Ara berdecak kala pintu ruangan suaminya yang baru saja dibuka olehnya berhasil terbuka. Ia lalu menghampiri lelaki itu yang sepertinya belum sadar akan kehadirannya disana.
Selalu seperti ini. Dari dulu. Selalu lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan makan atau melakukan hal pribadi bagi dirinya sendiri.
"Yaampun Mas, aku telepon puluhan kali nggak diangkat, aku kira kamu masih ada operasi makanya aku langsung kesini," cerocos Ara pada sang suami.
Lelaki itu mendongak kaget melihat istrinya yang sudah berada dihadapannya sambil berkacak pinggang.
Ia menepuk jidatnya sendiri mengingat ponsel miliknya yang belum ia keluarkan sama sekali dari dalam ransel besar disebelahnya. Pantas saja dering telfon dari istrinya itu tidak terdengar sama sekali.
"Maaf, handphone-nya masih ada di ransel," sang suami meringis merutuki kesalahannya, bersiap karena sebentar lagi pasti wanita itu akan menceramahinya habis-habisan, seperti hari-hari biasanya.
Ara mendengus panjang kemudian diambilnya beberapa kotak makan yang dibawanya dari rumah tadi.
Bagas, lelaki itu, lelaki yang sudah menyandang sebagai suami Ara menyernyit heran.
Tumben, biasanya langsung nge-gas, ngomel sana ngomel sini.
"Aku bawakan makan siang kesini karena kotak makan kamu tadi pagi ketinggalan,"
Lagi-lagi Bagas kembali merutuki kesalahannya. Memang akhir-akhir ini jadwal kerjanya padat sekali, ditambah lusa ia akan pergi seminar kedokteran di Singapura.
Pasti kelupaan lagi tuh, batin Ara melirik Bagas dengan ekor matanya.
"Buruan dimakan, nanti keburu nggak enak makanannya," ujar Ara yang masih menata beberapa kotak makan di meja.
Ara yang sadar diperhatikan intens oleh sang suami berdecak kesal.
"Kenapa lagi?" ujarnya.
Bagas terkekeh kecil. "Tumben nggak cerewet kayak biasanya?"
Ara mendelik. Bisa-bisanya lelaki itu berbicara begitu jujur dihadapannya. Mengatakan dirinya cerewet? Ya memang beberapa tahun terakhir ini ia akui memang dirinya lebih cerewet dibandingkan sifat aslinya dulu sebelum menikah dengan laki-laki dihadapannya ini, entah bagaimana ceritanya ia tidak tahu mengapa sifatnya berubah drastis seratus delapan puluh derajat. Oke. Sudah. Lupakan itu.
Dan akhirnya Ara lebih memilih mendengus dan kembali melanjutkan aktivitas sebelumnya.
"Aku udah capek ngomelin kamu setiap hari Mas,"
Bagas tertawa geli. Rasanya sedikit aneh ketika Ara berbicara seperti itu. Hampir lima tahun terakhir ini ia sudah terbiasa dengan omelan renyah wanita itu. Bahkan mungkin ia menganggap omelan Ara adalah ungkapan kasih sayang. Oh bagaimana bisa ia berubah menjadi budak cinta seperti ini?
"Tapi kayaknya aku nggak bakal bosen kamu omelin setiap hari," ujar Bagas sambil membereskan barang-barangnya pada meja didepannya.
"Dih itu mah sekarang karena aku bawain makan buat kamu. Kalo kamu ngomong jujur ntar nih makanan aku bawa pulang lagi," ucap Ara sarkas sambil tersenyum miring.
Bagas tertawa renyah. Diambilnya salah satu kotak makan yang telah disiapkan oleh istrinya itu lalu kemudian mulai memakannya.
"Kamu nggak makan?"
Ara menggeleng. "Udah, tadi diluar habis ketemuan sama Dila dan Ayu sekalian makan siang,"
Bagas mengangguk mengerti dan kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri. Tapi, tunggu. Sepertinya ada yang aneh dan sedikit berbeda.
Bagas kembali menatap Ara. Sedangkan Ara yang merasa ditatap oleh lelaki itu menyernyit bingung. "Kenapa?"
"Kamu habis potong rambut ya?"
Ara mengelus rambutnya sendiri yang kini sudah tinggal sebatas lehernya saja. Memang sebelum kesini tadi ia sempat ke salon untuk memangkas rambutnya yang sebelumnya sudah sepanjang punggung.
"Iya Mas tadi sebelum kesini aku ke salon dulu potong rambut, nggak betah lama-lama rambut panjang, gerah banget rasanya," jelasnya.
"Pantes, kayak ada yang berubah aja gitu,"
"Tadi Ayu juga sempet bilang gitu ke aku. Dia bilang aku kayak ibu-ibu setelah potong rambut, padahal kan masih dua puluh lima tahun, emang bener-bener ngeselin tuh anak," cerocos Ara kesal.
Bagas kembali tertawa, namun kali ini lebih keras dari yang tadi.
"Kenapa ketawa sih? Emang bener keliatan kayak ibu-ibu ya?" Ara menatap serius pada Bagas. Tatapan yang tersimpan sebuah gejolak api yang menari-nari pada mata wanita itu. Tatapan yang membuat Bagas sulit untuk menjawab jujur ataupun berbohong padanya. Oke. Menyeramkan sekali.
"Ya emang kalo mirip ibu-ibu kenapa sih? Bukannya sebentar lagi kamu juga bakal jadi ibu-ibu?" Bagas melirik perut Ara yang sudah membuncit. Benar. Ara tengah mengandung anak pertama mereka yang baru berusia dua bulan didalam kandungan.
"Iya juga sih," ujarnya sambil menopang dagunya pada meja. "Tapi tetep aja aku nggak kayak ibu-ibu banget kok, kamu sama Ayu aja yang berlebihan,"
Bagas mengangguk pasrah. Saatnya menyerah. "Iya, terserah kamu aja,"
Ara terkikik geli mendengar kalimat penyerahan diri dari lelaki itu.
"Dokter Bagas maaf mengganggu sebentar, pasien di kamar nomor 23 kembali mengalami kesakitan Dok,"
Seorang perawat menghampiri Bagas dengan wajah yang sedikit ketakutan. Bagas segera mengambil beberapa alat miliknya dan berdiri dari tempat duduknya meninggalkan Ara yang juga ikut khawatir.
Ara menghela napas pelan. Berusaha mengerti pekerjaan sang suami yang memang sesibuk ini. Ia membereskan kotak makan didepannya kemudian mengambil tissu yang berada di meja di sudut ruangan. Namun sebentar tatapannya beralih pada foto pernikahannya bersama Bagas lima tahun yang lalu. Bagas memang sengaja menaruh foto berukuran lumayan besar itu di ruang kerjanya. Entah apa alasannya.
Ara kembali menerawang peristiwa-peristiwa itu, kisah-kisah panjang awal mulanya bertemu hingga akhirnya menikah dengan lelaki itu. Kisah yang membawanya hidup bahagia bersama lelaki yang begitu mencintainya. Kisah yang juga akan mengantarkan dirinya ke masa depan nantinya.
***
PENTING!
HARUS DIBACA!Jadi disini, di prolog yang sudah saya buat ini berisi latar ketika Ara dan Bagas sudah menikah dan hidup bahagia berumah tangga. Tapi di part-part selanjutnya saya akan menceritakan awal mula kisah mereka dari awal mereka bertemu hingga saat ini. Di cerita nanti Ara masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dan Bagas yang sudah menyandang gelarnya sebagai dokter muda.
Bukan saya bermaksud spoiler atau gimana, saya hanya ingin mengajak kalian para pembaca menikmati serunya kisah mereka berdua sebelum menikah mwehehehe.
Tungga part-part selanjutnya ya. Happy reading💙
(Untuk bagian prolog saya pake visual Kim Sohyun versi short hair)
KAMU SEDANG MEMBACA
20th Birthday
Novela JuvenilBagi mereka, Bagaskara Chandra adalah seorang Dewa. Dewa penyelamat hidup manusia. Padahal bagi dirinya sendiri ia yang justru membutuhkan seorang Dewa untuk hidupnya sendiri, untuk mengabulkan permintaan terbesarnya sejak kecil. Sedangkan bagi mere...