu, begitu juga para pramugari yang seolah membutakan mata mereka.

Aditya mendekatinya dan menarik keluar tas terakhir dalam kabin itu— yang tentunya milik sang gadis.

"T-terimakasih," cicitnya pelan yang hanya dibalas dengan dehaman oleh Aditya.

Baru saja ingin kembali keluar, tangan Aditya ditahan oleh perempuan itu.

"Gue bakal traktir lu segelas kopi," ujarnya yang membuat Aditya menoleh ke belakang.

"Cuma tas, dan lu bakal ganti dengan segelas kopi ?" Aditya akhirnya membuka suara.

Ia membuat suaranya terdengar mengitimidasi, dengan harapan kalau perempuan itu akan takut dan tidak jadi menraktirnya.

Namun ia salah. Perempuan itu justru tersenyum manis sambil mengangguk antusias.

"Gue nggak keberatan. Lagipula cuma lu yang berniat ngebantu."

Aditya hanya terdiam memandang gadis itu, hingga sang lawan bicara menggoyangkan tangan mereka yang masih bertautan.

"Kok malah bengong ? Ayo, turun dulu. Kasian pramugarinya nungguin," ajak perempuan itu sambil menarik tangan si lelaki.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat pengambilan bagasi.

Mungkin bukan beriringan, melainkan tangan Aditya yang tak kunjung di lepas namun terus ditarik seperti pengait gerbong kereta.

Tak ada pembicaraan, hanya seorang lelaki yang terus ditarik oleh seorang perempuan hingga merasa lelah.

"Nama gue Aditya," ujarnya memecah keheningan di antara mereka.

Sang lawan bicara menoleh, "Nama gue Arise Betharia, tapi biasa dipanggil Arise," balasnya.

Aditya menaikkan satu alis, "Arise ? Boleh nggak kalo gue panggil Ari aja ?" tanyanya yang membuat langkah Arise terhenti.

"Cuma ada 2 orang yang boleh manggil gue Ari, yaitu orangtua gue sendiri," jawab Arise mempertegas.

Namun itu tidak membuat Aditya menyerah, bahkan semakin terdorong untuk menggoda perempuan itu.

"Tapi gue enaknya manggil Ari, gimana dong ?" tanyanya sambil tersenyum jahil.

Arise menggeleng sambil kembali berjalan. "Nggak boleh. Cuma orang berharga yang boleh manggil gue Ari."

Langkah mereka kembali terhenti. Kali ini bukan Arise, namun Aditya yang mendadak terdiam sambil menahan tangan gadis itu.

"Kalo gitu, gue akan membuat lu menganggap gue sebagai orang berharga," ujarnya dengan yakin, yang mana malah membuat Arise bergidik ngeri.

You're My Serendipity • Na YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang